Minggu, 27 Mei 2012

PERCY JACKSON & THE OLYMPIANS

PERCY JACKSON & THE OLYMPIANS 2

Dia menawariku kursi di sebelah kanan Pak D. Si direktur perkemahan itu memandangku dengan mata merah dan menghela napas panjang. "Oh, aku harus menyambut ya? Selamat datang di Perkemahan Blasteran. Nah, sudah kukatakan. Jangan harap aku senang berkenalan denganmu."
"Eh, makasih." Aku beringsut menjauh darinya. Satu pelajaran yang kupetik setelah hidup bersama Gabe adalah cara mengetahui kapan seorang dewasa habis minum-minum. Sudah pasti Pak D bersahabat dengan alkohol, sama pastinya aku bukan seorang satir.
"Annabeth?" Pak Brunner memanggil si gadis pirang.
Dia maju dan Pak Brunner memperkenalkan kami. "Gadis ini merawatmu hingga kau sehat, Percy. Annabeth, Manis, tolong periksa tempat tidur Percy, ya? Dia kita tempatkan di pondok sebelas sementara ini."
Annabeth berkata, "Baik, Chiron."
Dia sepertinya seumur denganku, barangkali beberapa centimeter lebih tinggi, dan tampak jauh lebih atletis dengan kulit terbakar dan rambut pirang ikal, dia persis seperti gadis khas California dalam bayanganku. Tetapi, matanya menghancurkan bayangan itu. Warnanya abu-abu memukau, seperti awan badai. Indah, tetapi juga menggentarkan, seolah-olah dia sedang menganalisis cara terbaik untuk menaklukkanku dalam perkelahian.
Dia melirik tanduk minotaurus di tanganku, lalu kembali kepadaku. Aku membayangkan dia akan berkata, Kau membunuh minotaurus! atau Wah, kau hebat! atau semacamnya.
Dia malah bilang, "Kau ngiler kalau lagi tidur." Lalu dia berlari ke pekarangan, rambut pirangnya berkibar-kibar.
"Jadi," kataku, ingin cepat-cepat mengubah topik. Tak Brunner, eh, bekerja di sini?"
"Bukan Pak Brunner," kata mantan Pak Brunner. "Itu cuma nama samaran. Kau boleh memanggilku Chiron."
"Oke." Sambil merasa bingung, aku menoleh kepada direktur. "Dan Pak D ... itu singkatan nama?"
Pak D berhenti mengocok kartu. Dia menatapku seolah-olah aku baru bersendawa keras. "Anak muda, nama itu punya kekuatan. Tidak boleh digunakan sembarangan."
"Oh. Betul. Maaf."
"Sungguh, Percy," sela Chiron-Brunner, "aku senang kau masih hidup. Sudah lama aku tidak mengunjungi calon pekemah. Aku pasti menyesal kalau selama ini aku cuma menyia-nyiakan waktu."
"Mengunjungi?"
"Aku setahun bekerja di Akademi Yancy, itu untuk mengajarimu. Tentu saja, kami menempatkan satir di banyak sekolah, untuk mengawasi. Tapi, Grover memberitahuku begitu bertemu denganmu. Dia merasa kau istimewa, jadi aku memutuskan untuk datang ke utara. Aku meyakinkan guru bahasa Latin yang satu lagi untuk ... eh, mengambil cuti."
Aku berusaha mengingat awal tahun ajaran. Rasanya sudah lama sekali, tetapi aku memang ingat samar-samar bahwa ada guru bahasa Latin lain pada minggu pertamaku di Yancy. Lalu, tanpa penjelasan, dia menghilang dan Pak Brunner mengambil alih mata pelajaran itu.
"Bapak datang ke Yancy untuk mengajariku?" tanyaku.
Chiron mengangguk. "Sejujurnya, pada awalnya aku tidak terlalu yakin soal dirimu. Kami menghubungi ibumu, memberitahunya bahwa kami mengamatimu kalau-kalau kau sudah siap untuk Perkemahan Blasteran. Tapi, waktu itu kau masih harus banyak belajar. Namun, kau sampai ke sini hidup-hidup, dan itu selalu jadi ujian pertamanya."
"Grover," kata Pak D tak sabar, "kau mau main atau tidak?"
"Mau, Pak!" Grover gemetar sambil duduk di kursi keempat, tetapi aku heran mengapa dia setakut itu pada seorang lelaki kecil gempal yang berkemeja Hawaii bercorak harimau.
"Kau tahu kan cara bermain pinochle?" Pak D menatapku curiga.
"Sayangnya, tidak," kataku.
"Sayangnya, tidak, Pak," katanya.
"Pak," ulangku. Aku semakin tidak menyukai direktur perkemahan itu.
"Nah," katanya kepadaku, "selain pertarungan gladiator dan Pac-Man, pinochle adalah salah satu permainan terbaik yang pernah diciptakan manusia. Aku mengharapkan semua pemuda yang beradab tahu peraturannya."
"Aku yakin anak ini bisa belajar," kata Chiron.
"Tolong," kataku, "ini tempat apa? Sedang apa saya di sini? Pak Brun—Chiron—kenapa Bapak mau datang ke Akademi Yancy hanya untuk mengajari saya?"
Pak D mendengus. "Aku juga heran soal itu."
Si direktur perkemahan membagikan kartu. Grover berjengit setiap kali sehelai kartu mendarat di tumpukan miliknya. Chiron tersenyum kepadaku penuh simpati, sebagaimana yang selalu dilakukannya di kelas bahasa Latin, seolah-olah mengatakan bahwa berapa pun nilai rata-rataku, aku adalah murid bintangnya. Dia mengharapkan aku tahu jawaban yang benar.
"Percy," katanya. "Ibumu tidak menceritakan apa-apa kepadamu?"
"Dia bilang…………. “ Aku ingat matanya yang sedih, memandang ke arah lautan. "Katanya, dia takut mengirim saya ke sini, meskipun ayah saya menginginkan itu. “Katanya, begitu saya berada di sini, mungkin saya tak akan bisa keluar lagi. Dia ingin saya tetap dekat dengannya."
"Tipikal," kata Pak D. "Biasanya gara-gara itulah mereka terbunuh. Anak Muda, kau mau menawar atau tidak?"
"Apa?" tanyaku. Dengan tidak sabar dia menjelaskan cara menawar dalam pinochle, lalu aku pun menawar.
"Agaknya terlalu banyak yang perlu diceritakan," kata Chiron. "Sepertinya film orientasi kita yang biasa tak akan memadai."
"Film orientasi?" tanyaku.
"Tidak," Chiron memutuskan. "Begini, Percy. Kau tahu temanmu Grover ini seorang satir. Kau tahu"—dia menunjuk tanduk di dalam kotak sepatu—"bahwa kau membunuh Minotaurus. Itu bukan prestasi kecil lho. Yang mungkin tak kauketahui, di dalam hidupmu bekerja kekuatan-kekuatan besar. Dewa-dewi—kekuatan yang disebut dewa-dewi Yunani—masih hidup."
Aku menatap ketiga orang di sekeliling meja.
Aku menunggu seseorang berseru, Ketipuuu..... Tapi Pak D malah berseru, "Oh, pernikahan raja. Trik! Trik!" Dia terkekeh sambil menghitung nilai permainan kartu.
"Pak D," tanya Grover takut-takut, "kalau nggak akan dimakan, boleh aku minta kaleng Diet Coke punya Bapak?"
"Eh? Boleh."
Grover menggigit sepotong besar kaleng aluminium kosong, mengunyahnya dengan sendu.
"Tunggu," kataku kepada Chiron. "Maksud Bapak, Tuhan itu ada?"
"Nah," kata Chiron. "Tuhan—dengan T besar, Tuhan. Itu masalah yang lain sama sekali. Kita tak akan membahas hal metafisika."
"Metafisika? Tapi barusan Bapak bicara soal—"
"Ah, dewa-dewi, makhluk-makhluk adikuasa yang mengendalikan kekuatan alam dan kegiatan manusia: dewa-dewi abadi dari Olympus. Itu masalah yang lebih kecil."
"Lebih kecil?"
"Ya, benar. Dewa-dewi yang kita bahas dalam mata pelajaran bahasa Latin."
"Zeus," kataku. "Hera, Apollo. Maksud Bapak, mereka."
