Minggu, 22 Juli 2012

PERCY JACKSON & THE OLYMPIANS 3

Berkat suatu mukjizat, aku masih hidup. Aku tak mau melihat ke balik sisa-sisa baju zirahku yang koyak. Dadaku terasa hangat dan basah, dan aku tahu lukaku cukup parah. Andai terlambat sedetik saja, monster itu tentu sudah mengubahku menjadi daging cincang seberat lima puluh kilo.
Chiron berderap ke samping kami, membawa busur, wajahnya suram.
"Di immortales!" kata Annabeth. "Itu anjing neraka dari Padang Hukuman. Mereka nggak... mereka semestinya nggak...”
"Ada yang memanggilnya," kata Chiron. "Orang di dalam perkemahan."
Luke datang menghampiri, bendera di tangannya terlupakan, momen kejayaannya sudah berlalu.
Clarisse berteriak, "Itu semua salah Percy! Percy yang memanggilnya!"
"Diamlah, Nak," kata Chiron kepadanya.
Kami menyaksikan bangkai anjing neraka itu meleleh ke dalam bayangan, meresap ke dalam tanah sampai menghilang.
"Kau terluka," kata Annabeth memberitahuku. "Cepat, Percy, masuk ke air."
"Aku nggak apa-apa."
"Kau apa-apa," kata Annabeth. "Chiron, lihat ini."
Aku terlalu lelah untuk membantah. Aku melangkah kembali ke dalam kali, sementara semua anak perkemahan mengerumuniku.
Langsung saja aku merasa lebih enak. Dapat kurasakan luka-luka di dadaku menutup. Beberapa orang pekemah berdengap.
"Eh, aku—aku nggak tahu kenapa bisa begini," kataku, berusaha meminta maaf. "Maaf ...."
Tapi, mereka bukan menyaksikan lukaku sembuh. Mereka menatap sesuatu di atas kepalaku.
"Percy," kata Annabeth sambil menunjuk.
"Eh ..."
Pada saat aku melihat ke atas, tanda itu sudah memudar, tapi aku masih dapat melihat hologram bercahaya hijau, berputar dan berkilau. Sebuah tombak bercula tiga: sebuah trisula.
"Ayahmu," gumam Annabeth. "Ini benar-benar gawat."
"Sudah ditentukan," Chiron mengumumkan.
Di sekelilingku, para pekemah mulai berlutut, bahkan anak-anak pondok Ares, meskipun mereka tidak kelihatan senang, harus melakukan itu.
"Ayahku?" tanyaku, sama sekali bingung.
"Poseidon," kata Chiron. "Sang Pengguncang Bumi, sang Pembawa Badai, sang Bapak Bangsa Kuda. Salam, Perseus Jackson, Putra sang Dewa Laut."
9. Aku di Tawari Misi
Esok paginya Chiron memindahkanku ke pondok tiga.
Aku tak perlu berbagi dengan siapa-siapa. Aku punya banyak tempat untuk menyimpan semua barangku: tanduk Minotaurus, satu setel pakaian ganti, dan kantong peralatan mandi. Aku berhak duduk di meja makan sendiri, memilih semua kegiatanku sendiri, menentukan "saatnya mematikan lampu" kapan pun kusuka, dan tak perlu mematuhi siapa pun.
Dan aku merasa benar-benar merasa sengsara.
Justru ketika aku merasa diterima, merasa punya rumah di pondok sebelas dan bisa menjadi anak normal— atau senormal yang memungkinkan sebagai anak blasteran—aku dipisahkan seolah-olah mengidap penyakit langka.
Tak ada yang menyebut-nyebut anjing neraka itu, tetapi aku merasa di belakangku mereka semua membicarakannya. Serangan itu membuat takut semua orang. Peristiwa itu mengirim dua pesan: satu, bahwa aku putra sang Dewa Laut; dan dua, monster tak akan berhenti berusaha membunuhku. Mereka bahkan dapat menyerang perkemahan yang selama ini dianggap aman.
Para pekemah lain menjauhiku sebisa mungkin. Pondok sebelas terlalu gugup untuk belajar pedang bersamaku setelah perbuatanku pada anak-anak Ares di hutan, jadi pelajaranku bersama Luke menjadi satu-lawan-satu. Dia menyerangku lebih keras daripada sebelumnya, dan tidak takut membuatku memar-memar selama latihan.
"Kau bakal memerlukan semua latihan yang bisa kau dapatkan," janjinya, sementara kami berlatih pedang dan obor berkobar. "Ayo kita coba lagi jurus memenggal kepala ular lagi. Lima puluh kali lagi."
Annabeth masih mengajariku bahasa Yunani setiap pagi, tetapi pikirannya tampak terpecah. Setiap kali aku berkata sesuatu, dia merengut kepadaku, seolah-olah aku baru saja mencolok matanya.
Setelah pelajaran, dia selalu berjalan menjauh sambil menggerutu sendiri: "Misi... Poseidon?... Sialan... Harus membuat rencana.”
Bahkan Clarisse menjaga jarak, meskipun tatapan beracunnya jelas menandakan bahwa dia ingin membunuhku karena telah mematahkan tombak ajaibnya. Aku ingin sekali dia langsung saja membentak atau menonjokku atau apa kek. Aku lebih suka berkelahi setiap hari daripada tak digubris.
Aku tahu ada orang di perkemahan yang membenciku, karena pada suatu malam aku masuk ke pondokku dan menemukan koran manusia fana yang dijatuhkan ke dalam pintu, satu eksemplar New York Daily News, terbuka di halaman Metro. Aku perlu waktu hampir sejam untuk membaca artikel itu, karena semakin aku marah, semakin kata itu kabur-kabur di sekeliling halaman.
“IBU DAN ANAK MASIH RAIB SETELAH KECELAKAAN MOBIL YANG GANJIL OLEH EILEEN SMYTHE
Sally Jackson dan putranya, Percy, masih raib seminggu setelah mereka menghilang secara misterius. Mobil Camaro '78 yang terbakar parah milik keluarga itu ditemukan Sabtu lalu di sebuah jalan Long Island Utara, dengan atap robek dan as depan patah. Mobil itu terbalik dan selip sejauh beberapa ratus meter sebelum meledak.
Ibu dan anak tersebut berangkat untuk berlibur akhir pekan di Montauk, tetapi pergi dengan tergesa-gesa, dalam situasi misterius. Sedikit jejak darah ditemukan di dalam mobil dan di dekat tempat puing-puing mobil, tetapi tak ada tanda-tanda lain dari ibu-anak Jackson yang hilang itu. Warga di daerah pedesaan dilaporkan tidak melihat apa-apa yang tidak biasa di sekitar waktu kecelakaan.
Suami Bu Jackson, Gabe Ugliano, mengklaim bahwa anak tirinya, Percy Jackson, adalah anak bermasalah yang telah dikeluarkan dari berbagai sekolah asrama dan telah menunjukkan kecenderungan kekerasan di masa lalu.
Polisi tak mau mengungkapkan apakah Percy adalah tersangka dalam kehilangan ibunya, tetapi mereka belum menolak kemungkinan ada kejahatan. Di bawah ini adalah foto terbaru Sally Jackson dan Percy. Polisi mengimbau siapa saja yang memiliki informasi agar menghubungi nomor telepon pemberantasan kejahatan bebas pulsa berikut ini.”
Nomor telepon itu dilingkari dengan spidol hitam. Aku meremas koran itu dan mencampakkannya, lalu mengempaskan diri di tempat tidur tingkatku di tengah-tengah pondokku yang kosong.
"Matikan lampu," kataku pada diri sendiri dengan merana.
Malam itu aku mendapat mimpi yang paling buruk sejauh ini.
Aku berlari di pantai dalam badai. Kali ini ada kota di belakangku. Bukan New York. Hamparannya berbeda: gedung-gedungnya lebih jarang-jarang, ada pepohonan palem dan perbukitan rendah di kejauhan.
Sekitar seratus meter jauhnya di pesisir, dua lelaki sedang berkelahi. Mereka mirip pegulat televisi, berotot, berjenggot, dan berambut panjang. Keduanya mengenakan tunik Yunani yang berkibaran, yang satu dikelim warna biru, satu lagi hijau. Mereka saling bergumul, bergulat, menendang, dan menyundul, dan setiap kali mereka bersentuhan, kilat menyambar, langit menggelap, dan angin bertiup.
Aku harus menghentikan mereka. Aku tak tahu mengapa. Tetapi semakin cepat aku berlari, angin pun semakin bertiup mendorongku ke belakang, sampai akhirnya aku berlari di tempat, tumitku menolak pasir dengan sia-sia.
Di atas gemuruh badai, terdengar lelaki berjubah biru berseru kepada yang berjubah hijau, Kembalikan! Kembalikan! Seperti anak TK yang berebut mainan.
Ombak semakin tinggi, berdebur ke pantai, mencipratiku dengan garam.
Seruku, Hentikan! Berhenti berkelahi!
Bumi berguncang. Tawa datang dari suatu tempat di bawah bumi, dan suara yang begitu berat dan jahat, darahku berubah menjadi es.
Turunlah, pahlawan kecil, senandung suara itu. Turunlah!
Pasir membelah di bawahku, membuka celah yang langsung menuju ke pusat bumi. Kakiku tergelincir, dan kegelapan menelanku.
Aku terbangun, yakin aku sedang jatuh.
Aku masih di tempat tidur di pondok tiga. Tubuhku memberi tahu bahwa hari sudah pagi, tapi di luar gelap, dan guntur menggelegar di atas perbukitan. Badai akan segera tiba. Aku tidak memimpikan itu.
Aku mendengar suara ketiplak-ketipluk di pintu, kaki hewan mengetuk ambang. "Masuk?"
Grover berderap masuk, tampak cemas. "Pak D ingin bertemu denganmu."
"Kenapa?"
"Dia ingin membunuh ... maksudku, sebaiknya biar dia saja yang cerita."
Dengan gugup aku berpakaian dan mengikuti Grover, yakin bahwa aku akan dimarahi habis-habisan.
Selama berhari-hari aku setengah menunggu dipanggil ke Rumah Besar. Setelah aku dinyatakan sebagai anak Poseidon, salah seorang dewa Tiga Besar yang semestinya tak boleh punya anak, kupikir bahwa aku hidup saja sudah merupakan kejahatan. Mungkin selama ini dewa-dewa lain memperdebatkan cara terbaik untuk menghukumku atas keberadaanku, dan sekarang Pak D siap menyampaikan vonis mereka.
Di atas Selat Long Island, langit seumpama sup tinta yang akan mendidih. Tirai hujan yang berkabut bergerak ke arah kami. Aku bertanya kepada Grover, apakah kami perlu payung.
"Nggak usah," katanya. "Di sini nggak pernah hujan, kecuali kalau kita ingin."
Aku menunjuk badai itu. "Jadi, itu apaan?"
Dia melirik tak nyaman ke langit. "Itu akan lewat Mengelilingi kita. Cuaca buruk selalu begitu."
Kusadari bahwa dia benar. Selama seminggu aku berada di sini, langit tak pernah mendung. Beberapa awan mendung yang sempat kulihat memang berarak mengelilingi tepi lembah. Tapi badai yang ini... sepertinya besar.
Di lapangan voli, anak-anak pondok Apollo sedang mengadakan pertandingan pagi melawan satir. Si kembar Dionysus berjalan-jalan di ladang stroberi, membuat tanaman tumbuh. Semua orang sedang melakukan kegiatan normal, tetapi mereka tampak tegang. Mereka terus melirik badai.
Aku dan Grover berjalan ke beranda depan Rumah Besar. Dionysus duduk di meja pinochle, berkemeja Hawaii loreng harimau, berteman Diet Coke, persis seperti pada hari pertamaku. Chiron duduk di seberang meja, di kursi roda palsu. Mereka sedang bermain dengan lawan-lawan tak kasat mata—dua tumpuk kartu melayang di udara.
"Wah, wah," kata Pak D tanpa mengangkat kepala. "Pesohor cilik kita." Aku menunggu. "Kemarilah," kata Pak D. "Dan jangan harap aku membungkuk kepadamu, Manusia, hanya karena si Jenggot Teritip itu ayahmu."
Petir sambar-menyambar di antara awan, bagaikan jala. Guntur mengguncang jendela rumah.
"Dasar cerewet," kata Dionysus.
Chiron berpura-pura merenungi kartu pinochle-nya. Grover merengket di samping pagar beranda, kakinya berketak-ketuk maju mundur.
"Kalau boleh menuruti mauku," kata Dionysus, "aku ingin molekul-molekul tubuhmu terbakar. Kami tinggal menyapu abunya dan tak direpotkan dengan banyak masalah lagi. Tapi, Chiron tampaknya merasa itu bertentangan dengan misiku di perkemahan terkutuk ini: menjaga kalian anak-anak manja dari bahaya."
"Terbakar spontan itu salah satu bentuk bahaya, Pak D," sela Chiron.
"Omong kosong," kata Dionysus. "Bocah itu tak akan kesakitan kok. Yang pasti, aku sudah setuju untuk menahan itu. Aku mempertimbangkan mengubahmu menjadi lumba-lumba saja, lalu mengirimmu kembali ke ayahmu."
"Pak D—" Chiron memperingatkan.
"Iya deh," Dionysus mengalah. "Ada satu pilihan lagi. tapi ini kebodohan yang membawa maut."
Dionysus bangkit, dan kartu para pemain tak kasat mata terjatuh ke meja. "Aku mau berangkat ke Olympus untuk rapat darurat. Jika bocah ini masih di sini saat aku kembali, akan kuubah dia menjadi lumba-lumba hidung botol Atlantik. Kau mengerti? Dan Perseus Jackson, kalau kau masih punya otak, kau akan memahami bahwa pilihan itu jauh lebih masuk akal daripada hal yang Chiron rasa harus kaulakukan."
Dionysus meraih selembar kartu remi, memuntirnya, dan kartu itu menjadi segi empat plastik. Kartu kredit? Bukan. Kartu pas.
Dia menjentikkan jari.
Udara tampak melipat dan membengkok di sekelilingnya. Dia menjadi hologram, lalu angin, lalu dia lenyap, hanya menyisakan aroma anggur yang baru diperas.
Chiron tersenyum kepadaku, tetapi dia tampak lelah dan capek. "Duduk, Percy, silakan. Dan Grover."
Kami duduk.
Chiron meletakkan kartu di atas meja, tak sempat digunakannya untuk memenangkan permainan.
"Beri tahu aku, Percy," katanya. "Apa pendapatmu tentang anjing neraka itu?"
Mendengar namanya saja sudah membuatku menggigil. Chiron mungkin ingin aku berkata, Ah, itu sih enteng. Aku sudah biasa sarapan anjing neraka. Tapi aku sedang tak selera berbohong. "Anjing itu bikin saya takut," kataku. "Andai Bapak tidak memanahnya, saya pasti sudah mati."
"Kau akan bertemu dengan yang lebih buruk, Percy. Jauh lebih buruk, sebelum kau selesai." "
"Selesai ... apa?"
"Melaksanakan tugasmu, tentu saja. Kau mau menerimanya?"
Aku melirik Grover, yang menyilangkan jari penuh harap.
"Eh, Pak," kataku, "Bapak belum memberi tahu saya, apa tugasnya."
Chiron meringis. "Nah, itulah yang sulit, perinciannya."
Guntur menggemuruh di seluruh lembah. Awan badai kini telah mencapai tepi pantai. Sejauh yang kulihat, langit dan laut mendidih bersama-sama.
"Poseidon dan Zeus," kataku. "Mereka memperebutkan sesuatu yang berharga... sesuatu yang dicuri, bukan?"
Chiron dan Grover bertukar pandang. Chiron memajukan tubuh dalam kursi rodanya. "Dari mana kautahu itu?"
Mukaku terasa panas. Aku menyesal membuka mulutku. "Cuacanya sudah aneh sejak Natal, seolah-olah laut dan langit berkelahi. Lalu, aku mengobrol dengan Annabeth, dan dia tak sengaja mendengar sesuatu tentang pencurian. Dan... aku juga sering bermimpi aneh."
"Sudah kuduga," kata Grover.
"Ssst, satir," perintah Chiron. "Tapi ini misinya!"
Mata Grover cerah bersemangat. “Pasti!"
"Hanya sang Oracle yang bisa menentukan." Chiron membelai janggutnya yang kusut.
"Tetapi, Percy, kau memang benar. Ayahmu dan Zeus sedang bertengkar, pertengkaran paling parah selama berabad-abad. Mereka bertengkar karena sesuatu yang berharga, yang dicuri. Persisnya: sebuah sambaran petir."
Aku tertawa gugup. "Sebuah apa?"
"Jangan memandang enteng hal ini," Chiron memperingatkan. "Yang kubicarakan ini bukan semacam benda berbentuk zigzag dilapis kertas aluminium yang biasa tampil dalam sandiwara kelas dua SD. Aku bicara soal silinder 60 cm yang terbuat dari perunggu-bintang berkelas tinggi, yang kedua ujungnya ditutupi bahan peledak tingkat-dewa."
"Oh."
"Petir asali Zeus," kata Chiron, kini mulai bersemangat. "Lambang kekuasaannya, yang menjadi pola bagi semua sambaran petir lain. Senjata pertama yang dibuat oleh bangsa Cyclops untuk perang melawan bangsa Titan, petir yang membabat puncak Gunung Etna dan melontarkan Kronos dari singgasananya; petir asali, yang mengandung cukup daya untuk membuat bom hidrogen manusia kelihatan seperti petasan."
"Dan petir itu hilang?"
"Dicuri," kata Chiron.
"Sama siapa?"
"Oleh siapa," Chiron mengoreksi. Sekali jadi guru, tetap jadi guru. "Olehmu." Mulutku menganga.
"Setidaknya"—Chiron mengangkat tangan—"itu anggapan Zeus. Pada titik balik matahari musim dingin, di musyawarah dewa terakhir, Zeus dan Poseidon bertengkar. Omong kosong yang biasa: 'Bunda Pdiea selalu pilih kasih padamu,' 'Bencana udara selalu lebih spektakuler daripada bencana laut,' dan seterusnya. Setelah itu, Zeus menyadari bahwa petir asalinya hilang, diambil dari ruang singgasana di depan hidungnya sendiri. Dia langsung menyalahkan Poseidon. Nah, seorang dewa tak bisa merebut lambang kekuasaan dewa lain secara langsung— itu dilarang oleh hukum dewa yang paling kuno. Tapi Zeus yakin ayahmu membujuk seorang pahlawan manusia untuk mengambilnya."
"Tapi saya tidak—"
"Bersabarlah dan dengarlah, Nak," kata Chiron. "Zeus punya alasan yang bagus untuk curiga. Bengkel pandai besi Cyclops terletak di bawah laut. Ini menjadikan Poseidon memiliki sedikit pengaruh atas para pembuat petir milik adiknya. Zeus yakin Poseidon telah mengambil petir asalinya, dan sekarang diam-diam menyuruh bangsa Cyclops membangun segudang salinan ilegal, yang dapat digunakan untuk menggulingkan Zeus dari singgasananya. Zeus hanya belum tahu pasti, pahlawan mana yang digunakan Poseidon untuk mencuri petir itu. Sekarang Poseidon telah secara terbuka mengakuimu sebagai anaknya. Kau berada di New York pada masa liburan musim dingin. Kau bisa dengan mudah menyelinap ke dalam Olympus. Zeus yakin dia telah menemukan pencurinya."
"Tapi aku belum pernah ke Olympus! Zeus pasti sudah gila!"
Chiron dan Grover melirik gugup ke langit. Awan tampaknya tidak membelah di sekeliling wilayah kami, seperti yang dijanjikan Grover. Mereka berarak tepat di atas lembah kami, menyekap kami seperti tutup peti mati.
"Eh, Percy ...?” kata Grover. "Kata nggak boleh digunakan untuk memanggil Penguasa Langit."
"Mungkin paranoid lebih tepat," usul Chiron. "Tapi, Poseidon memang pernah berusaha menggulingkan Zeus sebelum ini. Kalau tak salah, itu pertanyaan tiga puluh delapan di ujian akhirmu Dia menatapku seolah-olah dia benar-benar mengharapkan aku masih ingat pertanyaan nomor tiga puluh delapan.
Bagaimana orang bisa sampai menuduhku mencuri senjata seorang dewa? Aku bahkan tak bisa mencuri seiris pizza dari pesta poker Gabe tanpa tepergok. Chiron menunggu jawabanku.
"Jawabannya berkaitan dengan jala emas ya?" tebakku. "Poseidon dan Hera dan beberapa dewa lain... mereka menjerat Zeus dan baru mau melepaskannya setelah dia berjanji menjadi pemimpin yang lebih baik, benar?"
"Benar," kata Chiron. "Dan sejak saat itu, Zeus tak pernah memercayai Poseidon lagi. Tentu saja Poseidon menyangkal mencuri petir asali itu. Dia sangat tersinggung dituduh seperti itu. Mereka berdua sudah berbulan-bulan bertengkar bolak-balik, mengancam akan mencanangkan perang. Dan sekarang, kau tahu-tahu muncul—penentu terakhir."
"Tapi aku kan cuma anak-anak!" "Percy,"
Grover menyela, "andai kau jadi Zeus, dan kau sudah yakin bahwa kakakmu bermuslihat untuk menggulingkanmu, lalu kakakmu itu tiba-tiba mengaku dia pernah melanggar sumpah suci yang diucapkannya setelah Perang Dunia II, bahwa dia punya anak seorang pahlawan manusia baru yang dapat digunakan sebagai senjata melawanmu.... Kau pasti sebal kan?"
"Tapi kan aku nggak berbuat apa-apa. Poseidon— ayahku—dia nggak benar-benar menyuruh orang mencuri petir asali itu kan?"
Chiron menghela napas. "Sebagian besar pengamat yang mau berpikir pasti setuju bahwa mencuri tidak cocok dengan gaya Poseidon. Tapi sang Dewa Laut terlalu gengsi, tidak sudi berusaha meyakinkan Zeus soal itu. Zeus menuntut Poseidon mengembalikan petir itu sebelum titik balik matahari di musim panas. Itu tanggal dua puluh satu Juni, sepuluh hari lagi dari sekarang. Poseidon ingin permintaan maaf atas tuduhan pencuri sebelum tanggal yang sama. Aku sempat berharap bahwa diplomasi bisa berhasil, bahwa Hera atau Demeter atau Hestia bisa menyadarkan kedua kakak-beradik itu. Tapi kedatanganmu mengipasi kemarahan Zeus. Sekarang, baik Zeus maupun Poseidon tak mau mundur. Kecuali ada yang turun tangan, kecuali petir asali itu ditemukan dan dikembalikan kepada Zeus sebelum titik balik musim panas, perang akan terjadi. Dan kau tahu seperti apa perang habis-habisan itu, Percy?"
"Gawat?" tebakku.
"Bayangkan dunia kacau-balau. Alam berperang dengan dirinya sendiri. Bangsa Olympian terpaksa memihak antara Zeus dan Poseidon. Kehancuran. Pembantaian. Berjuta-juta orang mati. Peradaban Barat berubah menjadi ajang pertempuran yang begitu besar, perang ini akan membuat Perang Troya seperti adu balon air."
"Gawat," ulangku.
"Dan kau, Percy Jackson, akan menjadi orang pertama yang merasakan kemurkaan Zeus."
Hujan mulai turun. Para pemain voli berhenti bermain dan menatap langit dengan terpana. Akulah yang membawa badai ini ke Bukit Blasteran. Zeus menghukum seluruh perkemahan gara-gara aku. Aku berang.
"Jadi, aku harus menemukan petir sialan itu," kataku. "Dan mengembalikannya kepada Zeus."
"Tawaran perdamaian apa yang lebih baik," kata Chiron, "selain putra Poseidon mengembalikan benda milik Zeus?"
"Kalau bukan Poseidon yang memegangnya, di mana benda itu?"
"Rasanya aku tahu." Raut Chiron suram. "Bagian sebuah nujum yang kudapatkan bertahun-tahun yang lalu ... nah, beberapa barisnya mulai kupahami. Tapi sebelum aku bicara lebih jauh, kau harus secara resmi menerima misi ini. Kau harus meminta nasihat sang Oracle."
"Kenapa Bapak nggak bisa memberi tahu saya letak petir itu sebelum saya menerima misi ini?"
"Karena kalau kuberi tahu, kau pasti terlalu takut untuk menerima tantangan itu."
Aku menelan ludah. "Alasan bagus."
"Kau setuju, kalau begitu?"
Aku menoleh kepada Grover, yang mengangguk-angguk membesarkan hatiku.
Buat dia sih mudah. Kan aku yang Zeus ingin bunuh.
"Baiklah," kataku.
"Lebih baik daripada diubah menjadi lumba-lumba."
"Kalau begitu, inilah saatnya kau berkonsultasi dengan sang Oracle," kata Chiron. "Naiklah ke lantai atas, Percy Jackson, ke loteng. Setelah kau turun lagi, dengan asumsi kau masih waras, kita akan bicara lebih jauh lagi."
Empat lantai kemudian, tangga itu berujung ke tingkap hijau.
Aku menarik talinya. Pintu tingkap itu berayun turun, dan tangga kayu berderak ke tempatnya.
Udara hangat dari lantai atas berbau seperti lumut dan kayu busuk dan satu hal lagi... bau yang kuingat dari kelas biologi. Reptil. Bau ular.
Aku menahan napas dan menaiki tangga.
Loteng itu penuh dengan rongsokan pahlawan Yunani: dudukan baju zirah yang diliputi sarang laba-laba; perisai yang dulunya berkilau sekarang bopeng karena karat; peti-peti kapal uap tua yang terbuat dari kulit, ditempeli gambar tempel yang berbunyi ITHAKA, PULAU CIRCE, dan NEGERI KAUM AMAZON. Di atas sebuah meja panjang bertumpuk botol-botol kaca yang berisi awetan aneh-aneh—cakar berbulu yang buntung, mata kuning raksasa, berbagai bagian monster lain. Pajangan berdebu yang tergantung di dinding mirip kepala ular raksasa, tetapi bertanduk dan bergigi lengkap seperti ikan hiu. Plakatnya bertulisan, KEPALA HYDRA PERTAMA, WOODSTOCK, N.Y, 1969.
Di sebelah jendela, di kursi berkaki tiga dari kayu, duduklah kenang-kenangan yang paling menjijikkan di antara semuanya: sebuah mumi. Bukan jenis mumi yang terbalut kain, tetapi tubuh perempuan manusia yang menyusut hingga kering kerontang. Dia mengenakan gaun tenun ikat, banyak kalung manik-manik, dan ikat kepala pada rambut yang hitam panjang. Kulit wajah yang membalut tengkoraknya tampak tipis dan mirip kulit samak. Matanya berupa celah putih bening, seolah-olah mata yang sungguhan telah diganti oleh kelereng. Dia pasti sudah lama sekali mati.