Lalu terdengar lagi—guruh di kejauhan pada hari tanpa awan.
"Anak Muda," kata Pak D, "sebaiknya kau jangan terlalu sembarangan menyebut-nyebut nama itu."
"Tapi mereka kan cuma cerita," kataku. "Cuma—mitos, untuk menjelaskan petir dan musim dan sebangsa-nva. Cuma keyakinan orang sebelum ada ilmu pengetahuan."
"Ilmu pengetahuan!" Pak D mendengus. "Dan coba sebutkan, Perseus Jackson"—aku berjengit saat dia mengucapkan nama asliku, yang tak pernah kuceritakan kepada siapa pun—"bagaimana kira-kira pendapat orang tentang 'ilmu pengetahuanmu' ini dua ribu tahun dari sekarang?" Pak D melanjutkan. "Hmm? Mereka akan bilang itu cuma mantra primitif. Begitu. Aku suka kok pada manusia—mereka tak punya rasa perspektif sama sekali. Mereka menganggap mereka sudah berhasil meraih kemajuan besaaar. Dan benarkah itu, Chiron? Lihat anak ini dan beri tahu aku."
Aku tidak terlalu menyukai Pak D, tetapi cara dia menyebutku manusia menyiratkan seolah-olah bahwa dia ……... bukan manusia. Itu sudah cukup untuk menimbulkan ganjalan di tenggorokanku. Sudah cukup untuk sedikit menjelaskan mengapa Grover menata kartu dengan patuh, mengunyah kaleng soda, dan tutup mulut.
"Percy," kata Chiron, "kau boleh memilih percaya atau tidak, tetapi kenyataannya adalah makhluk abadi memang hidup abadi. Bisakah kau bayangkan sesaat, tak pernah mati? Tak pernah menua? Berwujud seperti diri kita sekarang, tetapi selamanya?"
Aku hendak menjawab dengan pikiran yang langsung tebersit di kepala, bahwa hidup abadi sepertinya menyenangkan, tetapi nada suara Chiron membuatku ragu.
"Maksud Bapak, baik orang percaya dewa ada atau tidak," kataku.
"Persis," kata Chiron menyepakati. "Andai kau ini dewa, apa kau suka kalau kau disebut cuma mitos, kisah lama untuk menjelaskan petir? Bagaimana kalau aku memberitahumu, Perseus Jackson, bahwa suatu hari nanti orang berkata bahwa kau cuma mitos, diciptakan sekadar untuk menjelaskan bagaimana cara seorang anak pulih dari peristiwa kehilangan ibunya?"
Jantungku berdebar-debar. Dia sedang berusaha membuatku marah, entah kenapa, tapi tak akan kubiarkan. Kataku, "Jelas saya tak akan suka. Tapi saya tak percaya ada dewa-dewi."
"Sebaiknya kau percaya," gumam Pak D. "Sebelum kau dihanguskan oleh salah satu dari mereka."
Kata Grover, "T-tolong, Pak. Dia baru kehilangan ibunya. Dia sedang syok."
"Untunglah," gerutu Pak D, memainkan sebuah kartu. "Sudah cukup buruk aku terperangkap di pekerjaan menyebalkan ini, bekerja dengan anak-anak yang bahkan tidak percaya!"
Dia melambaikan tangan. Sebuah gelas piala muncul di atas meja, seolah-olah cahaya matahari membelok sesaat, dan menganyam udara menjadi gelas. Gelas itu terisi sendiri dengan anggur merah.
Mulutku menganga, tetapi Chiron tidak menoleh.
"Pak D," dia memperingatkan, "laranganmu."
Pak D menatap anggur itu dan berpura-pura kaget.
"Astaga." Dia menatap ke langit dan berseru, "Kebiasaan lama! Maaf!"
Guruh lagi.
Pak D melambaikan tangan lagi, dan gelas anggur itu berubah menjadi sekaleng penuh Diet Coke. Dia menghela napas sedih, membuka kaleng soda itu, dan kembali ke permainan kartu.
Chiron mengedipkan mata kepadaku. "Belum lama Ini Pak D menyinggung perasaan ayahnya, karena jatuh hati pada peri pohon yang sudah dinyatakan terlarang."
"Peri pohon," ulangku, masih menatap kaleng Diet Coke yang seolah-olah muncul dari luar angkasa.
"Ya," Pak D mengaku. "Ayah senang menghukumku. Pertama kalinya, dengan Undang-Undang Anti-Alkohol. Mengerikan! Benar-benar sepuluh tahun yang menyiksa! Yang kedua—yah, dia memang sangat cantik, dan aku tak tahan berjauhan dengannya—kedua kali, dia mengirimku ke sini. Bukit Blasteran. Perkemahan musim panas untuk anak-anak manja sepertimu. 'Jadilah pengaruh yang baik,' katanya kepadaku. 'Binalah kaum muda, jangan merusaknya.' Ha! Benar-benar tak adil."
Pak D kedengaran seperti anak umur enam tahun, seperti anak kecil yang merajuk.
"Dan ..." aku terbata, "ayah Bapak adalah ..."
"Di immortales, Chiron," kata Pak D. "Kusangka kau sudah mengajari anak ini dasar-dasarnya. Ayahku Zeus, tentu saja."
Aku mengingat-ingat semua nama berawalan D dalam mitologi Yunani. Anggur. Kulit harimau. Semua satir yang tampaknya bekerja di sini. Cara Grover berjengit, seolah-olah Pak D adalah majikannya.
"Bapak ini Dionysus," kataku. "Dewa Anggur."
Pak D memutar mata. "Apa kata orang zaman sekarang, Grover? Apa anak-anak berkata, 'Ya iyalah!'?"
"I-iya, Pak D."
"Nah. Ya iyalah! Percy Jackson. Memangnya kau pikir aku ini Aphrodite, barangkali?"
"Bapak ini dewa?"
"Iya, Bocah."
"Bapak? Dewa?" Dia menoleh untuk menatapku lurus-lurus. Terlihat semacam api keunguan di matanya, pertanda bahwa lelaki kecil gempal yang merengek-rengek ini baru menunjukkan sedikit saja perangai sejatinya. Kulihat bayangan sulur anggur yang mencekik orang-orang tak percaya hingga mati, para pendekar mabuk yang menjadi gila dengan hasrat bertempur, para pelaut yang menjerit saat tangannya berubah menjadi sirip dan wajahnya memanjang menjadi moncong lumba-lumba. Aku tahu bahwa jika aku mendesaknya, Pak D akan menunjukkan hal-hal yang lebih buruk. Dia akan menanamkan penyakit di dalam otakku, yang akan menyebabkan aku memakai jaket pengaman dalam kamar berdinding lapis karet selama sisa hidupku.
"Kau mau mengujiku, Bocah?" katanya lirih.
"Tidak. Tidak, Pak."
Api itu padam sedikit. Dia kembali ke permainan kartu. "Sepertinya aku menang."
"Belum tentu, Pak D," kata Chiron. Dia meletakkan kartu straight, menghitung nilai, dan berkata, "Permainan Ini aku yang menang."
Kusangka Pak D akan memusnahkan Chiron langsung di kursi rodanya, tetapi dia hanya mengembuskan napas melalui hidung, seolah-olah dia terbiasa dikalahkan oleh si guru bahasa Latin. Dia berdiri, dan Grover juga bangkit.
“Aku capek," kata Pak D. "Aku mau tidur siang dulu, sebelum acara nyanyi bersama malam ini. Tetapi, pertama-tama, Grover, kita perlu bicara, lagi, tentang kinerjamu yang kurang sempurna pada tugas ini."
Wajah Grover bertaburan peluh. "iya, Pak."
Pak D menoleh kepadaku. "Pondok sebelas, Percy Jackson. Dan jaga kelakuanmu."
Dia masuk ke dalam rumah pertanian, Grover mengikutinya dengan merana.
"Apa Grover nggak akan apa-apa?" tanyaku kepada Chiron.
Chiron mengangguk, tetapi dia tampak sedikit cemas. "Dionysus Tua tidak benar-benar marah. Dia hanya membenci pekerjaannya. Dia telah ... eh, dihukum, barangkali boleh dibilang begitu. Dia tak tahan, harus menunggu seabad lagi sebelum diizinkan pulang ke Olympus."
"Gunung Olympus," kataku. "Maksud Bapak, di sana benar-benar ada istana?"