Melihat mumi itu, aku bergidik. Dan itu sebelum dia menegakkan tubuh di kursinya dan membuka mulut. Kabut hijau mengalir dari mulut mumi itu, membentuk sulur-sulur tebal yang berputar-putar di lantai, berdesis seperti dua laksa ular. Aku tersandung-sandung berusaha berlari ke tingkap, tetapi tingkap itu terbanting tertutup. Di dalam kepalaku terdengar suatu suara, melata masuk ke telinga dan melingkari otakku: Akulah arwah Delphi, penutur nujum Phoebus Apollo, pembantai Python yang perkasa. Mendekatlah, wahai pencari, dan bertanyalah. Aku ingin berkata, Tidak terima kasih, salah pintu, cuma cari kamar mandi. Tetapi, aku memaksa diri untuk menghela napas panjang.
Mumi itu tidak hidup. Dia semacam wadah angker untuk hal lain, kekuatan yang kini berputar-putar di sekelilingku dalam bentuk kabut hijau. Tetapi kehadirannya tak terasa jahat, seperti guru matematikaku yang iblis, Bu Dodds, atau si Minotaurus. Ini lebih terasa seperti Ketiga Moirae yang kulihat merajut benang di luar kios buah jalan raya; kuno, berkuasa, dan jelas bukan manusia. Tapi juga tak berminat membunuhku.
Aku mengumpulkan keberanian untuk bertanya, "Apa takdirku?"
Kabut itu berpusar-pusar lebih tebal, berkumpul tepat di depanku dan di sekeliling meja yang ditempati botol-botol berisi bagian monster yang diawetkan. Tiba-tiba ada empat lelaki yang duduk di sekeliling meja, bermain kartu. Wajah mereka semakin jelas. Itu Gabe si Bau dan sobat-sobatnya.
Tanganku mengepal, meskipun aku tahu pesta poker ini tak mungkin nyata. Ini cuma ilusi, dibuat dari kabut.
Gabe menoleh kepadaku dan berbicara dengan suara parau sang Oracle: “Kau akan pergi ke barat, dan menghadapi sang dewa yang berkhianat.”
Sobatnya yang di sebelah kanan mengangkat kepala dan berkata dalam suara yang sama: “Kau akan menemukan yang dicuri, dan mengembalikannya dengan selamat.”
Orang yang di sebelah kiri melemparkan dua keping chip poker, lalu berkata: “Kau akan dikhianati oleh orang yang menyebutmu teman.”
Akhirnya, Eddie, pengawas gedung kami, menyampaikan baris yang terburuk di antara semua: “Dan pada akhirnya kau akan gagal menyelamatkan yang terpenting.”
Sosok-sosok itu mulai buyar. Mula-mula aku terlalu tercengang sehingga tak mampu berkata apa-apa, tetapi saat kabut itu mundur, melingkar menjadi seekor ular hijau besar dan melata kembali ke dalam mulut mumi, aku berseru, "Tunggu! Apa maksudmu? Teman yang mana? Apa yang akan gagal kuselamatkan?"
Ekor si ular kabut itu menghilang ke dalam mulut mumi. Si mumi bersandar pada dinding. Mulutnya tertutup rapat, seolah-olah belum pernah terbuka selama seratus tahun. Loteng itu sunyi lagi, terbengkalai, hanya sekadar ruangan penuh kenang-kenangan.
Aku mendapat firasat bahwa, andaipun aku berdiri di sini sampai tubuhku pun diliputi sarang laba-laba, tetap saja aku tak akan bisa mengorek informasi lain.
Pertemuanku dengan sang Oracle telah usai.
“Bagaimana?" tanya Chiron.
Aku melorot ke kursi di meja kartu. "Katanya, saya mengambil apa yang dicuri."
Grover memajukan tubuh, sambil mengunyah sisa kaleng Diet Coke dengan penuh semangat. "Itu bagus!"
“Apa persisnya yang dikatakan sang Oracle?" desak Chiron. "Ini penting."
Telingaku masih kesemutan gara-gara suara reptil itu.... “dia bilang saya akan pergi ke Barat dan menghadapi dewa yang berkhianat. Saya akan mengambil apa yang dicuri dan mengembalikannya dengan selamat."
"Sudah kuduga," kata Grover.
Chiron tampak tidak puas. "Ada yang lain?"
Aku tak ingin memberitahunya. Teman mana yang akan mengkhianatiku? Temanku tak banyak itu. Dan baris terakhir—aku akan gagal menyelamatkan yang terpenting. Oracle macam apa yang mengutusku melaksanakan misi dan memberitahuku, Eh, omong-omong kau bakal gagal lho.
Bagaimana aku bisa menceritakan itu?
"Nggak," kataku. "Cuma itu."
Dia mengamati mukaku. "Baiklah, Percy. Tapi, ketahui ini kata-kata Oracle sering memiliki makna ganda. Jangan terlalu dipikirkan. Kebenarannya tidak selalu jelas sampai peristiwanya sudah terjadi."
Aku merasa bahwa dia tahu aku menyembunyikan sesuatu yang buruk, dan dia berusaha menghiburku.
"Oke," kataku, ingin mengubah topik. "Jadi, saya harus ke mana? Siapa dewa di Barat ini?"
"Ah, coba pikirkan, Percy," kata Chiron. "Kalau Zeus dan Poseidon membuat lawannya menjadi lemah akibat perang, siapa yang mengeruk untung?"
"Orang lain yang ingin mengambil alih?" tebakku.
"Ya, benar. Orang yang menyimpan ganjalan, yang tidak puas dengan jatahnya sejak dunia ini dibagi tiga berabad-abad lalu, yang kerajaannya akan semakin kuat dengan kematian jutaan orang. Seseorang yang membenci adik dan kakaknya karena memaksanya bersumpah tak akan punya anak lagi, sumpah yang kini sudah dilanggar oleh keduanya."
Aku mengingat mimpi-mimpiku, suara jahat yang berbicara dari bawah tanah.
"Hades."
Chiron mengangguk. "Sang Raja Orang Mati adalah satu-satunya kemungkinan."
Secarik aluminium keluar dari mulut Grover. "Eh, tunggu. A-apa?"
"Percy pernah diserang Erinyes," Chiron mengingatkan. "Erinyes itu mengamati anak muda ini sampai yakin akan identitasnya, lalu mencoba membunuhnya. Erinyes hanya mematuhi satu majikan: Hades."
"Ya, tapi—tapi Hades membenci semua pahlawan," Grover memprotes. "Terutama jika dia mengetahui Percy anak Poseidon
"Anjing neraka berhasil masuk ke hutan," lanjut Ghiron. "Monster itu hanya bisa dipanggil dari Padang Hukuman, dan harus dipanggil oleh orang dari dalam perkemahan. Hades pasti punya mata-mata di sini. Dia pasti menduga bahwa Poseidon akan mencoba menggunakan Percy untuk membersihkan nama. Hades sangat ingin membunuh blasteran muda ini sebelum dia sempat menerima misinya."
"Bagus," gerutuku. "Jadi, ada dua dewa besar yang ingin membunuhku."
"Tapi misi untuk..,” Grover menelan ludah. "Maksudku, mungkin nggak petir asali itu berada di tempat seperti Maine? Cuaca di Maine sangat nyaman di musim begini."
"Hades mengirim seorang anak buahnya untuk mencuri petir asali," Chiron bersikeras. "Dia menyembunyikannya di Dunia Bawah. Dia tahu persis bahwa Zeus akan menyalahkan Poseidon. Aku tidak mengakui bahwa aku mampu memahami motif sang Penguasa Orang Mati secara sempurna, atau mengapa dia memilih saat ini untuk memulai perang, tapi satu hal yang pasti. Percy harus pergi ke Dunia Bawah, menemukan petir asali, dan mengungkapkan kebenaran."
Api aneh berkobar di perutku. Dan yang paling aneh: itu bukan rasa takut. Itu rasa tak sabar. Hasrat membalas dendam. Hades sudah mencoba membunuhku tiga kali sejauh ini, dengan Erinyes, Minotaurus, dan anjing neraka. Dia yang bersalah atas lenyapnya ibuku dalam denyar cahaya. Sekarang dia berusaha memfitnahku dan ayahku untuk pencurian yang tak kami lakukan.
Aku siap menantangnya.
Lagi pula, kalau ibuku berada di Dunia Bawah .... Tunggu, Nak, kata bagian kecil otakku yang masih waras. Kau itu masih anak-anak. Hades itu dewa.
Grover gemetar. Dia mulai mengunyah kartu pinochle seperti keripik kentang.
Anak malang itu perlu menuntaskan misi bersamaku supaya dia dapat memperoleh izin pencarinya, apa pun itu. Tetapi, bagaimana aku bisa memintanya melakukan misi ini, terutama setelah Oracle berkata bahwa aku ditakdirkan gagal? Ini bunuh diri.
"Eh, kalau kita tahu Hades pelakunya," kataku kepada Chiron, "kenapa nggak kita beri tahu saja dewa-dewa yang lain? Zeus atau Poseidon bisa turun ke Dunia Bawah dan menghajar mereka."
"Curiga dan tahu itu tidak sama," kata Chiron. "Lagi pula, sekalipun dewa lain mencurigai Hades—dan aku yakin Poseidon curiga—mereka tak bisa mengambil petir itu sendiri. Dewa tak bisa masuk ke wilayah dewa lain kecuali jika diundang. Itu peraturan kuno lain. Sebaliknya, pahlawan punya beberapa hak istimewa. Mereka bisa pergi ke mana saja, menantang siapa saja, asalkan cukup berani dan kuat untuk melakukannya. Dewa tak bisa dituntut bertanggung jawab atas tindakan seorang pahlawan. Memangnya, pikirmu, kenapa para dewa selalu bertindak melalui manusia?"
"Maksud Bapak, saya dimanfaatkan."
"Maksudku, bukan kebetulan Poseidon mengakuimu sebagai anaknya sekarang. Ini pertaruhan yang sangat berisiko, tetapi dia berada dalam situasi yang sulit. Dia memerlukanmu."
Ayahku memerlukanku.
Emosi bercampur aduk dalam diriku seperti keping- keping kaca dalam kaleidoskop. Aku tak tahu apakah aku harus merasa kesal atau berterima kasih atau bahagia atau marah. Poseidon sudah dua belas tahun mengabaikanku. Sekarang tahu-tahu saja dia perlu aku.
Aku menatap Chiron. "Selama ini Bapak sudah tahu ya, saya anak Poseidon?"
"Aku menduga begitu. Seperti yang kubilang... aku juga pernah berbicara dengan sang Oracle."
Aku mendapat perasaan bahwa ada banyak hal yang tidak diceritakannya tentang ramalannya, tetapi kuputuskan bahwa aku tak bisa mencemaskan itu sekarang. Toh aku juga merahasiakan informasi.
"Jadi, coba saya tegaskan lagi," kataku. "Saya harus pergi ke Dunia Bawah dan menghadapi Penguasa Orang Mati.”
"Betul," kata Chiron.
"Mencari senjata paling perkasa di alam semesta." "Betul."
"Dan mengembalikannya ke Olympus sebelum titik balik matahari di musim panas, sekitar sepuluh hari lagi."
"Tepat."
Aku menoleh kepada Grover, yang menelan kartu as hati.
"Aku sudah bilang belum, Maine sangat enak cuacanya musim begini?" tanyanya lemah.
"Kau tak harus ikut," kataku kepadanya. "Aku tak bisa memintamu ikut."
"Oh ..." Dia menggerak-gerakkan kaki. "Nggak... cuma saja satir dan tempat-tempat bawah tanah ... yah,” Dia menarik napas panjang, lalu berdiri sambil menepiskan kartu koyak dan serpih aluminium dari kausnya. "Kau sudah menyelamatkan nyawaku, Percy. Kalau... kalau kau serius soal ingin aku ikut, aku tak akan mengecewakanmu."
Aku merasa begitu lega sampai ingin menangis, tetapi rasanya itu tidak mencerminkan perilaku pahlawan. Grover adalah satu-satunya teman yang kumiliki lebih dari beberapa bulan. Aku tak yakin apa gunanya satir melawan kekuatan maut, tetapi aku merasa lebih tenang mengetahui bahwa dia akan menemaniku.
"Sampai titik penghabisan, G-man." Aku menoleh kepada Chiron.
"Jadi, ke mana kami harus pergi? Kata Oracle, ke Barat."
"Pintu masuk Dunia Bawah selalu terletak di Barat. Tempatnya berubah dari abad ke abad, sama seperti Olympus. Sekarang ini, tentu saja letaknya di Amerika."
"Di mana?"
Chiron tampak heran. "Kusangka itu sudah cukup jelas. Pintu masuk Dunia Bawah berada di Los Angeles."
"Oh," kataku. "Tentu saja. Jadi, kita tinggal naik pesawat—"
"Jangan!" pekik Grover. "Percy, jangan ngaco! Apa kau pernah naik pesawat seumur hidup?"
Aku menggeleng dengan malu. Ibuku belum pernah mengajakku naik pesawat. Dia selalu bilang kami tak punya uang untuk itu. Lagi pula, orangtuanya meninggal dalam kecelakaan pesawat.
"Percy, pikirkan saja," kata Chiron. "Kau anak Dewa Laut. Saingan terbesar ayahmu itu Zeus, Penguasa Langit. Ibumu tahu bahwa sebaiknya kau tidak naik pesawat. Kau akan masuk ke wilayah Zeus. Kau tak akan pernah turun lagi hidup-hidup."
Di langit, petir berderak. Guntur menggelegar.
"Oke," kataku, bertekad tak akan menoleh ke badai itu lagi. "Jadi, aku akan lewat darat."
"Benar," kata Chiron. "Kau boleh ditemani dua sahabat. Grover salah satunya. Satu lagi sudah mengajukan diri secara sukarela, kalau kau mau menerima bantuannya".
"Wah," kataku pura-pura kaget. "Mana ada orang lain yang cukup bodoh untuk sukarela mengikuti misi seperti ini.”
Udara bergetar di belakang Chiron. Annabeth mewujud, sambil menjejalkan topi Yankee ke dalam saku belakang.
"Aku sudah lama sekali menunggu misi ini, dasar otak ganggang," katanya. "Athena tidak menyukai Poseidon, tapi kalau kau mau menyelamatkan dunia, aku orang terbaik yang bisa menjaga agar kau tidak gagal."
"Terserah kau bilang apa," kataku. "Kau pasti punya rencana ya, Nona Genius?"
Pipinya merona. "Kau mau bantuanku atau nggak sih?"
Sejujurnya, aku mau. Aku perlu semua bantuan yang bisa kudapatkan.
"Trio," kataku. "Bolehlah."
"Bagus," kata Chiron. "Sore ini kami bisa mengantarmu sampai terminal bus di Manhattan. Setelah itu, kalian harus usaha sendiri."
Petir menyambar. Hujan turun di padang rumput yang semestinya tak pernah mengalami cuaca buruk.
"Waktunya tinggal sedikit," kata Chiron. “Kurasa, kalian semua harus segera berkemas."
10. Aku Menghancurkan Bus Yang Masih Sangat Bagus
Tak perlu waktu lama untuk berkemas. Aku memutuskan untuk meninggalkan tanduk si Minotaurus di pondok. Tinggal setelan baju ganti dan sikat gigi yang harus dimasukkan ke ransel yang dicarikan Grover untukku.
Toko perkemahan meminjamiku seratus dolar uang manusia dan dua puluh drachma emas. Koin ini sebesar kue Oreo dan dicap dengan gambar berbagai dewa Yunani pada satu sisi dan gedung Empire State Building di sisi lain. Kata Chiron, Drachma manusia kuno terbuat dari perak, tetapi Dodekateon tidak pernah menggunakan emas yang tidak murni. Kata Chiron, koin itu mungkin bermanfaat untuk transaksi nonmanusia—entah apa maksudnya. Dia memberiku dan Annabeth masing-masing satu termos nektar dan kantong plastik penuh petak ambrosia, yang hanya boleh digunakan pada masa darurat, jika kami benar-benar cedera. Itu makanan dewa, Chiron mengingatkan kami. Jika terlalu banyak dimakan, anak blasteran bisa sangat-sangat demam. Overdosis akan membakar kami, secara harfiah.
Annabeth membawa topi Yankee ajaibnya, yang katanya hadiah ulang tahun kedua belas dari ibunya. Dia membawa buku tentang arsitektur klasik modern,, yang ditulis dalam bahasa Yunani Kuno, untuk dibaca saat dia bosan, serta sebilah pisau perunggu, yang tersembunyi di lengan kemeja. Aku yakin pisau itu akan menyebabkan kami ditangkap pertama kali kami melewati detektor logam.
Grover mengenakan kaki palsu dan celana agar dianggap manusia. Dia mengenakan topi hijau gaya rasta, karena saat hujan, rambut ikalnya menjadi lepek dan ujung tanduknya terlihat. Ranselnya yang berwarna Jingga cerah diisi penuh serpih logam dan apel untuk camilan. Sakunya berisi seruling yang dibuat oleh ayah kambingnya, meskipun dia hanya tahu dua lagu: Piano Concerto no. 12 karya Mozart dan "So Yesterday" lantunan Hilary Duff, yang keduanya terdengar jelek dimainkan di seruling bambu.
Kami melambaikan tangan kepada para pekemah lain, memandangi lagi ladang stroberi, samudra, dan Rumah Besar untuk terakhir kali, lalu mendaki Bukit Blasteran ke pohon pinus tinggi yang dulunya adalah Thalia, putri Zeus.
Chiron menanti kami di kursi roda. Di sebelahnya berdiri si cowok peselancar yang pernah kulihat saat aku memulihkan diri di ruang perawatan. Menurut Grover, orang itu adalah kepala keamanan perkemahan. Katanya sih, di seluruh tubuhnya ada mata, sehingga dia tak bisa disergap. Tapi, hari ini dia mengenakan seragam sopir, jadi mata ekstra itu hanya terlihat di tangan, muka, dan lehernya.
"Ini Argus," Chiron memberitahuku. "Dia akan mengantarmu ke kota dan, eh, yah, pasang mata dengan keadaan sekitar."
Terdengar langkah kaki di belakang kami. Luke datang berlari menaiki bukit sambil membawa sepasang sepatu basket.
"Hei!" katanya sambil terengah-engah. "Untung masih sempat ketemu."
Annabeth merona, seperti yang selalu terjadi saat Luke berada di dekatnya.
"Cuma ingin bilang semoga sukses," kata Luke kepadaku. "Dan kupikir ... eh, barangkali ini bisa bermanfaat."
Dia menyerahkan sepatu itu kepadaku, yang kelihatannya cukup normal. Baunya pun cukup normal.
Kata Luke, "Maia!"
Sayap burung putih menyembul dari tumit sepatu itu. Saking kagetnya, sepatu itu terlepas dari tanganku. Sepatu itu mengepak-ngepak di atas tanah sampai sayap itu dilipat dan menghilang.
"Hebat!" kata Grover. Luke tersenyum.
"Sepatu itu sangat bermanfaat buatku semasa aku melaksanakan misi dulu. Hadiah dari Ayah. Tentu saja, aku jarang memakainya belakangan ini.”
Raut wajahnya menjadi sedih. Aku tak tahu harus berkata apa. Sudah cukup menyenangkan bahwa Luke datang untuk mengucapkan selamat jalan. Aku sempat cemas bahwa dia sebal padaku karena aku mendapat begitu banyak perhatian beberapa hari terakhir ini. Tetapi, tahunya dia malah memberiku hadiah ajaib ini.... Aku jadi merona, hampir semerah Annabeth.
"Eh, Luke" kataku. "Makasih."
"Dengar, Percy Luke tampak rikuh. "Banyak harapan bertumpu di bahumu. Jadi ... bunuh beberapa monster untukku, oke?"
Kami berjabatan tangan. Luke menepuk kepala Grover di antara tanduknya, lalu memberi pelukan perpisahan kepada Annabeth, yang kelihatan seperti mau pingsan.
Setelah Luke pergi, kataku kepada Annabeth,
"Kau terengah-engah."
"Siapa bilang?"
"Kau sengaja membiarkan bendera itu ditangkap olehnya, bukan olehmu, ya?"
"Ih ... kok aku mau-maunya pergi denganmu, Percy?" Dia menuruni sisi bukit seberang dengan membanting kaki, menuju mobil SUV putih yang menunggu di bahu jalan. Argus mengikuti, sambil menggemerincingkan kunci mobil.
Aku memungut sepatu terbang itu dan tiba-tiba mendapat firasat buruk. Aku menoleh kepada Chiron. "Saya tak akan bisa menggunakan ini, ya?"
Dia menggeleng. "Luke berniat baik, Percy. Tetapi terbang ke udara... itu tidak bijak untukmu."
Aku mengangguk, kecewa, tetapi lalu aku mendapat ide. "Hei, Grover. Kau mau benda ajaib?"
Matanya berbinar. "Aku?"
Tak lama kemudian, kami sudah mengikat tali sepatu di kaki palsu Grover, dan anak kambing terbang pertama di dunia siap diluncurkan.
"Maia!" teriaknya.
Dia lepas landas dengan baik, tetapi kemudian jatuh ke samping, sehingga ranselnya terseret di atas rumput. Sepatu bersayap itu terus melompat-lompat seperti kuda liar mungil.
"Berlatihlah," seru Chiron kepadanya. "Kau cuma perlu berlatih."
"Aaaaa!" Grover terbang miring menuruni bukit menuju van, seperti mesin pemotong rumput yang dirasuki setan.
Sebelum aku sempat mengikuti, Chiron menangkap lenganku. "Semestinya aku melatihmu lebih baik, Percy," katanya. "Andai saja aku punya lebih banyak waktu. Hercules, Jason—mereka semua sempat berlatih lebih banyak."
"Nggak apa-apa. Saya cuma ingin—"
Aku menghentikan diri karena aku akan terdengar seperti anak manja. Aku ingin ayahku memberiku benda ajaib yang keren untuk membantu melaksanakan misi ini, sesuatu yang sebaik sepatu terbang Luke, atau topi tak kasat mata Annabeth.
"Aku ini payah," seru Chiron. "Aku tak mungkin membiarkanmu pergi tanpa ini."
Dia mengeluarkan sebuah pena dari saku jas, dan menyerahkannya kepadaku. Pena itu berupa bolpoin sekali-pakai biasa, bertinta hitam, yang tutupnya bisa dilepas. Mungkin harganya tiga puluh sen.
"Wah," kataku. "Makasih."
"Percy, itu hadiah dari ayahmu. Aku sudah bertahun-tahun menyimpannya, tanpa tahu kaulah yang kutunggu-tunggu. Tetapi ramalan itu sudah jelas bagiku sekarang. Kaulah orangnya."
Aku teringat pada karyawisata ke Museum Seni Metropolitan, saat aku memusnahkan Bu Dodds. Waktu itu Chiron melemparkan pena kepadaku, yang berubah menjadi pedang. Mungkinkah ini...?
Aku mencopot tutupnya, dan pena itu semakin panjang dan berat di tanganku. Dalam setengah detik, aku memegang pedang perunggu bermata dua yang berkilauan, gagangnya berbalut kulit, dan gagang datarnya yang dihiasi jendul-jendul emas. Itulah senjata pertama yang benar-benar terasa seimbang di tanganku.
"Pedang ini memiliki sejarah panjang dan tragis yang tak perlu kita bahas," kata Chiron. "Namanya Anaklusmos."
"Riptide—Air Surut'," aku menerjemahkan, kaget sendiri bahwa bahasa Yunani Kuno itu begitu mudah terpikir.
"Hanya gunakan untuk situasi darurat," kata Chiron, "dan hanya untuk melawan monster. Pahlawan tak boleh menyakiti manusia, kecuali benar-benar perlu tentu saja, tetapi pedang ini memang tak akan menyakiti mereka."
Aku menatap pedang yang sangat tajam itu. "Apa maksud Bapak, pedang ini tak bisa menyakiti manusia? Kenapa tak bisa?"
"Pedang ini terbuat dari perunggu surgawi. Ditempa oleh Cyclops, diperkeras di jantung Gunung Etna, didinginkan di Sungai Lethe. Pedang ini maut bagi monster, bagi makhluk apa pun dari Dunia Bawah, asalkan kau tidak terbunuh duluan. Tapi pedang itu melewati manusia seperti sebuah ilusi. Mereka memang tak cukup penting untuk dibunuh pedang itu. Dan harus kuperingatkan: sebagai setengah dewa, kau bisa dibunuh oleh senjata langit ataupun senjata biasa. Kau dua kali lebih terancam."
"Pengetahuan yang bermanfaat."
"Sekarang tutup lagi pena itu."
Aku menyentuhkan tutup pena itu pada ujung pedang dan Riptide langsung menyusut menjadi pena lagi. Kuselipkan ke saku dengan sedikit gugup, karena aku terkenal sering kehilangan pena di sekolah.
"Nggak mungkin," kata Chiron.
"Nggak mungkin apa?"
"Kau kehilangan pena," katanya. "Pena itu sudah disihir. Akan selalu muncul lagi di sakumu. Coba saja."
Aku tak percaya, tetapi kulempar pena itu sejauh-jauhnya ke kaki bukit dan kulihat lenyap di antara rumput.
"Perlu waktu sebentar," kata Chiron. "Sekarang periksa sakumu."
Benar saja, pena itu ada di sana.
"Oke, yang ini keren banget," aku mengakui. "Tapi bagaimana kalau ada manusia yang melihatku menghunus pedang?"
Chiron tersenyum. "Kabut itu hal yang ampuh, Percy."
"Kabut?"
"Ya. Bacalah Iliad. Buku itu sering menyebut Kabut. Setiap kali unsur-unsur dewa atau monster bercampur dengan dunia manusia, Kabut pun timbul, menghalangi pandangan manusia. Kau melihat segala sesuatu sebagaimana aslinya, karena kau blasteran, tetapi manusia menafsirkan situasi tersebut secara sangat berbeda. Sungguh, luar biasa upaya mereka untuk menyesuaikan segala sesuatu ke dalam versi realitas mereka."
Aku memasukkan Riptide kembali ke saku.
Untuk pertama kalinya, misi ini terasa nyata. Aku benar-benar akan meninggalkan Bukit Blasteran. Aku berangkat ke barat tanpa pengawasan orang dewasa, tanpa rencana cadangan, bahkan tanpa ponsel. Kata Chiron, ponsel dapat dilacak oleh monster; kalau kami memakai ponsel, itu lebih buruk daripada menembakkan peluru suar ke udara. Pedanglah senjata yang tersakti bagiku, untuk melawan monster maupun mencapai Negeri Orang Mati.
"Chiron ..." kataku. "Saat kau bilang dewa itu hidup abadi ... maksudku, ada masa sebelum mereka, bukan?"