"Nah, memang ada Gunung Olympus yang di Yunani. Tapi, ada juga tempat tinggal para dewa, titik pertemuan kekuatan mereka, yang dulu memang terletak di Gunung Olympus. Tempat itu sekarang masih disebut Gunung Olympus untuk menghormati adat lama, tetapi istana itu berpindah-pindah, Percy, sama seperti para dewa."
"Maksud Bapak, dewa-dewi Yunani sekarang ada di sini? Maksudku ... di Amerika?"
"Tentu saja. Para dewa berpindah-pindah mengikuti jantung Barat."
"Mengikuti apa?"
"Masa nggak tau. Yang kau sebut 'peradaban Barat'. Kau pikir itu cuma konsep abstrak? Bukan, itu kekuatan yang hidup. Kesadaran kolektif yang berkobar terang selama ribuan tahun. Dewa-dewi termasuk di dalamnya. Bahkan boleh dibilang, merekalah sumbernya, atau setidaknya, mereka terikat erat dengannya sehingga mereka tak mungkin memudar, kecuali jika seluruh peradaban Barat dihancurkan. Api itu dimulai di Yunani. Lalu, seperti yang kau ketahui—aku berharap kau tahu, karena kau lulus mata pelajaranku—jantung api itu pindah ke Roma, demikian pula dewa-dewinya. Mungkin namanya memang baru—Jupiter untuk Zeus, Venus untuk Aphrodite, dan seterusnya—tetapi kekuatan yang sama, dewa-dewi yang sama."
"Lalu mereka mati."
"Mati? Tidak. Apakah dunia Barat mati? Para dewa cuma pindah, ke Jerman, ke Prancis, ke Spanyol, beberapa lama. Di mana pun api itu paling terang, di situlah para dewa. Mereka melewatkan beberapa abad di Inggris. Kita tinggal melihat arsitekturnya. Orang tak pernah melupakan para dewa. Di setiap tempat mereka berkuasa, selama tiga ribu tahun terakhir, mereka tampil dalam lukisan, dalam patung, pada gedung-gedung terpenting. Dan benar, Percy, tentu saja mereka sekarang berada di Amerika Serikatmu. Lihat saja lambang negaramu, elang Zeus. Lihat patung Prometheus di Rockefeller Center, ukiran Yunani gedung-gedung pemerintah di Washington. Coba I m temukan kota Amerika mana yang tidak menampilkan dewa-dewi Olympia secara menonjol di berbagai tempat. Suka tidak suka—dan yakinlah, dulu juga banyak orang yang tak menyukai Roma—Amerika adalah jantung api itu sekarang. Di sinilah kekuatan Barat yang besar. Maka, Olympus juga berada di sini. Dan kita berada di sini."
Keterangan ini terlalu banyak, terutama kenyataan bahwa aku tampaknya disertakan dalam kita yang diucapkan Chiron, seolah-olah aku termasuk klub entah apa.
"Siapa Bapak sebenarnya?”
“Siapa ... siapa aku?"
Chiron tersenyum. Dia beringsut seolah-olah hendak bangkit dari kursi roda, tetapi aku tahu itu mustahil. Dia lumpuh dari pinggang ke bawah.
"Siapa kau?" dia bertanya. "Nah, kita semua ingin pertanyaan itu terjawab, bukan? Tetapi, sementara ini, sebaiknya kau tidur di pondok sebelas. Ada teman-teman baru yang akan kau temui. Dan besok ada banyak waktu untuk pelajaran. Lagi pula, malam ini akan ada acara lagi di api unggun, dan aku sangat suka cokelat."
Lalu, dia benar-benar bangkit dari kursi roda. Tetapi, cara dia melakukan itu agak aneh. Selimutnya terjatuh dari kakinya, tetapi kaki itu tidak bergerak. Pinggangnya terus saja memanjang, naik di atas sabuknya. Pertama-tama, kusangka dia mengenakan celana dalam beludru putih yang sangat panjang. Tetapi, saat dia terus bangkit dari kursi roda, lebih tinggi daripada manusia mana pun, kusadari bahwa celana dalam beludru itu bukan celana dalam, melainkan bagian depan seekor hewan, otot dan urat di balik bulu putih yang kasar. Dan kursi roda itu bukan kursi, melainkan semacam wadah, kotak raksasa beroda. Kursi itu pasti kursi ajaib, karena ukurannya tak mungkin bisa menampung seluruh tubuh Chiron. Sebuah kaki keluar, panjang dan berlutut menonjol, dengan kuku kaki besar yang berkilat. Lalu satu lagi kaki depan, lalu kaki belakang, lalu kotak itu kosong, sekadar selongsong logam yang ditempeli sepasang kaki manusia palsu.
Aku menatap kuda yang baru saja keluar dari kursi roda itu : seekor kuda jantan putih yang sangat besar. Tetapi, di tempat yang semestinya ditempati leher, ada bagian atas tubuh guru Latinku, secara mulus terpasang pada tubuh kuda.
"Lega rasanya," kata si centaurus. "Sudah lama sekali aku terkurung di situ, bulu kakiku sudah kebas. Nah, mari, Percy Jackson. Mari kita temui para pekemah lain.”
6. Aku penjadi Penguasa Tertinggi Kamar Mandi
Setelah aku mampu menerima bahwa guru bahasa Latinku seekor kuda, kami menikmati acara jalan-jalan berkeliling perkemahan, tetapi aku berhati-hati agar tidak berjalan di belakangnya. Aku sudah pernah beberapa kali bertugas membersihkan kotoran di Pawai Hari Thanksgiving dari toko Macy, dan, maaf saja, aku tak memercayai bagian pantat Chiron sebesar aku memercayai bagian depannya.
Kami melewati lapangan bola voli. Beberapa pekemah saling menyikut. Seseorang menunjuk tanduk minotaurus yang kubawa. Seorang lagi berkata, "Dia orangnya."
Sebagian besar pekemah lebih tua dariku. Teman-teman satir mereka lebih besar daripada Grover, yang kesemuanya berlari-lari mengenakan kaus PERKEMAHAN BLASTERAN warna Jingga, tanpa pakaian lain untuk menutupi kaki belakang gondrong mereka yang telanjang. Aku biasanya tidak pemalu, tetapi cara mereka menatapku membuatku rikuh. Aku merasa mereka mengharapkan aku bersalto atau apa.
Aku menoleh ke belakang, ke rumah pertanian itu. Rumah itu jauh lebih besar daripada yang sebelumnya kusadari—tingginya empat tingkat, berwarna biru langit dengan pinggiran putih, seperti sanggraloka tepi laut kelas atas. Aku sedang memerhatikan gada-gada berbentuk elang perunggu di atap, ketika sesuatu menarik perhatianku, sebuah bayangan di jendela teratas di cerucup loteng. Sesuatu menggerakkan tirai, sedetik saja, dan aku merasakan kesan jelas bahwa aku sedang diamati.
"Ada apa di atas sana?" tanyaku kepada Chiron.
Dia melihat ke arah yang kutunjuk, dan senyumnya memudar. "Cuma loteng."
"Ada yang tinggal di sana?"
"Tak ada," katanya tegas. "Tak satu pun makhluk hidup."
Aku merasa bahwa dia berbicara jujur. Tetapi, aku juga yakin ada yang menggerakkan tirai itu.
"Ayo, Percy," kata Chiron, nadanya yang ringan kini agak dipaksakan.
"Banyak yang harus dilihat."
Kami melintasi ladang stroberi. Para pekemah memetik berkeranjang-keranjang stroberi sementara seorang satir memainkan lagu dengan seruling.
Chiron bercerita bahwa perkemahan itu menghasilkan panen yang lumayan untuk dijual ke restoran-restoran New York dan Gunung Olympus. "Ini menutupi pengeluaran kami," katanya menjelaskan. "Dan menanam stroberi ini hampir tak memerlukan usaha."
Katanya, Pak D berpengaruh baik pada tumbuhan buah: semuanya tumbuh melimpah saat dia ada. Pengaruh itu paling bagus pada anggur untuk minuman, tetapi Pak D dilarang menanam itu, jadi mereka menanam stroberi saja.