"Sebenarnya ada empat zaman sebelum mereka. Zaman Titan adalah Zaman Keempat, kadang disebut Zaman Keemasan. Nama itu jelas tidak cocok dengan keadaan sebenarnya. Sekarang ini, zaman peradaban Barat dan kekuasaan Zeus, adalah Zaman Kelima."
"Jadi, seperti apa keadaannya dulu... sebelum ada dewa?"
Chiron meruncingkan bibir. "Aku saja tidak cukup tua untuk mengingat itu, Nak, tapi aku tahu bahwa masa itu masa kegelapan dan kebiadaban bagi manusia. Kronos, sang penguasa bangsa Titan, menyebut masa kekuasaannya Zaman Keemasan karena manusia hidup tanpa dosa dan bebas dari semua pengetahuan. Tapi, itu hanya propaganda. Sang Raja Titan tak peduli sama sekali tentang bangsamu, kecuali sebagai makanan pembuka atau sumber hiburan murah. Barulah pada masa kekuasaan Raja Zeus, ketika Prometheus, si Titan yang baik, membawa api bagi umat manusia, spesiesmu mulai mengalami kemajuan. Pada masa itu pun Prometheus masih dicap sebagai pemikir radikal. Zeus menghukumnya dengan keras, barangkali kau masih ingat. Tentu saja, pada akhirnya para dewa menyayangi manusia, dan peradaban Barat pun terlahir."
"Tapi sekarang dewa tak bisa mati, kan? Maksudku, sepanjang peradaban Barat masih hidup, mereka juga hidup. Jadi... sekalipun aku gagal, aku tak bakal menimbulkan peristiwa yang begitu buruk, sehingga mengacaukan semuanya kan?"
Chiron memberiku senyum pilu. "Tak ada yang tahu berapa lama Zaman Barat akan berlangsung, Percy. Para dewa hidup abadi, betul. Tapi bangsa Titan juga begitu. Mereka masih ada, dikurung dalam berbagai penjara, dipaksa mengalami nyeri dan hukuman tanpa akhir, kekuatannya berkurang, tetapi jelas masih hidup. Mudah-mudahan para dewa tidak mengalami nasib buruk seperti itu, atau bahwa kita tidak kembali ke kegelapan dan kekacauan masa silam. Yang dapat kita lakukan, Nak, adalah mengikuti takdir kita."
"Takdir kita... itu kalau kita tahu apa takdirnya."
"Santai saja," kata Chiron. "Tetap berkepala dingin. Dan ingat, kau mungkin bisa mencegah perang terbesar dalam sejarah manusia."
"Santai," kataku. "Aku sangat santai kok."
Saat sampai ke kaki bukit, aku menoleh ke belakang. Di bawah pohon pinus yang dulunya adalah Thalia, putri Zeus, Chiron kini berdiri dalam bentuk penuh manusia kuda, memegang busur tinggi-tinggi sebagai tanda hormat. Hanya salam perpisahan perkemahan musim panas yang biasa dari centaurus biasa.
Argus mengantar kami dari daerah pedesaan ke Long Island barat. Aneh rasanya berada di jalan raya lagi, sementara Annabeth dan Grover duduk di sebelahku seolah-olah kami penumpang mobil biasa. Setelah dua minggu di Bukit Blasteran, dunia nyata terasa seperti khayalan. Aku mendapati diriku menatap setiap McDonald's, setiap anak di belakang mobil orangtuanya, setiap papan iklan dan mal belanja.
"Sejauh ini lancar," kataku kepada Annabeth. "Lima belas kilometer, nggak ada monster satu pun."
Dia menatapku dengan kesal. "Omongan seperti itu membawa nasib buruk, tahu. Dasar otak ganggang."
"Coba ingatkan aku lagi—kenapa sih kau membenciku begitu?"
"Aku nggak benci kok."
"Masa?"
Dia melipat topi tak kasat matanya. "Dengar ... pokoknya kita sudah semestinya nggak rukun, oke? Orangtua kita kan bersaing."
"Kenapa?"
Dia menghela napas. "Berapa alasan yang kau mau? Ibuku pernah memergoki Poseidon bersama pacarnya di kuil Athena. Tindakan Poseidon itu sangat melecehkan. Di lain waktu, Athena dan Poseidon bersaing untuk menjadi dewa pelindung bagi kota Athena. Ayahmu menciptakan mata air asin konyol sebagai anugerahnya. Ibuku menciptakan pohon zaitun. Warga kota merasa bahwa hadiah ibuku lebih baik, jadi mereka menamakan kota itu menurut namanya."
"Wah, mereka doyan zaitun ya."
"Ah, lupakan saja!"
"Nah, kalau ibumu menciptakan pizza—itu aku bisa mengerti."

"Kataku, lupakan!" Di kursi depan, Argus tersenyum. Dia tak berkata apa-apa, tetapi satu mata biru di tengkuknya berkedip kepadaku.
Lalu lintas memperlambat mobil kami di Queens. Saat kami masuk ke Manhattan, matahari sedang terbenam dan hujan mulai turun.
Argus mengantar kami di Stasiun Bus Greyhound di Upper East Side, tak jauh dari apartemen ibuku dan Gabe. Tiada sebuah kotak pos tertempel selebaran basah yang menampilkan fotoku: PERNAHKAH ANDA MELIHAT ANAK INI?
Kurobek selebaran sebelum Annabeth dan Grover sempat memerhatikan.
Argus menurunkan ransel-ransel kami, memastikan kami mendapat karcis, lalu melaju pergi. Mata di belakang tangannya terbuka untuk mengamati kami sementara dia keluar dari tempat parkir.
Aku memikirkan betapa dekatnya aku dengan apartemen lamaku. Pada hari biasa, ibuku tentu sudah pulang dari toko permen sekarang. Gabe si Bau mungkin sedang berada di sana sekarang, bermain poker, bahkan tak merindukan ibuku.
Grover menyandang ranselnya. Dia memandang ke arah jalan yang kulihat. "Kau ingin tahu kenapa ibumu menikahinya, Percy?"
Aku menatapnya. "Kau bisa membaca pikiranku, atau apa?"
"Cuma emosimu." Dia mengangkat bahu. "Kayaknya aku lupa menceritakan bahwa satir bisa melakukan itu. Kau memikirkan ibumu dan ayah tirimu, kan?"
Aku mengangguk, sambil bertanya-tanya hal apa lagi yang Grover lupa menceritakan kepadaku.
"Ibumu menikahi Gabe demi kau," Grover memberi tahu. "Kau menjulukinya si 'Bau,' tapi kau tak menyadari betapa baunya dia sebenarnya. Dia punya semacam aura ... Ih. Baunya bisa kuendus dari sini. Aku bisa mencium sisa baunya pada tubuhmu, padahal kau belum pernah dekat-dekat dia lagi seminggu ini."
"Trims," kataku. "Di mana kamar mandi terdekat?"
"Kau semestinya berterima kasih, Percy. Ayah tirimu memiliki bau yang begitu manusia dan menjijikkan, sehingga dia bisa menutupi kehadiran setengah-dewa mana pun. Begitu aku mencium bau bagian dalam Camaronya, aku langsung sadar: Gabe sudah bertahun-tahun menutupi baumu. Andai kau tak tinggal bersamanya pada musim panas, kau mungkin sudah lama ditemukan oleh monster. Ibumu bertahan dalam pernikahannya dengan Gabe untuk melindungimu. Dia perempuan yang cerdas. Dia pasti sangat mencintaimu, sampai rela bertahan dengan lelaki itu—barangkali itu bisa menghiburmu."
Sebenarnya tidak menghibur, tetapi aku memaksa diri agar tidak menunjukkannya. Aku akan bertemu dengan ibuku lagi, pikirku. Dia belum tiada.
Aku bertanya-tanya apakah Grover masih bisa membaca emosiku, yang begitu campur-aduk. Aku senang dia dan Annabeth menemaniku, tetapi aku merasa bersalah karena tidak jujur kepada mereka. Aku belum memberi tahu mereka alasan sebenarnya aku menerima misi gila ini.
Sejujurnya, aku tidak peduli soal mengambil petir Zeus, atau menyelamatkan dunia, atau bahkan membantu ayahku dalam masalah ini. Semakin kupikirkan, aku makin membenci Poseidon karena tak pernah mengunjungiku, tak pernah membantu ibuku, bahkan tak pemak mengirim cek tunjangan anak sekalipun. Dia cuma mengakuiku karena dia perlu tugas ini diselesaikan.
Yang kupedulikan hanya ibuku. Hades telah merenggutnya secara tidak adil, dan Hades akan mengembalikannya. Kau akan dikhianati oleh orang yang menyebutmu teman, bisik Oracle dalam benakku. Dan pada akhirnya kau akan gagal menyelamatkan yang terpenting. Diam, kataku.
Hujan terus turun.
Kami menunggu bus datang dengan gelisah. Akhirnya, kami memutuskan bermain sepak takraw dengan salah satu apel Grover. Annabeth hebat. Dia dapat memantulkan apel itu di lututnya, sikunya, bahunya, apa pun. Aku juga tak terlalu jelek.
Permainan itu berakhir ketika aku melontarkan apel itu ke Grover dan buah itu melintas terlalu dekat dengan mulutnya. Dalam satu gigitan raksasa ala kambing, takraw kami pun habis—biji, tangkai, semuanya.
Grover memerah. Dia berusaha meminta maaf, tetapi aku dan Annabeth terlalu sibuk terpingkal-pingkal.
Akhirnya bus itu datang. Sementara kami mengantre untuk naik, Grover mulai memandang ke sekeliling, mengendus-endus udara seperti dia mencium makanan kantin sekolah kesukaannya—enchilada.
“Ada apa?" tanyaku.
"Nggak tahu," katanya tegang. "Mungkin bukan apa-apa."
Tapi aku bisa lihat, ada sesuatu. Aku juga mulai menoleh ke sana kemari.
Aku merasa lega ketika kami akhirnya naik dan menemukan tempat duduk berdampingan di bagian belakang bus. Kami menyimpan ransel. Annabeth terus menepuk-nepukkan topi Yankees-nya pada paha dengan gugup.
Saat penumpang terakhir naik, Annabeth mencengkeram lututku. "Percy."
Seorang nenek tua baru saja naik bus. Dia mengenakan gaun beledu kusut, sarung tangan renda, dan topi rajut jingga tak berbentuk yang menutupi wajahnya, dan dia menenteng tas wol besar. Saat dia mengangkat kepala, mata hitamnya berbinar-binar, dan jantungku melompat.
Itu Bu Dodds. Lebih tua, lebih keriput, tetapi jelas wajah jahat yang sama.
Aku merengket di kursi.
Di belakangnya menyusul dua lagi nenek tua: seorang bertopi hijau, seorang bertopi ungu. Selain itu, mereka persis seperti Bu Dodds—tangan keriput, tas wol, dan gaun beledu kusut yang sama. Nenek setan kembar tiga.
Mereka duduk di baris depan, tepat di belakang sopir. Kedua nenek di dekat lorong menyilangkan kaki mereka di atas lantai, membentuk huruf X. Gerakan itu dilakukan cukup santai, tetapi mengirim pesan yang jelas: tak ada vang boleh turun dari bus.
Bus keluar dari stasiun, dan kami melaju di jalan-jalan licin Manhattan. "Dia mati nggak terlalu lama," kataku, berusaha mencegah suaraku gemetar. "Bukannya kau bilang, mereka terusir seumur hidupku?"
"Kataku, kalau kau beruntung," kata Annabeth. "Jelas kau lagi sial."
"Ketiga-tiganya," rengek Grover. "Di immortales!"
"Nggak apa-apa," kata Annabeth, jelas sedang berpikir keras. "Erinyes. Ketiga monster terburuk dari Dunia Bawah. Bukan masalah. Bukan masalah. Kita menyelinap keluar dari jendela saja."
"Tapi ini jenis jendela yang nggak bisa dibuka," erang Grover.
"Pintu belakang?" usul Annabeth.
Tak ada pintu belakang. Andaipun ada, pasti tak bisa membantu. Saat itu kami sudah berada di Ninth Avenue, menuju Terowongan Lincoln.
"Mereka nggak akan menyerang kita kalau ada saksi," kataku. "Iya kan?"
"Mata manusia nggak bagus," Annabeth mengingatkanku. "Otak mereka hanya bisa memproses yang mereka lihat melalui Kabut."
"Mereka akan melihat tiga orang nenek membunuh kita, kan?"
Dia memikirkannya. "Nggak tahu juga. Tapi, kita nggak bisa mengandalkan bantuan manusia. Mungkin pintu darurat di atap..?”
Kami memasuki Terowongan Lincoln, dan bus itu menjadi gelap, kecuali deretan lampu di lantai lorong. Suasana sunyi menyeramkan, tanpa bunyi hujan.
Bu Dodds bangkit. Dengan suara datar, seolah sudah dilatih, dia menyatakan kepada seluruh bus.
"Aku perlu ke kamar kecil."
"Aku juga," kata si saudari kedua.
"Aku juga," kata si saudari ketiga. Mereka semua mulai menyusuri lorong.
"Aku punya rencana," kata Annabeth. "Percy, ambil topiku."
"Apa?"
"Kaulah yang mereka inginkan. Jadilah kasat mata dan jalan ke depan. Biarkan mereka melewatimu. Mungkin kau bisa sampai ke depan dan kabur."
"Tapi kalian—"
"Kecil kemungkinan mereka memerhatikan kami," kata Annabeth. "Kau anak salah satu Tiga Besar. Baumu mungkin terlalu kuat."