Aku mengamati si satir bermain seruling. Musiknya menyebabkan barisan-barisan kumbang meninggalkan petak stroberi ke segala arah, seperti pengungsi yang melarikan diri dari api. Aku bertanya-tanya apakah Grover dapat menyihir dengan musik seperti itu. Aku bertanya-tanya apakah dia masih di dalam rumah pertanian, disemprot oleh Pak D.
"Grover nggak akan dihukum terlalu berat, kan?" tanyaku kepada Chiron. "Maksudku ... dia pelindung yang baik. Sungguh."
Chiron menghela napas. Dia menanggalkan jaket wol dan menyampirkannya di punggung kudanya seperti pelana. "Grover punya impian besar, Percy. Mungkin besarnya sudah tak lagi masuk akal. Untuk mencapai tujuannya, dia pertama-tama harus menunjukkan keberanian besar, dengan cara menjadi penjaga yang berhasil, yaitu mencari pekemah baru dan membawanya dengan selamat ke Bukit Blasteran."
"Tapi dia berhasil kan!"
"Aku mungkin setuju denganmu," kata Chiron. "Tapi bukan aku yang bertugas menentukan hal itu. Dionysus dan Dewan Tetua Berkuku Belah yang harus memutuskan. Sayangnya, mungkin mereka tak akan menganggap tugas ini berhasil dilaksanakan. Bagaimana pun, Grover kehilangan dirimu di New York. Lalu ada nasib ibumu yang ........ eh …….. tidak terlalu baik. Belum lagi kenyataan bahwa Grover sedang pingsan saat kau menyeretnya melewati batas wilayah. Dewan mungkin mempertanyakan apakah hal ini menunjukkan keberanian di pihak Grover."
Aku ingin protes. Tak satu pun peristiwa itu salah Grover. Aku juga merasa sangat-sangat bersalah. Andai aku tidak meninggalkan Grover di stasiun bus, dia mungkin tak akan terkena masalah.
"Dia akan mendapat kesempatan kedua, kan?"
Chiron meringis. "Sayangnya, tugas ini adalah kesempatan kedua Grover, Percy. Dewan sebenarnya agak enggan memberinya kesempatan ini, setelah peristiwa pada tugas pertama, lima tahun yang lalu. Sungguh, aku menasihatinya agar menunggu lebih lama sebelum mencoba lagi. Dia masih sangat kecil untuk usianya ………..”
"Berapa umurnya?"
"Oh, dua puluh delapan."
"Apa! Dan dia masih kelas enam?"
"Kecepatan tumbuh satir itu setengah kecepatan manusia, Percy. Selama enam tahun terakhir, Grover setara dengan anak SMP"
"Seram sekali."
"Memang," Chiron setuju. "Namun, Grover tetap termasuk yang pertumbuhannya terlambat, bahkan untuk ukuran satir, dan belum terlalu mahir sihir rimba. Namun, dia bersemangat mengejar impiannya. Mungkin sekarang dia harus mencari karier lain
"Itu nggak adil," kataku. "Apa yang terjadi pada tugas pertama? Memangnya seburuk itu?"
Chiron cepat berpaling. "Mari kita lanjutkan ke tempat lain."
Tetapi, aku belum siap melepaskan topik itu. Suatu pikiran terlintas di kepalaku ketika Chiron berbicara tentang nasib ibuku, seolah-olah dia sengaja menghindari kata kematian. Benih gagasan—api kecil penuh harap— mulai terbentuk dalam benakku.
"Chiron," kataku. "Kalau dewa-dewi dan Olympus dan semuanya nyata...."
"Ya, Nak?"
"Apa itu berarti Dunia Bawah Tanah juga nyata?" Raut Chiron menggelap.
"Ya, Nak." Dia berhenti sejenak, seolah memilih kata dengan hati-hati. "Ada tempat yang dituju arwah setelah kematian. Tetapi sementara ini ... sampai kita tahu lebih banyak …………. kuanjurkan kau menyingkirkan itu dari benakmu."
"Apa maksud Bapak, 'sampai kita tahu lebih banyak’?"
"Ayo, Percy. Kita lihat-lihat hutan."
Sementara kami mendekat, kusadari betapa besarnya hutan itu. Hutan itu meliputi setidaknya seperempat lembah itu, dengan pohon yang begitu rapat dan lebat, kau bisa membayangkan bahwa tak ada yang pernah masuk ke sana sejak orang Pribumi Amerika.
Chiron berkata, "Hutan itu dilengkapi pasokan, kalau kau ingin mencoba peruntungan, tapi jangan masuk tanpa senjata."
"Pasokan apa?" tanyaku. "Senjata apa?"
"Lihat saja nanti. Permainan tangkap bendera diadakan malam Sabtu. Kau punya perisai dan pedang sendiri?"
"Sendiri—?"
"Tidak," kata Chiron. "Tentu kau tidak punya. Kurasa ukuran lima akan pas. Nanti aku ke gudang senjata."
Aku ingin bertanya, perkemahan musim panas macam apa yang memiliki gudang senjata, tetapi terlalu banyak hal lain yang perlu dipikirkan, jadi acara keliling itu dilanjutkan. Kami melihat arena panah, danau kano, istal (yang tampaknya tak begitu disukai Chiron), arena lembing, amfiteater bernyanyi bersama, dan arena yang menurut Chiron merupakan tempat pertempuran pedang dan tombak.
"Pertempuran pedang dan tombak?" tanyaku.
"Tanding antarpondok dan semacamnya," dia menjelaskan. "Tidak mematikan. Biasanya. Oh ya, itu aula makan."
Chiron menunjuk sebuah paviliun di udara terbuka, yang dibingkai tiang-tiang putih bergaya Yunani, di atas bukit yang menghadap ke laut. Ada selusin meja piknik dari batu. Tak ada atap. Tak ada dinding.
"Bagaimana kalau hujan?" tanyaku.
Chiron menatapku seolah-olah aku agak aneh. "Kita tetap harus makan, kan?" Kuputuskan untuk tak melanjutkan topik itu.
Akhirnya, dia mengajakku melihat pondok. Semuanya berjumlah dua belas, terlindung pepohonan di tepi danau. Pondok itu ditata berbentuk U, dengan dua di dasar dan lima berbaris di kedua sisi. Dan tak pelak lagi, semuanya adalah kumpulan gedung paling aneh yang pernah kulihat.
Selain kenyataan bahwa setiap pondok dipasangi nomor kuningan besar di atas pintu (nomor ganjil di kiri, nomor genap di kanan), semuanya sama sekali tidak mirip. Nomor sembilan memiliki beberapa cerobong asap, seperti pabrik mungil. Tembok pondok nomor empat ditumbuhi sulur tomat dan atapnya terbuat dari rumput sungguhan. Nomor tujuh tampaknya terbuat dari emas murni, yang begitu berkilau dalam cahaya matahari sehingga hampir tak bisa dipandang. Semuanya menghadap ke halaman bersama yang berukuran sekitar besar lapangan sepak bola, ditebari patung Yunani, air mancur, petak bunga, dan beberapa keranjang bola basket (yang lebih cocok dengan seleraku).
Di tengah lapangan terdapat lubang perapian besar yang bertepi batu. Meskipun udara sore itu panas, perapian itu membara. Seorang gadis sekitar sembilan tahun menjaga api, menyodok-nyodok arang dengan tongkat.
Sepasang pondok di ujung lapangan, nomor satu dan dua, mirip dengan pusara sepasang suami-istri, berupa dua kubus besar dari marmer putih, dengan tiang-tiang besar di depan. Pondok satu adalah pondok terbesar dan terluas di antara kedua belas pondok. Pintu-pintu perunggunya yang mengilat cemerlang seperti hologram, sehingga dari berbagai sudut tampak seolah-olah sambaran petir menyambar di permukaannya. Pondok dua entah bagaimana tampak lebih anggun, tiangnya lebih ramping, dihiasi dengan buah delima dan bunga-bungaan. Dinding-dindingnya diukir dengan gambar merak.
"Zeus dan Hera?" tebakku.
"Benar," kata Chiron.
"Pondok mereka sepertinya kosong."
"Beberapa pondok memang kosong. Benar. Tak ada yang pernah tinggal di pondok satu dan dua."
Oke. Jadi, setiap pondok memiliki dewa yang berbeda-beda, seperti maskot. Dua belas pondok untuk dua belas dewa-dewi Olympia. Tetapi kenapa ada yang kosong? Aku berhenti di depan pondok pertama di sebelah kiri, pondok tiga. Pondok itu tidak semewah pondok satu, tetapi panjang dan rendah dan kokoh. Tembok luarnya terbuat dari batu kelabu kasar yang dihiasi dengan potongan cangkang laut dan karang, seolah-olah lempeng-lempeng itu dipotong langsung dari dasar laut. Aku mengintip ke dalam pintu yang terbuka dan Chiron berkata, "Sebaiknya jangan!"
Sebelum sempat menarikku mundur, aku menangkap aroma asin bagian dalam, seperti angin di pesisir di Montauk. Dinding bagian dalamnya berpendar seperti ibalone. Ada enam tempat tidur tingkat yang kosong, dengan seprai sutra terbalik. Tapi tak ada tanda-tanda pernah ditiduri. Tempat itu terasa begitu sedih dan sepi, aku lega ketika Chiron meletakkan tangannya di bahuku dan berkata, "Mari, Percy."
Sebagian besar pondok lain dipenuhi pekemah.
Nomor lima merah cerah—catnya benar-benar jelek, seolah-olah warna itu disiramkan dengan ember dan tangan. Atapnya dilapisi kawat berduri. Di atas pintu tergantung kepala celeng liar yang diawetkan, dan matanya seolah-olah mengikutiku. Di dalam terlihat sekelompok anak yang bertampang jahat, baik lelaki maupun perempuan, bermain panco dan bertengkar sementara musik rock membahana. Yang terlantang adalah seorang gadis yang berusia mungkin tiga belas atau empat belas. Dia mengenakan kaus PERKEMAHAN BLASTERAN ukuran XXXL di balik jaket loreng tentara. Dia melihatku dan menyeringai jahat kepadaku. Dia mengingatkanku pada Nancy Bobofit, meskipun gadis pekemah ini jauh lebih besar dan lebih tangguh, dan rambutnya panjang dan tipis, dan warnanya cokelat bukan merah.
Aku terus berjalan, berusaha menghindari kaki-kaki Chiron. "Centaurus lain belum kelihatan," komentarku.
"Tidak," kata Chiron sedih. "Kerabatku itu bangsa yang liar dan barbar, sayangnya. Mereka biasanya berada di alam liar, atau di acara olahraga besar. Tapi tak akan terlihat di sini."
"Bapak bilang, nama Bapak Chiron. Apakah Bapak benar-benar…"
Dia tersenyum kepadaku. "Chiron sungguhan dari cerita-cerita itu? Pelatih Hercules dan lain-lain? Ya, Percy, itu aku."
"Tapi, bukankah semestinya Bapak sudah mati?"
Chiron berhenti sejenak, seolah-olah pertanyaan itu memikat perhatiannya. "Aku benar-benar tak tahu soal semestinya. Sesungguhnya, aku tidak bisa mati. Soalnya, berabad-abad yang lalu para dewa mengabulkan permintaanku. Aku boleh melanjutkan pekerjaan yang kucintai. Aku boleh menjadi guru para pahlawan sepanjang umat manusia membutuhkan. Aku telah memperoleh banyak dari permintaan itu… dan telah mengorbankan banyak hal Tapi aku masih di sini, jadi aku hanya bisa berasumsi bahwa aku masih dibutuhkan."
Aku berpikir tentang menjadi guru selama tiga ribu tahun. Itu tak akan masuk menjadi Sepuluh Hal yang paling Kuinginkan.
"Apa Bapak nggak pernah bosan?"
"Tidak, tidak," katanya. "Sangat membuat depresi, kadang-kadang, tetapi tak pernah bosan." "Kenapa depresi?"
Chiron tampaknya menjadi budek lagi.
"Eh, lihat," katanya. "Annabeth menunggu kita."
Gadis pirang yang kutemui di Rumah Besar sedang membaca buku di depan pondok terakhir di sebelah kiri, nomor sebelas.
Ketika kami sampai di sana, dia memandangku penuh kritik, seolah-olah dia masih teringat seberapa banyak aku mengiler.
Aku berusaha melihat apa yang sedang dibacanya, tetapi aku tak bisa membaca judulnya. Tadinya kusangka disleksiaku kumat lagi. Lalu, kusadari bahwa judulnya memang bukan berbahasa Inggris. Hurufnya kelihatannya huruf Yunani. Benar-benar Yunani. Ada gambar berbagai kuil dan patung dan tiang berbagai jenis, seperti yang ada dalam buku arsitektur.
"Annabeth," kata Chiron, "aku ada mata pelajaran panah ahli pada tengah hari. Kau bisa mengambil alih Percy?"
"Iya, Pak."
"Pondok sebelas," kata Chiron memberitahuku, menunjuk pintu. "Semoga betah."
Di antara semuanya, pondok sebelas ini yang paling mirip dengan pondok perkemahan musim panas yang biasa, dan tampak tua. Ambangnya sudah lapuk, cat cokelatnya terkelupas. Di atas ada salah satu lambang dokter, tongkat bersayap yang dililit dua ekor ular. Apa namanya ...? Caduceus.
Bagian dalam pondok itu dipenuhi orang, baik perempuan maupun lelaki, jauh lebih banyak daripada jumlah tempat tidur tingkat. Kantong tidur tersebar di seluruh lantai. Suasananya mirip gimnasium yang dijadikan pusat pengungsian oleh Palang Merah.
Chiron tidak masuk. Pintu itu terlalu rendah baginya. Tapi, ketika para pekemah melihatnya, mereka semua berdiri dan membungkuk hormat.
"Baiklah," kata Chiron. "Selamat berjuang, Percy. Sampai ketemu saat makan malam."
Dia berderap menuju arena panah.
Aku berdiri di pintu, melihat anak-anak itu. Mereka sudah tidak membungkuk lagi. Mereka menatapku, mengukur-ukur. Aku kenal rutinitas ini. Aku sudah mengalaminya di cukup banyak sekolah.
"Jadi?" Annabeth mendesak. "Ayo masuk."
Tentu saja aku tersandung saat memasuki pintu dan nampak bodoh. Beberapa pekemah cekikikan, tetapi tak ada yang berkata apa-apa.
Annabeth mengumumkan, "Percy Jackson, kuperkenalkan pondok sebelas."
"Biasa atau belum ditentukan?" tanya seseorang.
Aku tak tahu harus menjawab apa, tetapi Annabeth berkata, "Belum ditentukan."
Semua orang mengerang.
Seorang anak lelaki yang lebih tua dari yang lain melangkah maju. "Nah, nah, pekemah. Itulah tujuan kita berada di sini. Selamat datang, Percy. Kau boleh menempati lantai di sana."
Anak itu berumur sekitar sembilan belas tahun, dan kayaknya anaknya cukup asyik. Dia jangkung dan berotot, dengan rambut warna pasir yang dipotong pendek dan senyum ramah. Dia mengenakan tank top Jingga, celana kuning, sandal, dan kalung kulit berhias lima manik warna-warni dari tanah liat. Satu-satunya hal yang membuat tidak nyaman soal penampilannya adalah bekas luka putih dan tebal yang terentang dari tepat di bawah mata kiri ke rahang, seperti luka lama dari sabetan pisau.
"Ini Luke," kata Annabeth, dan entah bagaimana suaranya terdengar berbeda. Aku melirik dan berani sumpah wajah gadis itu memerah. Dia melihatku melihatnya, dan rautnya mengeras lagi. "Dia pembinamu sementara ini.”
"Sementara ini?" tanyaku.
"Kau belum ditentukan," Luke menjelaskan dengan sabar. "Mereka tak tahu harus menempatkanmu di pondok mana, jadi kau tinggal di sini dulu. Pondok sebelas menerima semua pendatang baru, semua tamu. Tentu saja kami mau menerima. Hermes, pelindung kami, adalah Dewa Pejalan."
Aku melihat bagian lantai kecil yang diberikan kepadaku. Aku tak punya apa-apa untuk diletakkan di sana untuk menandainya sebagai milikku, tak ada koper, pakaian, kantong tidur. Hanya tanduk Minotaurus itu. Aku mempertimbangkan meletakkan itu, tetapi lalu aku ingat bahwa Hermes juga Dewa Pencuri.
Aku mengedarkan pandangan, melihat wajah para pekemah. Sebagian bermuka masam dan curiga, sebagian menyeringai tolol, sebagian memandangku seolah-olah sedang menunggu kesempatan mencopetku.