"Masa kalian kutinggalkan begitu?"
"Jangan khawatir soal kami," kata Grover. "Ayo!"
Tanganku gemetar. Aku merasa seperti pengecut, tetapi kuambil topi Yankees itu dan kukenakan. Ketika aku melihat ke bawah, tubuhku sudah tidak kelihatan. Aku mulai mengendap-endap di lorong. Aku berhasil maju sepuluh baris, lalu masuk ke kursi kosong saat ketiga Erinyes lewat.
Bu Dodds berhenti, mengendus-endus, dan menatap lurus-lurus kepadaku. Jantungku berdebar-debar. Rupanya dia tak melihat apa-apa. Dia dan saudari-saudarinya terus berjalan.
Aku bebas. Aku berhasil sampai ke bagian depan bus.
Sekarang kami sudah hampir keluar dari Terowongan Lincoln. Aku baru saja hendak menekan tombol rem darurat, ketika terdengar lolongan mengerikan dari baris belakang.
Ketiga nenek itu bukan nenek-nenek lagi. Wajah mereka masih sama—rupanya tak bisa lebih buruk dari itu—tetapi tubuh mereka telah menciut menjadi tubuh cokelat berkulit yang bersayap kelelawar dan bertangan-kaki seperti cakar gargoyle. Tas mereka berubah menjadi cambuk berapi.
Ketiga Erinyes mengepung Grover dan Annabeth, melecut-lecutkan cambuk, mendesis: "Di mana itu? Di mana?"
Orang-orang lain di bus menjerit-jerit, merengket di kursi masing-masing. Mereka jelas melihat sesuatu.
"Dia nggak di sini!" teriak Annabeth. "Dia pergi!"
Ketiga Erinyes mengangkat cambuk. Annabeth menghunus pisau perunggunya. Grover menyambar kaleng timah dari tas kudapannya dan bersiap-siap melemparkannya.
Yang kulakukan berikutnya begitu impulsif dan berbahaya, aku semestinya dinamai duta GPPH terbaik tahun itu.
Perhatian si sopir bus terpecah, berusaha melihat apa yang terjadi di kaca spion.
Masih dalam keadaan tak terlihat, aku menyambar kemudi darinya dan menyentakkannya ke kiri. Semua orang melolong saat terlontar ke kanan, dan terdengar suatu bunyi, yang kuharap adalah bunyi ketiga Erinyes terbanting ke jendela.
"Hei!" seru si sopir. "Hei—wah!"
Kami bergulat memperebutkan kemudi. Bus itu menghantam sisi terowongan, logam bergesekan, menyemburkan bunga api sejauh satu kilometer di belakang kami.
Kami keluar dari Terowongan Lincoln dengan oleng, dan kembali memasuki badai hujan. Baik orang maupun monster terlontar-lontar di dalam bus. Mobil-mobil lain tergilas ke samping seperti pin boling.
Entah bagaimana, si sopir menemukan jalan keluar. Kami keluar dari jalan bebas hambatan, melewati setengah lusin lampu merah, dan akhirnya meluncur di salah satu jalan pedesaan New Jersey. Daerahnya begitu kosong, kau tentu heran bagaimana bisa ada kehampaan begitu luas di seberang sungai dari New York. Di sebelah kiri ada hutan, di sebelah kanan ada Sungai Hudson, dan si sopir tampaknya membelok ke arah sungai.
Gagasan hebat berikutnya: Aku menginjak rem darurat.
Bus itu melolong, berputar satu lingkaran penuh pada aspal basah, dan menabrak pepohonan. Lampu darurat menyala. Pintu itu terbanting terbuka. Si sopir bus adalah orang pertama yang keluar, penumpang menghambur mengikutinya sambil menjerit-jerit. Aku menyamping ke kursi sopir dan membiarkan mereka lewat.
Ketiga Erinyes berhasil berdiri tegak kembali. Mereka melecutkan cambuk pada Annabeth. Anak itu mengayunkan pisau dan berteriak dalam bahasa Yunani Kuno, menyuruh mereka mundur. Grover melemparkan kaleng-kaleng timah.
Aku melihat ke pintu terbuka. Aku bisa kabur, tetapi aku tak bisa meninggalkan teman-temanku. Aku mencopot topi halimunan.
"Hei!"
Ketiga Erinyes menoleh, memperlihatkan taring kuning, dan tiba-tiba aku merasa kayaknya kabur itu ide yang bagus juga.
Bu Dodds merangsek menyusuri lorong, seperti yang dulu sering dilakukannya di kelas, untuk menyerahkan hasil ujian matematikaku yang bernilai F-. Setiap kali dia melecutkan cambuk, lidah api merah menari-nari di sepanjang kulit berduri itu.
Kedua saudarinya yang jelek itu melompat ke atas kursi di samping kiri-kanan dan merayap ke arahku seperti dua kadal raksasa yang jelek.
"Perseus Jackson," kata Bu Dodds, dengan aksen yang jelas berasal dari suatu tempat yang jauh lebih selatan daripada negara bagian Georgia. "Kau telah menyinggung perasaan para dewa. Kau akan mati."
"Aku lebih suka waktu kau menjadi guru matematika," kataku.
Dia menggeram.
Annabeth dan Grover bergerak di belakang ketiga Erinyes dengan hati-hati, mencari peluang menyerang.
Aku mengambil pena dari saku dan membuka tutupnya. Riptide memanjang menjadi pedang bermata dua yang berkilap-kilap.
Ketiga Erinyes ragu.
Bu Dodds sudah pernah merasakan pedang Riptide. Dia jelas tidak senang melihatnya lagi. "Menyerahlah sekarang," desisnya. “Supaya kau tak akan menderita siksa abadi."
"Enak saja," kataku.
"Percy, awas!" seru Annabeth.
Bu Dodds melecutkan cambuk sehingga melingkari tanganku yang memegang pedang, sementara Erinyes di kedua isiku menerkamku. Tanganku terasa dibungkus lelehan timah panas, tetapi aku berhasil mempertahankan Riptide. Aku menyodok Erinyes di sebelah kiri dengan gagang pedang, membuatnya terjengkang ke kursi. Aku berbalik dan menyabet Erinyes di sebelah kanan. Begitu pedang mengenai lehernya, dia menjerit dan meledak menjadi debu. Annabeth memeluk Bu Dodds dari belakang dan menyentakkannya ke belakang sementara Grover merebut cambuk dari tangannya.
"Aduh!" jerit Grover. "Aduh! Panas! Panas!"
Erinyes yang ku tonjok dengan gagang tadi menyerangku lagi, dengan cakar siap-siaga, tetapi aku mengayunkan Riptide dan dia pecah seperti pinata.
Bu Dodds berusaha melepaskan diri dari Annabeth di punggungnya. Dia menendang, mencakar, mendesis, dan menggigit. Tetapi, Annabeth terus bertahan sementara Grover mengikat kaki Bu Dodds dengan cambuknya sendiri. Akhirnya mereka mendorongnya mundur ke lorong. Bu Dodds berusaha bangkit, tetapi tak ada ruang untuk mengepakkan sayap kelelawarnya, jadi dia terus terjatuh-jatuh.
"Zeus akan menghancurkanmu!" janjinya. "Hades akan menggenggam jiwamu!"
"Braccas meas vesciminil" teriakku. Aku tak tahu dari mana asalnya bahasa Latin itu. Kayaknya artinya adalah "Rasakan!"
Guntur mengguncang bus. Bulu kudukku berdiri.
"Keluar!" teriak Annabeth kepadaku. "Sekarang!"
Aku tak perlu disuruh dua kali.
Kami bergegas keluar dan menemukan penumpang lain mondar-mandir dengan bingung, bertengkar dengan sopir, atau berlari berputar-putar sambil berteriak, "Kita akan mati!" Seorang wisatawan berkemeja Hawaii yang membawa kamera mengambil fotoku sebelum aku sempat menutup pedang.
"Tas kita!" Grover menyadari. "Tas kita tertinggal—"
BLAAAAAAM!
Jendela bus meledak sementara penumpang berlari untuk berlindung. Petir mengoyakkan kawah besar di atap, tetapi lolongan marah dari dalam menandakan bahwa Bu Dodds belum mati.
"Lari!" kata Annabeth. "Dia memanggil bala bantuan! Kita harus pergi dari sini!"
Kami masuk ke dalam hutan sementara hujan turun deras, bus terbakar di belakang kami, dan hanya kegelapan yang tampak di depan kami.
11. Kami Mengunjungi Pusat Belanja Taman Patung
Dalam satu segi, enak rasanya mengetahui bahwa dewa-dewa Yunani itu ada, karena ada yang bisa disalahkan kalau terjadi masalah. Misalnya, kalau kita sedang berjalan menjauhi sebuah bus yang baru saja diserang oleh nenek monster dan diledakkan oleh petir, ditambah lagi hujan turun, sebagian besar orang mungkin berpikir bahwa itu hanya nasib sial; kalau kita anak blasteran, kita mengerti bahwa ada suatu kekuatan dewata yang memang berusaha merusak harimu.
Jadi, begitulah kami, aku dan Annabeth dan Grover, berjalan di hutan di sepanjang tepi sungai New Jersey, pendar Kota New York menjadikan langit malam berwarna kuning di belakang kami, dan bau Sungai Hudson busuk menusuk hidung.
Grover menggigil dan mengembik, sangat ketakutan, mata kambingnya yang besar berubah menjadi berpupil pipih. "Tiga Si Baik. Ketiga-tiganya sekaligus."
Aku sendiri cukup syok. Ledakan jendela bus masih terngiang-ngiang di telingaku. Tapi Annabeth terus menarik kami maju, berkata "Ayo! Semakin jauh kita, semakin baik."
"Semua uang kita ada di sana," kuingatkan dia. "Makanan dan pakaian kita. Semuanya."
"Yah, mungkin kalau kau tidak memutuskan untuk terjun ke pertempuran—"
"Kau ingin aku bagaimana? Membiarkan kalian terbunuh?"
"Aku nggak perlu kaulindungi, Percy. Tanpamu turun tangan, aku pasti baik-baik saja."
"Diiris seperti roti lapis," celetuk Grover, "tapi baik-baik saja."
"Tutup mulut, Bocah Kambing," kata Annabeth.
Grover mengembik sedih. "Kaleng timah ... sekantong kaleng timah yang enak."
Kami berkecipak-kecipuk di tanah becek, menembus pepohonan yang berpuntir-puntir jelek yang baunya seperti rendaman pakaian kelamaan.
Setelah beberapa menit, Annabeth menjajariku. "Dengar, aku ...." Suaranya menghilang. "Aku berterima kasih, kau kembali untuk menyelamatkan kami lagi, oke? Tindakanmu sangat pemberani."
"Kita satu tim, kan?" Dia diam selama beberapa langkah lagi. "Hanya saja, kalau kau mati ... selain pasti nggak enak buatmu, itu berarti misi ini berakhir. Ini mungkin satu-satunya peluangku melihat dunia nyata."
Badai guntur akhirnya berhenti. Pendar kota memudar di belakang kami, sehingga kami berada dalam kegelapan yang hampir gulita. Aku tak bisa melihat Annabeth sama sekali, selain kilau rambut pirangnya.
"Kau belum pernah meninggalkan Perkemahan Blasteran sejak umur tujuh tahun?" tanyaku.
"Belum... hanya untuk karyawisata pendek. Ayahku—"
"Dosen sejarah itu."
"Ya. Tinggal di rumah ternyata nggak cocok buatku. Maksudku, Perkemahan Blasteran itulah rumahku." Kata-katanya berhamburan keluar sekarang, seolah-olah dia takut dihentikan orang. "Di perkemahan, kita terus-menerus berlatih. Dan itu memang keren, tetapi monster itu berada di dunia nyata. Di dunia nyata kita tahu apakah kita memang lihai atau tidak."
Andai aku tidak mengenalnya, aku berani sumpah aku bisa mendengar keraguan dalam suaranya.
"Kau cukup lihai menggunakan pisau," kataku.
"Benarkah?"
"Siapa pun yang bisa main kuda-kudaan dengan Erinyes, menurutku cukup lihai."
Aku tak bisa melihat dengan jelas, tetapi kurasa dia mungkin tersenyum.
"Kau tahu," katanya, "mungkin sebaiknya kukatakan... Ada yang aneh di bus tadi ..."
Apa pun yang ingin dikatakannya tersela oleh tut-tut-tut melengking, seperti bunyi burung hantu yang disiksa.
"Hei, sulingku nggak rusak!" seru Grover. "Kalau aku bisa ingat lagu 'cari jalan', kita bisa keluar dari hutan ini. Dia meniupkan beberapa nada, tetapi lagunya tetap saja terdengar mirip lagu Hilary Duff.
Bukannya menemukan jalan, aku malah langsung menabrak pohon dan kepalaku benjol lumayan besar.
Tambah satu lagi daftar kekuatan super yang nggak kumiliki: penglihatan inframerah.
Setelah tersandung dan mengumpat dan pokoknya merasa sengsara setelah sekitar dua kilometer kemudian, aku mulai melihat cahaya di depan: warna-warni plang neon. Tercium bau makanan. Makanan goreng, berminyak, lezat. Kusadari bahwa aku belum pernah makan makanan sehat apa pun sejak aku tiba di Bukit Blasteran.
Di sana kami hanya makan anggur, roti, keju, dan daging panggang tanpa lemak yang disiapkan oleh bangsa peri. Anak ini perlu burger keju daging dobel.