"Berapa lama aku akan di sini?" tanyaku.
"Pertanyaan bagus," kata Luke. "Sampai kau ditentukan."
"Berapa lama sampai aku ditentukan?" Semua pekemah tertawa.
"Ayo," kata Annabeth kepadaku. "Biar kuperlihatkan lapangan voli."
"Aku sudah lihat."
"Ayo."
Dia menyambar pergelangan tanganku dan menyeretku keluar. Terdengar anak-anak pondok sebelas tertawa di belakangku.
(Oo-dwkz-oO)
Ketika kami sudah menjauh beberapa meter, Annabeth berkata, "Jackson, kau harus berusaha lebih keras daripada itu."
"Apa?"
Dia memutar mata dan menggerutu, "Aku nggak percaya aku pernah berpikir bahwa kau orangnya."
"Kau kenapa sih?" Aku mulai marah. "Aku cuma tahu, aku membunuh si manusia-banteng—"
"Jangan bicara seperti itu!" kata Annabeth. "Apa kau tahu, berapa banyak anak di perkemahan ini yang ingin mendapat kesempatan yang kau dapatkan?"
"Kesempatan dibunuh?"
"Kesempatan melawan Minotaurus! Memangnya menurutmu buat apa kami berlatih?"
Aku menggeleng. "Dengar. Jika makhluk yang ku lawan benar-benar si Minotaurus, makhluk yang sama dengan yang dalam cerita-cerita ……...."
"Ya."
"Berarti hanya ada satu."
"Ya."
"Dan dia sudah mati jutaan tahun yang lalu kan? dibunuh Theseus dalam labirin. Jadi… “
"Monster nggak bisa mati, Percy. Bisa dibunuh. Tapi nggak mati."
"Makasih banyak. Semuanya jadi jelas sekarang."
"Mereka nggak punya jiwa, seperti kau dan aku. Mereka bisa dibuyarkan beberapa lama, mungkin bahkan selama seluruh hidup kita kalau kita beruntung. Tetapi mereka itu kekuatan purba. Chiron menyebutnya arketipe. Pada akhirnya mereka akan terbentuk kembali."
Aku teringat Bu Dodds. "Maksudmu kalau aku membunuh satu, secara tak sengaja, dengan pedang—"
"Sang Eri ... maksudku, guru matematikamu. Benar. Dia masih ada. Kau hanya membuatnya sangat-sangat marah."
"Dari mana kau tahu soal Bu Dodds?"
"Kau mengigau."
"Tadi kau hampir menyebut namanya. Seorang Erinyes? Itu penyiksa bawahan Hades, ya?"
Annabeth melirik tanah dengan gugup, seolah-olah dia menduga tanah akan terbuka dan menelannya.
"Nama mereka nggak boleh disebut-sebut, tahu. Di sini sekalipun. Kita sebut mereka Makhluk Baik, jika memang harus dibicarakan."
"Repot. Apakah ada yang bisa kita bicarakan tanpa menimbulkan guruh?" Aku terdengar merengek, bahkan bagi diriku sendiri, tetapi saat itu aku tak peduli. "Kenapa sih aku harus tinggal di pondok sebelas? Kenapa semua orang berkumpul berjejal-jejal? Masih banyak tempat tidur kosong di sana."
Aku menunjuk beberapa pondok pertama, dan Annabeth memucat. "Kita nggak bisa asal memilih pondok, Percy. Itu tergantung siapa kedua orangtuamu. Atau ... salah satu orangtuamu."
Dia menatapku, menungguku mencernanya.
"Ibuku Sally Jackson," kataku. "Dia bekerja di toko permen di Grand Central Station. Setidaknya, dulu."
"Maaf soal ibumu, Percy. Tapi bukan itu maksudku. Aku bicara soal orangtuamu yang satu lagi. Ayahmu."
"Dia sudah mati. Aku nggak pernah kenal dia." Annabeth menghela napas. Tampak jelas bahwa dia sudah pernah mengalami percakapan ini dengan anak-anak lain.
"Ayahmu belum mati, Percy."
"Bagaimana kau bisa bilang begitu? Memangnya kau kenal?"
"Nggak, jelas nggak."
"Jadi, bagaimana kau bisa bilang—"
"Karena aku kenal kau. Kau nggak mungkin berada di sini kalau kau bukan seperti kami."
"Kau tak tahu apa-apa tentangku."
"Oh ya?" Dia mengangkat sebelah alis. "Pasti kau sering pindah-pindah sekolah. Pasti kau dikeluarkan dari sebagian besar sekolah itu."
"Bagaimana—"
"Didiagnosis mengidap disleksia. Mungkin GPPH juga."
Aku berusaha menelan rasa maluku. "Tapi apa hubungannya itu dengan hal lain?"
"Jika digabung, itu pertanda yang hampir pasti. Huruf seperti melayang-layang pada halaman kalau kau membaca kan? Itu karena otakmu terprogram untuk membaca huruf Yunani kuno. Dan GPPH—kau impulsif, nggak bisa diam di kelas. Itu refleks medan perang. Dalam pertempuran sungguhan, refleks itu membuatmu bertahan hidup. Dan soal sulit memerhatikan, itu karena kau melihat terlalu banyak, Percy, bukan terlalu sedikit. Indramu lebih baik daripada manusia biasa. Tentu saja para guru ingin kau diobati. Sebagian besar gurumu itu monster. Mereka nggak ingin kau melihat wujud mereka sesungguhnya."
"Kau sepertinya ... kau mengalami hal yang sama?"
"Sebagian besar anak di sini begitu. Kalau kau nggak seperti kami, kau nggak mungkin berhasil bertahan hidup melawan Minotaurus, apalagi ambrosia dan nektar."
"Ambrosia dan nektar."
"Makanan dan minuman yang kami berikan supaya kau sembuh. Makanan itu bisa membunuh anak biasa. Mengubah darahmu menjadi api dan tulangmu menjadi pasir dan kau pasti mati. Hadapilah. Kau anak blasteran."
Blasteran. Aku dikitari begitu banyak pertanyaan, aku tak tahu harus mulai dari mana. Lalu sebuah suara serak berseru.
"Wah! Anak baru!"
Aku menoleh. Si gadis besar dari pondok merah jelek sedang melenggang ke arah kami. Ada tiga gadis lain di belakangnya, semuanya besar dan jelek dan jahat seperti dia, semuanya mengenakan jaket loreng.
"Clarisse," Annabeth menghela napas. "Asah saja tombakmu sana!"
"Tentu, Nona Tuan Putri," kata si gadis besar. "Supaya aku bisa menusukmu dengan tombak itu malam Sabtu."
"Erre es kor akasi" kata Annabeth, yang entah bagaimana kupahami sebagai bahasa Yunani untuk 'Pergi ke burung gagak sana!' meskipun aku punya firasat bahwa ucapan itu adalah umpatan yang lebih kasar daripada yang terdengar. "Kau nggak mungkin bisa."
"Kami akan mengganyangmu," kata Clarisse, tetapi matanya berkedut. Mungkin dia nggak yakin bisa melaksanakan ancamannya. Dia menoleh kepadaku.
"Siapa cebol kecil ini?"
"Percy Jackson," kata Annabeth, "perkenalkan Clarisse, Putri Ares."
Aku berkedip. "Maksudmu ... Dewa Perang itu?"
Clarisse mencibir. "Kau punya masalah dengan itu?"
"Nggak," kataku sambil memulihkan otakku. "Itu menjelaskan bau busuk yang kucium."
Clarisse menggeram. "Ada upacara inisiasi untuk anak baru, Prissy."
"Percy."
"Terserah. Ayo, kutunjukkan."
"Clarisse—" Annabeth berusaha berkata. "Jangan ikut campur, Sok Pintar."
Annabeth tampak tersinggung, tetapi dia tidak ikut campur, dan aku nggak terlalu ingin dibantu olehnya. Aku anak baru. Aku harus meraih reputasiku sendiri.
Aku menyerahkan tanduk minotaurku kepada Annabeth dan bersiap-siap berkelahi, tetapi tahu-tahu saja Clarisse sudah mencengkeram leherku dan menyeretku ke gedung balok semen yang langsung kutahu adalah kamar mandi.
Aku menendang-nendang dan meninju-ninju. Aku sudah sering berkelahi, tetapi Clarisse si gadis bongsor ini punya tangan seperti besi. Dia menyeretku ke kamar mandi anak perempuan. Ada jajaran toilet di satu sisi dan jajaran bilik pancuran di sisi lain. Baunya seperti kamar mandi umum mana pun, dan aku berpikir—sebatas yang bisa kupikir dengan Clarisse menjenggut rambutku— bahwa jika tempat ini milik para dewa, semestinya mereka mampu membiayai toilet yang lebih berkelas.
Teman-teman Clarisse semua tertawa, dan aku berusaha menemukan kekuatan yang kugunakan untuk melawan Minotaurus, tetapi kekuatan itu tidak ada.
"Tingkahnya seolah-olah dia anak 'Tiga Besar' saja," kata Clarisse sambil mendorongku ke salah satu toilet. "Mana mungkin. Minotaurus itu barangkali mati ketawa, melihat tampangnya yang begitu tolol."
Teman-temannya tertawa licik.
Annabeth berdiri di sudut, menonton melalui sela-sela jari.
Clarisse membuatku berlutut dan membungkukkan tubuhku dan mulai mendorong kepalaku ke mangkuk toilet. Baunya seperti pipa berkarat dan, yah, seperti benda yang masuk ke toilet. Aku berusaha mengangkat kepala. Aku menatap air kotor itu, berpikir, aku tak akan masuk ke situ. Tak akan.
Lalu, sesuatu terjadi. Terasa sentakan di perutku. Kudengar perpipaan menggemuruh, pipa-pipa gemetar. Cengkeraman Clarisse pada rambutku melonggar. Air muncrat dari toilet, melengkung melewati kepalaku, dan tahu-tahu saja aku terkapar di ubin kamar mandi sementara Clarisse berteriak-teriak di belakangku.
Aku menoleh persis ketika air muncrat dari toilet lagi, telak mengenai wajah Clarisse, begitu keras sehingga dia terjengkang. Air itu terus menyemburnya seperti semprotan slang pemadam kebakaran, mendorongnya mundur ke dalam bilik pancuran.
Dia meronta-ronta, megap-megap, dan teman-temannya mulai menghampirinya. Tetapi lalu toilet lain meledak juga, dan enam arus air toilet lagi mendorong mereka mundur. Pancuran juga bertingkah, dan bersama-sama semua perlengkapan menyemprot gadis-gadis jaket loreng itu keluar kamar mandi, memutar-mutar mereka seperti sampah yang digelontor.
Begitu mereka keluar pintu, kurasakan sentakan di perutku mereda, dan air itu mati secepat dimulainya.
Seluruh kamar mandi banjir. Annabeth tidak terkecuali. Dia basah kuyup, tetapi tidak terdorong keluar pintu. Dia berdiri di tempat yang persis sama, menatapku terlongong-longong.
Aku melihat ke bawah dan menyadari bahwa aku duduk di satu-satunya tempat kering di seluruh kamar. Ada lingkaran lantai kering di sekelilingku. Pakaianku tidak terkena setetes air pun. Setetes pun tidak.
Aku berdiri, kakiku gemetar.
Kata Annabeth, "Bagaimana kau ..."
"Nggak tahu."
Kami berjalan ke pintu.
Di luar, Clarisse dan teman-temannya terkapar di lumpur, dan sekumpulan pekemah lain telah berkerumun untuk melihat sambil terbelalak. Rambut Clarisse menempel pada wajahnya. Jaket lorengnya basah kuyup dan dia bau seperti selokan. Dia melemparkan pandangan kebencian mutlak kepadaku. "Kau akan mati, Anak Baru. Kau benar-benar cari mati."
Mungkin semestinya kubiarkan saja itu, tetapi aku berkata, "Mau kumur-kumur pakai air toilet lagi, Clarisse? Tutup mulut."
Teman-temannya harus menahannya. Mereka menyeretnya ke pondok lima, sementara pekemah lain menyingkir untuk menghindari kakinya yang berayun-ayun.
Annabeth menatapku. Aku tak bisa membedakan apakah dia merasa jijik atau marah padaku karena membuatnya basah.
"Apa?" tanyaku. "Apa yang kau pikirkan?"
"Aku pikir," katanya, "aku ingin kau ikut reguku untuk permainan tangkap bendera."
7. Makan Malamku Terbakar
Kabar tentang peristiwa kamar mandi segera tersebar. Ke mana pun aku pergi, pekemah menunjuk-nunjukku dan menggumamkan sesuatu tentang air toilet. Atau mungkin mereka cuma menatap Annabeth, yang masih basah menetes-netes.
Dia menunjukkan beberapa tempat lagi kepadaku: bengkel logam (tempat anak-anak menempa pedang sendiri), ruangan seni dan kerajinan (tempat satir melakukan semburan pasir pada sebuah patung marmer berbentuk manusia-kambing), dan tembok panjat, yang sebenarnya terdiri atas dua tembok berhadapan yang berguncang keras, menjatuhkan bebatuan besar, menyemprotkan lava, dan bertabrakan jika kau tidak cukup cepat mencapai puncak.
Akhirnya kami kembali ke danau kano. Di sana, jalan setapak kembali menuju pondok-pondok.
"Aku ada pelatihan," kata Annabeth datar. "Makan malamnya pukul setengah delapan. Ikuti saja teman-teman pondokmu ke paviliun makan."
"Annabeth, maaf soal toilet itu."
"Terserah."
"Bukan salahku kok."
Dia memandangku skeptis, dan aku menyadari bahwa itu memang salahku. Aku yang membuat air menyemprot dari toilet dan pancuran dan keran kamar mandi. Aku tak mengerti bagaimana bisa begitu. Tetapi, toilet itu menanggapi keinginanku. Aku telah menyatu dengan perpipaan.
"Kau perlu bicara dengan Oracle," kata Annabeth.
"Siapa?"
"Bukan siapa. Apa. Sang Oracle. Nanti kutanya Chiron."
Aku menatap danau, berharap ada yang mau memberiku jawaban yang jelas, sekali saja.
Aku tak menyangka akan ada orang yang balas menatapku dari dasar danau, jadi jantungku tersentak ketika kulihat dua gadis remaja duduk bersila di dasar dermaga, sekitar enam meter di bawah air. Mereka mengenakan jins biru dan kaus hijau gemerlap. Rambut Cokelat mereka melayang-layang bebas di sekitar bahu sementara ikan minnow melesat masuk-keluar. Mereka tersenyum dan melambaikan tangan seolah-olah aku teman lama yang hilang.
Aku tak tahu apa lagi yang bisa kulakukan. Aku balas melambai.
"Mereka jangan diberi hati," Annabeth memperingatkan. "Bangsa naiad senang menggoda."
"Naiad," ulangku, merasa sangat capek. "Sudah cukup. Aku mau pulang sekarang."
Annabeth mengerutkan kening. "Kau belum mengerti juga, Percy? Kau sudah pulang. Ini satu-satunya tempat yang aman di bumi ini untuk anak-anak seperti kita."
"Maksudmu, anak-anak yang sakit jiwa?"
"Maksudku, bukan manusia. Setidaknya, bukan manusia sepenuhnya. Setengah manusia."
"Setengah manusia dan setengah apa?"
"Kurasa kau tahu."
Aku tak ingin mengakuinya, tapi sepertinya aku memang tahu. Kaki dan tanganku terasa kesemutan, sensasi yang kadang terasa saat ibuku berbicara tentang ayahku.
"Dewa," kataku. "Setengah-dewa."
Annabeth mengangguk. "Ayahmu belum mati, Percy. Dia salah seorang bangsa Olympia."
"Itu ... gila."
"Apa iya? Apa perbuatan yang paling umum dilakukan dewa-dewi di cerita-cerita lama? Mereka sering jatuh cinta dan punya anak dengan manusia. Memangnya kau pikir kebiasaan mereka berubah dalam beberapa ribu tahun terakhir?"
"Tapi itu kan cuma—" Aku hampir bilang mitos lagi. Lalu aku ingat peringatan Chiron bahwa dua ribu tahun lagi, aku bisa saja dianggap mitos. "Tapi kalau semua anak di sini setengah dewa—"
"Demigod," kata Annabeth. "Itu istilah resminya. Atau blasteran."
"Lalu, ayahmu siapa?"