Kami terus berjalan sampai terlihat jalan dua jalur terbengkalai di antara pepohonan. Di seberangnya terdapat pompa bensin yang sudah tutup, papan iklan koyak untuk film 1990-an, dan satu toko yang buka, sumber lampu neon dan bau lezat itu.
Bukan restoran siap-saji seperti yang kuharapkan. Toko itu jenis toko barang aneh yang sering ada di tepi jalan, yang menjual patung flamingo untuk hiasan halaman, orang Indian kayu, beruang dari semen, dan barang-barang seperti itu. Gedung utamanya berupa gudang rendah yang panjang, dikelilingi berhektare-hektare patung. Aku tak mungkin bisa membaca tanda neon di atas gerbang. Bagi disleksiaku, bahasa Inggris biasa saja sudah susah dibaca, apalagi bahasa Inggris dalam lampu neon merah yang melingkar-lingkar.
Bagiku, tanda neon itu sepertinya berbunyi: PTSUA BJALNEA TMANA PTUANG BBIIME.
"Tulisan apa sih itu?" tanyaku.
"Nggak tahu," kata Annabeth.
Dia begitu senang membaca, aku lupa bahwa dia juga disleksia.
Grover menerjemahkan: "Pusat Belanja Taman Patung Bibi Em."
Di kedua sisi pintu masuk, seperti yang diiklankan, ada dua patung jembalang dari semen, berbentuk orang cebol berjenggot yang jelek, tersenyum dan melambai-lambai, seolah-olah mereka akan difoto.
Aku menyeberangi jalan, mengikuti bau hamburger.
"Hei..." Grover memperingatkan.
"Lampu di dalamnya menyala," kata Annabeth. "Mungkin toko itu buka."
"Toko camilan," kataku penuh harap.
"Toko camilan," dia setuju.
"Kalian berdua sudah gila?" kata Grover. "Tempat ini aneh."
Kami tak menghiraukannya.
Halaman depannya seperti hutan patung: hewan semen, anak semen, bahkan satir semen bermain suling, yang membuat Grover bergidik.
"Mbeek!" embiknya. "Mirip Paman Ferdinand!"
Kami berhenti di pintu gudang.
"Jangan diketuk," mohon Grover. "Aku mencium bau monster."
"Hidungmu tersumbat gara-gara Erinyes," kata Annabeth. "Aku cuma mencium burger. Kau nggak lapar?"
"Daging!" katanya sebal. "Aku vegetarian, tahu."
"Kau 'kan makan enchilada keju dan kaleng aluminium juga," aku mengingatkan.
"Itu juga sayuran. Ayo. Kita pergi. Patung-patung ini... menatapku."
Lalu pintu itu berderit terbuka, dan di depan kami berdiri seorang perempuan Timur Tengah yang bertubuh jangkung—setidaknya, aku menduga dia orang Timur Tengah, karena dia mengenakan gaun hitam panjang yang menutupi seluruh tubuh kecuali tangan, dan kepalanya tertutup sama sekali. Matanya berkilat-kilat di balik cadar kain kasa hitam, tetapi cuma itu yang bisa kulihat. Tangannya yang sewarna kopi itu tampak tua, tetapi terawat baik dan anggun, jadi kubayangkan dia seorang nenek yang dulunya wanita cantik.
Aksennya juga terdengar samar-samar Timur Tengah. Katanya, "Anak-anak, sudah terlalu larut untuk sendirian keluar. Di mana orangtuamu?"
"Mereka ... eh ..." Annabeth mulai berkata.
"Kami yatim-piatu," kataku.
"Yatim piatu?" kata perempuan itu. Kata itu terdengar asing di mulutnya. "Ah, anak-anakku! Benarkah?"
"Kami terpisah dari karavan kami," kataku. "Karavan sirrkus. Pemimpin sirkus menyuruh kami menemuinya di m bensin kalau kami tersesat, tapi mungkin dia lupa, atau mungkin yang dia maksud itu pom bensin yang lain. Yang pasti, kami tersesat. Apa yang tercium itu bau makanan?"
"Oh, anak-anakku," kata perempuan itu. "Kalian harus masuk, anak-anak malang. Aku Bibi Em. Langsung saja masuk terus ke bagian belakang gudang, silakan. Ada tempat makan."
Kami mengucapkan terima kasih dan masuk ke dalam. Annabeth bergumam kepadaku, "Karavan sirkus?"
"Harus selalu punya strategi, kan?"
"Kepalamu penuh ganggang."
Gudang itu juga dipenuhi patung—orang dalam berbagai pose, mengenakan pakaian berbeda-beda dan raut wajah yang berbeda-beda. Aku berpikir, kalau ingin dihiasi dengan salah satu patung ini, tamannya tentu harus berukuran besar karena semua patung ini berukuran seperti orang atau hewan sungguhan. Tapi, terutama aku berpikir tentang makanan.
Ya, silakan, sebut saja aku tolol, sembarangan memasuki toko seorang perempuan aneh seperti itu hanya karena aku lapar, tapi kadang-kadang aku impulsif. Lagi pula, kau belum pernah mencium bau burger Bibi Em. Aromanya seperti gas tertawa di kursi dokter gigi— mengusir segala hal lain. Aku hampir tak memerhatikan rengekan gugup Grover, atau bahwa mata patung-patung itu tampaknya mengikutiku, atau kenyataan bahwa Bibi Em mengunci pintu di belakang kami.
Aku cuma peduli soal mencari daerah makan. Dan benar saja, daerah itu ada di bagian belakang gudang, gerai cepat saji yang dilengkapi panggangan, air mancur soda, penghangat kue, dan wadah keju nacho. Segala sesuatu yang kau idamkan, plus beberapa meja piknik besi di depan.
"Silakan duduk," kata Bibi Em.
"Asyik," kataku.
"Eh," kata Grover enggan, "kami nggak punya uang, Bu."
Sebelum aku sempat menyikut tulang iganya, kata Bibi Em, "Tidak, tidak, anak-anak. Tak perlu uang. Ini kasus khusus, ya? Kutraktir, untuk anak-anak yatim piatu yang baik."
"Terima kasih, Bu," kata Annabeth.
Tubuh Bibi Em menjadi kaku, seolah-olah Annabeth berbuat salah, tetapi tubuhnya santai lagi sama cepatnya, jadi kusimpulkan itu hanya khayalanku saja.
"Tak apa-apa, Annabeth," katanya. "Mata abu-abumu indah sekali, Nak." Baru belakangan aku bertanya-tanya bagaimana dia tahu nama Annabeth, padahal kami belum memperkenalkan diri.
Sang nyonya rumah menghilang di balik meja camilan, dan mulai memasak. Tahu-tahu saja dia membawakan kami nampan plastik yang berisi burger keju dua daging, milkshake vanili, dan porsi kentang goreng ukuran XXL.
Burgerku sudah habis setengah saat aku ingat bahwa aku harus bernapas.
Annabeth menyeruput milkshake.
Grover memain-mainkan kentang goreng, dan melirik kertas nampan berlilin seolah-olah dia ingin makan itu, tetapi dia tampak terlalu gugup untuk makan.
"Bunyi desis apa itu?" tanyanya.
Aku memasang telinga, tetapi tak mendengar apa-apa. Annabeth menggeleng.
"Desis?" tanya Bibi Em. "Mungkin minyak goreng. Telingamu tajam, Grover."
"Aku makan vitamin. Supaya telinga sehat."
"Bagus sekali," katanya. "Tapi, santailah."
Bibi Em tidak makan apa-apa. Dia tidak mencopot tutup kepalanya, bahkan saat memasak. Sekarang dia memajukan tubuh dan menjalin jemarinya dan mengamati kami makan.
Rasanya rikuh juga, ditatap orang yang wajahnya tak bisa kulihat. Tetapi, aku kenyang setelah makan burger, dan agak mengantuk. Pikirku, sepatutnya paling sedikit aku harus berusaha berbasa-basi dengan sang nyonya rumah.
"Jadi, Ibu menjual patung jembalang," kataku, berusaha terdengar berminat.
"Benar," kata Bibi Em. "Dan hewan. Dan orang. Apa pun untuk taman. Pesanan khusus. Perpatungan sangat populer lho."
"Banyak pembeli di jalan ini?"
"Tidak terlalu banyak. Sejak jalan raya dibangun... sebagian besar mobil jadi jarang lewat sini lagi. Aku harus menghargai setiap pelanggan yang datang."
Leherku kesemutan, seolah-olah ada orang lain yang menatapku. Aku berbalik, tetapi hanya ada patung anak perempuan yang membawa keranjang Paskah. Detailnya tak biasa, jauh lebih baik daripada patung taman pada Minumnya. Tapi, ada yang aneh pada wajahnya. Kelihatannya dia terkejut, atau bahkan takut.
"Ah," kata Bibi Em sedih. "Kau memerhatikan bahwa sebagian patung buatanku tidak bagus. Ada cacatnya. Tak ada yang mau membeli patung seperti itu. Wajah yang paling sulit dibuat bagus. Selalu wajahnya."
"Bibi membuat patung sendiri?" tanyaku.
"Tentu. Dulu aku punya dua saudari yang membantu Dalam usaha ini, tetapi mereka sudah meninggal, dan Bibi Em sendirian saja. Aku hanya punya patung. Itu sebabnya aku membuatnya. Mereka menemaniku."
Kesedihan dalam menaranya terdengar begitu dalam dan nyata, sehingga mau tak mau aku merasa kasihan padanya. Annabeth berhenti makan.
Dia memajukan tubuh dan berkata, "Dua saudari?"
"Kisah yang menyedihkan," kata Bibi Em. "Sebenarnya tidak cocok untuk anak-anak. Begini, Annabeth, ada perempuan jahat yang cemburu padaku, dulu sekali, sewaktu aku masih muda. Aku punya... pacar, begitu, dan perempuan jahat itu bertekad memisahkan kami. Dia menyebabkan terjadinya kecelakaan parah. Saudari-saudariku terus menemaniku. Mereka berbagi nasib buruk denganku selama mungkin, tetapi pada akhirnya mereka pergi. Mereka memudar. Aku sendiri yang bertahan, tetapi aku harus membayar harganya. Harga yang tinggi."
Aku tak tahu apa yang dia maksud, tetapi aku iba padanya. Kelopak mataku semakin berat, perutku yang kenyang membuatku mengantuk. Nenek malang. Siapa yang tega menyakiti orang yang begitu baik hati?
"Percy?" Annabeth mengguncang tubuhku untuk menarik perhatianku. "Mungkin sebaiknya kita pergi. Maksudku, kepala sirkus pasti menunggu kita."
Dia terdengar tegang. Aku tak tahu kenapa. Grover sedang makan kertas berlilin dari nampan, tetapi jika Bibi Em merasa itu aneh, dia tidak berkomentar apa-apa.
"Mata abu-abu yang begitu cantik," kata Bibi Em kepada Annabeth lagi. "Ya, sudah lama aku tidak melihat mata kelabu seperti itu." Dia mengulurkan tangan seolah-olah ingin membelai pipi Annabeth, tetapi gadis itu tiba-tiba berdiri.
"Kami benar-benar harus pergi."
"Ya!" Grover menelan kertas berlilin dan berdiri. "Kepala sirkus menunggui Benar!"
Aku tak ingin pergi. Aku merasa kenyang dan puas. Bibi Em baik sekali. Aku ingin bersamanya beberapa lama.
"Anak-anak, tolong," Bibi Em memohon. "Aku jarang sekali bertemu anak-anak. Sebelum kalian pergi, maukah setidaknya kalian duduk untuk berpose?"
"Berpose?" tanya Annabeth curiga.
"Untuk difoto. Nanti kugunakan sebagai model patung yang baru. Anak-anak sangat populer. Semua orang menyukai anak-anak."
Annabeth memindah-mindahkan berat di antara kedua kakinya. "Rasanya kami tak sempat, Bibi Em. Ayo, Percy."
"Sempat kok," kataku. Aku kesal pada Annabeth karena main perintah-perintah, dan tidak sopan kepada pemilik Mengunjungi Pusat Belanja Jaman Patung nenek yang baru saja memberi kami makan secara gratis.
"Cuma berfoto saja, Annabeth. Apa ruginya?"
"Ya, Annabeth," dengkur perempuan itu. "Tidak ada ruginya."
Kelihatan bahwa Annabeth tidak menyukai hal ini, tetapi dia membiarkan Bibi Em mengantar kami keluar pintu depan, ke dalam taman patung. Bibi Em mengarahkan kami ke bangku taman di sebelah patung satir.
"Nah," katanya, "biar kuatur posisi kalian dulu. Pemudi di tengah-tengah, kurasa, dan kedua pemuda di sebelah-sebelahnya."
"Cahayanya kurang terang untuk mengambil foto," komentarku.
"Cukup kok," kata Bibi Em. "Cukup terang agar kita lusa saling melihat, ya?"
"Di mana kamera Bibi?" tanya Grover.
Bibi Em melangkah mundur, seolah-olah untuk mengagumi foto. "Nah, wajah yang paling sulit. Senyum, ya, anak-anak. Senyum lebar."
Grover melirik ke satir semen di sebelahnya, dan menggumam, "Patung itu benar-benar mirip Paman Ferdinand."
"Grover," tegur Bibi Em, "lihat ke sini,..Sayang."
Dia masih belum memegang kamera.
"Percy—" kata Annabeth.
Suatu naluri memperingatkanku agar mengindahkan Annabeth, tetapi aku sedang melawan rasa kantuk itu, rasa lengah dan nyaman yang ditimbulkan oleh makanan dan suara nenek itu.
"Sebentar, ya," kata Bibi Em. "Aku tak bisa melihat kalian dengan jelas dalam cadar terkutuk ini.”
"Percy, ada yang aneh," Annabeth mendesak.
"Aneh?" kata Bibi Em sambil menaikkan tangan untuk melepaskan balutan dari kepala. "Nggak ada yang aneh kok, Sayang. Aku mendapat teman yang begitu mulia malam ini. Apa yang aneh?"
"Itu memang Paman Ferdinand!" dengap Grover.
"Jangan melihat ke dia!" seru Annabeth. Dia memasang topi Yankees ke kepala dan menghilang. Tangan tak kasat mata mendorongku dan Grover dari bangku.
Aku berada di tanah, menatap kaki Bibi Em yang bersendal.
Kudengar Grover merayap ke satu arah, Annabeth ke arah lain. Tetapi, aku masih terlalu pusing untuk bergerak.
Lalu, terdengar bunyi kasar yang aneh di atasku. Mataku naik ke tangan Bibi Em, yang telah berubah menjadi bertonjol-tonjol dan berkutil, kukunya berubah menjadi cakar perunggu yang tajam.
Aku nyaris melihat lebih ke atas, tetapi di suatu tempat di sebelah kiri, Annabeth berseru, "Jangan! Jangan lihat!"
Bunyi desis lagi—bunyi ular-ular kecil, persis di atasku, dari... dari tempat yang semestinya ditempati kepala Bibi Em.
"Lari!" embik Grover. Kudengar dia berlari di atas bebatuan, berseru, "Maia!" untuk mengaktifkan sepatu terbangnya.
Aku tak bisa bergerak. Aku menatap cakar Bibi Em yang bertonjol-tonjol, dan berusaha melawan rasa pening yang ditimbulkan nenek itu.
"Sayang sekali merusak wajah muda yang tampan," katanya kepadaku dengan nada membujuk. "Tinggallah bersamaku, Percy. Kau hanya perlu melihat ke atas."
Kulawan keinginan hati untuk mematuhi. Alih-alih, aku menoleh ke samping dan melihat bola kaca yang sering diletakkan orang di taman—bola ramalan. Kulihat pantulan gelap Bibi Em di kaca Jingga; balutan kain kepalanya sudah hilang, menyingkapkan wajahnya sebagai lingkaran pucat berkilauan. Rambutnya bergerak-gerak, menggeliat-geliut seperti ular.
Bibi Em.
Bibi "M."
Bagaimana aku bisa sebodoh itu? Coba ingat-ingat, kataku dalam hati. Bagaimana matinya Medusa dalam mitos?
Tetapi, aku tak bisa berpikir. Rasanya, di dalam mitos, Medusa sedang tidur saat diserang oleh orang yang namanya dipakai untuk namaku, Perseus. Sekarang dia sama sekali tidak sedang tidur. Kalau mau, dia bisa menggunakan cakar itu sekarang juga dan mengoyak wajahku.
"Si Mata Kelabu yang melakukan ini padaku, Percy," kata Medusa, tetapi suaranya sama sekali tidak seperti suara monster. Suara itu mengundangku untuk melihat ke atas, untuk bersimpati pada seorang nenek tua yang malang. "Ibu Annabeth, Athena terkutuk itu, mengubahku dari wanita cantik menjadi seperti ini."
"Jangan dengarkan dia!" suara Annabeth berseru, di suatu tempat di antara patung-patung. "Lari, Percy!"
"Diam!" Medusa mengaum. Lalu, suaranya diatur kembali menjadi dengkur yang menyejukkan. "Kau lihat sendiri, kenapa aku harus menghancurkan gadis itu, Percy. Dia putri musuhku. Aku akan menghancurkan patungnya menjadi debu. Tapi kau, Percy sayang, kau tak perlu menderita."
"Tidak," gumamku. Aku berusaha menggerakkan kaki.
"Kau benar-benar ingin membantu para dewa?" tanya Medusa. "Apa kau mengerti apa yang menantimu dalam misi konyol ini, Percy? Apa yang akan terjadi kalau kau sampai ke Dunia Bawah? Jangan mau menjadi pion para dewa Olympia, Sayang. Lebih baik kau menjadi patung saja. Sakitnya lebih sedikit. Sakitnya lebih sedikit."
"Percy!" Di belakangku, terdengar bunyi dengung, seperti burung kolibri seratus kilogram sedang menukik. Grover berseru, "Membungkuk!"
Aku berbalik, dan ternyata dia berada di langit malam, terbang meluncur dari arah jam dua belas dengan sepatu bersayap mengepak-ngepak, Grover, memegang dahan pohon sebesar pemukul bisbol. Matanya tertutup rapat-rapat, kepalanya berkedut ke kanan-kiri. Dia menentukan arah hanya dengan telinga dan hidung.
"Menunduk!" teriaknya lagi. "Akan kuhantam dia!" Itu akhirnya menyentakkan diriku agar bertindak. Karena mengenal Grover, aku yakin pukulannya akan meleset dan mengenaiku. Aku menukik ke samping.
Buk! Pertama-tama, kusangka itu bunyi Grover menabrak pohon. Lalu, Medusa menggeram murka.
"Dasar satir sialan," geramnya. "Akan kutambahkan kau ke koleksiku!"
"Itu untuk Paman Ferdinand!" Grover balas berteriak.
Aku merangkak pergi dan bersembunyi di antara patung, sementara Grover menukik lagi untuk memukul lagi.
Bruk!
"Aduh!" teriak Medusa, rambut ularnya mendesis dan meludah-ludah.
Tepat di sebelahku, suara Annabeth berkata, "Percy!" Aku melompat begitu tinggi, kakiku hampir lebih tinggi dari patung jembalang.
"Aduh! Jangan mengagetkan begitu!"
Annabeth mencopot topi Yankees dan menjadi terlihat. "Kau harus memenggal kepalanya."
"Apa? Kau gila? Ayo kita kabur."
"Medusa itu berbahaya. Dia jahat. Aku ingin membunuhnya sendiri, tapi....” Annabeth menelan, seolah-olah akan mengakui hal yang sulit. "Tapi senjatamu lebih bagus. Lagi pula, aku tak mungkin bisa mendekatinya. Dia pasti mencincangku karena ibuku. Kau—kau punya peluang."
"Apa? Aku nggak bisa—"
"Dengar, kau mau dia mengubah orang tak bersalah lain menjadi patung?" Dia menunjuk sepasang patung kekasih, lelaki dan perempuan yang saling berpelukan, diubah menjadi batu oleh monster itu. Annabeth menyambar bola ramalan hijau dari tiang dekat situ.
"Perisai yang dipoles sebenarnya lebih bagus," Dia mempelajari bola itu dengan kritis. "Kecembungan akan menimbulkan distorsi. Ukuran pantulannya akan berbeda dengan faktor—"
"Pakai bahasa yang normal dong!"
"Pakai kok!" Dia melontarkan bola kaca itu kepadaku. "Pokoknya, lihat dia melalui kaca ini. Jangan melihat dia langsung."
"Teman-teman!" teriak Grover di suatu tempat di atas kami. "Kurasa dia pingsan!"
"Grrrrrrl"
"Nggak ding," Grover mengoreksi. Dia menukik untuk memukul lagi dengan dahan pohon.
"Cepat," kata Annabeth. "Penciuman Grover bagus, tetapi dia nanti akan menabrak juga."
Aku mengeluarkan pena dan melepas tutupnya. Pedang perunggu Riptide memanjang di tanganku. Aku mengikuti bunyi mendesis dan meludah dari rambut Medusa. Aku menjaga agar mataku terus melekat pada bola ramal, supaya hanya melihat pantulan Medusa, bukan Medusa sungguhan. Lalu, dalam kaca bernuansa hijau itu, dia terlihat. Grover sedang menukik untuk memukulnya lagi dengan pentungan, tetapi kali ini dia terbang terlalu rendah. Medusa menyambar dahan itu dan menarik Grover hingga keluar jalur. Anak itu berguling di udara dan menabrak tangan beruang batu dengan "Aduh" yang menyakitkan. Medusa hendak menerkamnya ketika aku berseru.
"Hei!" Aku mendekatinya. Ini tidak mudah dilakukan, sambil memegang pedang dan bola kaca sekaligus. Jika dia menyerang, aku akan sulit membela diri.
Tapi dia membiarkanku mendekat—enam meter, tiga meter.
Aku dapat melihat pantulan wajahnya sekarang. Pasti wajah itu tidak sejelek itu. Pasti pusaran hijau dalam bola ramal mendistorsinya, sehingga wajahnya tampak lebih buruk.
"Kau tak akan tega menyakiti nenek tua, Percy" bujuknya. "Aku tahu, kau tak tega."
Aku ragu, terpana oleh wajah yang kulihat terpantul di kaca—mata yang tampak membakar menembus warna hijau, membuat lenganku melemah.
Dari balik beruang semen, Grover mengerang, "Percy, jangan dengar dia!"
Medusa terkekeh-kekeh. "Terlambat."
Dia menyerangku dengan cakarnya. Aku mengayunkan pedang ke atas, mendengar pias yang memuakkan, lalu desis seperti angin yang bergegas keluar gua—suara monster tercerai-berai.
Sesuatu jatuh ke tanah di sebelah kakiku. Sekuat tenaga aku menahan diri agar tak melihat. Terasa cairan hangat merembes ke kaus kaki, kepala ular-ular kecil sekarat menarik-narik tali sepatuku.
"Idih," kata Grover. Matanya masih terpejam erat-erat, tetapi kukira dia dapat mendengar benda itu menggelegak dan mengepul. "Idih banget."
Annabeth menghampiriku, matanya menatap langit. Dia memegang cadar hitam Medusa. Katanya, "Jangan bergerak."
Dengan amat sangat berhati-hati, tanpa melihat ke bawah, dia berlutut dan menyampirkan kain hitam pada kepala monster itu, lalu mengangkatnya. Kepala itu masih menetes-neteskan cairan hijau.
"Kau tak apa-apa?" tanyanya kepadaku, suaranya gemetar.
"Ya," aku memutuskan, meskipun rasanya mau muntah burger keju daging dobel. "Kenapa ... kenapa kepalanya nggak menguap?"
"Begitu kau memenggalnya, kepala ini menjadi rampasan perang," katanya. "Sama seperti tanduk Minotaurus-mu itu. Tapi bungkus kepalanya jangan dibuka. Tatapannya masih bisa mengubahmu menjadi batu."
Grover mengerang sambil memanjat turun dari patung beruang. Ada bilur besar di keningnya. Topi rasta hijaunya menggantung dari salah satu tanduk kambing kecilnya, dan kaki palsunya terlepas dari kaki kambingnya. Sepatu ajaib itu terbang tanpa arah di sekeliling kepalanya.
"Sang Superman," kataku. "Mantap."
Dia berhasil menyeringai malu-malu. "Tapi benar-benar nggak menyenangkan. Eh, bagian memukulnya dengan dahan, itu asyik. Tapi menabrak beruang beton. Nggak banget."
Dia menyambar sepatunya dari udara. Aku menutup kembali pedangku. Bersama-sama, kami bertiga tersaruk-saruk ke gudang.
Kami menemukan beberapa kantong plastik tua di belakang meja camilan dan membungkus kepala Medusa dua kali. Kami meletakkannya di atas meja tempat kami makan malam, dan duduk di sekelilingnya, terlalu lelah untuk berbicara.
Akhirnya aku berkata, "Jadi, berkat Athena, monster ini ada?"
Annabeth mendelikku dengan sebal. "Sebenarnya, berkat ayahmu. Kau lupa, ya? Medusa itu pacar Poseidon. Mereka memutuskan untuk bertemu di kuil ibuku. Itu sebabnya Athena mengubahnya menjadi monster. Medusa dan kedua saudarinya yang membantunya masuk ke kuil, mereka menjadi ketiga gorgon. Itu sebabnya Medusa ingin mencincangku, tetapi dia ingin mengabadikanmu sebagai patung yang bagus. Dia masih naksir ayahmu. Kau mungkin mengingatkan dia pada ayahmu."
Wajahku terbakar. "Oh, jadi sekarang aku yang salah kita bertemu Medusa."
Annabeth menegakkan tubuh. Sambil meniru suaraku, dengan tidak mirip, dia berkata, "'Cuma foto saja, Annabeth. Apa ruginya?'"
"Sudah dong," kataku. "Nyebelin banget sih."
"Kau yang menyebalkan."
"Kau—"
"Hei!" sela Grover. "Kalian berdua membuatku pusing, padahal bangsa satir semestinya nggak pernah merasa pusing. Mau kita apakan kepalanya?"
Aku menatap benda itu. Seekor ular kecil menggelantung dari lubang di plastik. Kata-kata yang tercetak di sisi kantong berbunyi: KAMI MENGHARGAI KUNJUNGAN ANDA!
Aku marah, tak hanya pada Annabeth atau ibunya, tetapi pada semua dewa untuk misi ini, karena menjadikan kami terempas dari jalan dan terlibat dalam dua pertarungan besar pada hari pertama keluar dari perkemahan. Kalau begini terus, kami tak mungkin bisa sampai di L.A. hidup-hidup, apa lagi sebelum titik balik matahari musim panas.
Apa kata Medusa tadi?
Jangan mau menjadi pion para dewa Olympia, Sayang Lebih baik kau menjadi patung saja. Aku bangkit.
"Aku pergi sebentar."
"Percy," Annabeth memanggilku. "Kau mau apa—"