Tangannya semakin erat mencengkeram langkan dermaga. Aku merasa pertanyaanku melanggar topik yang sensitif.
"Ayahku dosen di West Point," katanya. "Aku nggak pernah ketemu lagi dengannya sejak aku masih sangat kecil. Dia mengajar sejarah Amerika."
"Dia manusia?"
"Kenapa? Kau berasumsi bahwa cuma dewa lelaki yang merasa perempuan manusia itu menarik? Seksis sekali."
"Jadi, siapa ibumu?"
"Pondok enam."
"Maksudmu?"
Annabeth menegakkan tubuh. "Athena. Dewi Kebijakan dan Perang."
Oke, pikirku. Kenapa tidak? "Dan ayahku?"
"Belum ditentukan," kata Annabeth, "seperti yang sudah kubilang. Nggak ada yang tahu."
"Kecuali ibuku. Dia tahu."
"Mungkin juga nggak, Percy. Dewa nggak selalu mengungkapkan identitasnya."
"Ayahku pasti memberi tahu. Dia mencintai ibuku." Annabeth melemparkan tatapan hati-hati kepadaku. Dia tak ingin membuyarkan harapanku.
"Mungkin kau benar. Mungkin dia akan mengirim pertanda. Itu satu-satunya cara untuk tahu pasti: ayahmu harus mengirimmu pertanda yang mengakuimu sebagai anaknya. Kadang itu terjadi."
"Maksudmu, kadang itu nggak terjadi?"
Annabeth menelusurkan tangannya di sepanjang langkan. "Para dewa itu sibuk. Mereka punya banyak anak dan nggak selalu .... Yah, kadang-kadang mereka nggak peduli sama kita, Percy. Mereka nggak menghiraukan kita."
Aku teringat beberapa anak yang kulihat di pondok Hermes, para remaja yang tampak masam dan depresi, seolah-olah menunggu telepon yang tak akan pernah datang. Aku kenal anak-anak seperti itu di Akademi Yancy, yang dikirim ke sekolah asrama oleh orangtua kaya yang tak punya waktu untuk mengurus mereka. Tapi para dewa semestinya berperilaku lebih baik.
"Jadi, aku terperangkap di sini," kataku. "Begitu saja? Seumur hidupku?"
"Tergantung," kata Annabeth. "Sebagian pekemah hanya tinggal pada musim panas. Kalau kau anak Aphrodite atau Demeter, kekuatanmu mungkin nggak terlalu besar. Monster mungkin tak menghiraukanmu, jadi kau cukup mendapat pelatihan musim panas selama beberapa bulan dan hidup di dunia manusia selama bulan-bulan lainnya. Tapi untuk sebagian anak, keluar perkemahan terlalu berbahaya. Kita pekemah tahunan. Di dunia manusia, kita menarik perhatian monster. Mereka merasakan kehadiran kita. Mereka datang untuk menantang kita. Biasanya sih kita diabaikan sampai kita cukup besar dan menimbulkan masalah—sekitar umur sepuluh atau sebelas tahun, tetapi setelah itu, sebagian besar demigod sampai ke sini, atau terbunuh. Beberapa berhasil bertahan hidup di dunia luar dan menjadi terkenal. Yakinlah, kalau kusebutkan nama-namanya, kau pasti kenal. Sebagian bahkan nggak menyadari mereka itu demigod. Tapi sedikit sekali yang seperti itu."
"Jadi, monster nggak bisa masuk ke sini?"
Annabeth menggeleng. "Kecuali kalau monster itu memang sengaja dipasok di hutan atau khusus dipanggil oleh seseorang di dalam sini."
"Buat apa orang mau memanggil monster?"
"Berlatih bertempur. Mempermainkan orang."
"Mempermainkan?"
"Intinya, perbatasan disegel agar manusia dan monster tetap di luar. Dari luar, manusia yang melihat ke lembah nggak akan melihat hal yang aneh, hanya perkebunan stroberi."
"Jadi ... kau pekemah tahunan?"
Annabeth mengangguk. Dari balik kerah kausnya, dia menarik seuntai kalung kulit yang berhias lima manik-manik tanah liat berwarna-warni. Kalung itu mirip kepunyaan Luke, tetapi milik Annabeth juga dihiasi sebentuk cincin emas besar, seperti cincin universitas.
"Aku sudah di sini sejak umur tujuh tahun," katanya. "Setiap Agustus, pada hari terakhir sesi musim panas, pekemah mendapat sebutir manik-manik sebagai pertanda keberhasilan bertahan hidup setahun lagi. Aku sudah di sini lebih lama daripada sebagian besar konselor, dan mereka semua sudah kuliah."
"Kenapa muda sekali kau datang ke sini?" Dia memutar-mutar cincin di kalungnya. "Bukan urusanmu."
"Oh." Aku berdiri diam dan rikuh selama semenit. "Jadi ... aku bisa saja melenggang keluar dari sini sekarang kalau mau?"
"Itu sama saja bunuh diri, tapi bisa saja, dengan izin Pak D atau Chiron. Tapi mereka nggak akan memberi izin sampai akhir sesi musim panas kecuali
"Kecuali?"
"Kau diberi misi. Tapi itu jarang terjadi. Kali terakhir ..." Suaranya menghilang. Dari nadanya Aku bisa menebak, bahwa yang terakhir kali ini tidak berjalan lancar.
"Sewaktu di kamar sakit," kataku, "waktu kau memberiku makan itu—"
"Ambrosia."
"Ya. Kau menanyakan sesuatu tentang titik balik matahari musim panas."
Bahu Annabeth menegang.
"Jadi kau memang tahu sesuatu?"
"Nggak juga sih. Di sekolahku yang lama aku pernah mendengar Grover dan Chiron membicarakannya. Grover menyinggung titik balik matahari musim panas. Dia berkata seperti kita nggak punya banyak waktu, karena tenggat itu. Apa maksudnya?"
Annabeth mengepalkan tangan. "Andai aku tahu. Chiron dan para satir, mereka tahu, tapi nggak mau memberitahuku. Ada masalah di Olympus, sesuatu yang cukup besar. Terakhir kali aku ke sana, segalanya tampak begitu normal."
"Kau pernah ke Olympus?"
"Beberapa anak pekemah tahunan—Luke dan Clarisse, dan aku, dan beberapa anak lain—kami berkaryawisata ke sana pada titik balik matahari musim dingin. Para dewa mengadakan musyawarah besar setiap tahun pada waktu itu.
"Tapi ... bagaimana caranya kau ke sana?"
"Ya naik Kereta Api Long Island, dong. Turun di Stasiun Penn. Empire State Building, lift khusus ke lantai keenam ratus." Dia menatapku seolah-olah dia yakin aku pasti sudah tahu ini. "Kau betulan orang New York, kan?"
"Iya, sih." Sejauh yang aku tahu, hanya ada seratus dua lantai di Empire State Building, tetapi aku memutuskan tidak mengingatkan dia soal itu.
"Persis setelah kami berkunjung," Annabeth melanjutkan, "cuaca menjadi aneh, seolah-olah para dewa mulai berkelahi. Sejak itu, aku beberapa kali tak sengaja mendengar para satir berbicara. Yang bisa kusimpulkan adalah ada sesuatu yang penting yang dicuri. Dan kalau sesuatu itu tidak kembali sebelum titik balik matahari musim panas, akan ada masalah. Waktu kau datang, aku sempat berharap ... maksudku—Athena bisa rukun dengan siapa saja, kecuali Ares. Memang sih, dia juga bersaing dengan Poseidon. Tapi, maksudku, meskipun begitu, aku menyangka kita bisa bekerja sama. Kusangka kau tahu sesuatu."
Aku menggeleng. Aku ingin sekali bisa membantu dia, tapi aku merasa terlalu lapar dan capek dan kewalahan Secara mental untuk bertanya lagi.
"Aku harus mendapatkan misi," gumam Annabeth kepada diri sendiri. "Aku nggak terlalu muda kok. Kalau saja mereka mau kasih tahu apa masalahnya.”
Tercium aroma asap daging panggang yang berasal tak jauh dari situ. Annabeth rupanya mendengar perutku keruyukan. Dia menyuruhku ke paviliun makan, nanti dia menyusul. Kutinggalkan dia di dermaga, masih mengusap selusur pagar dengan jarinya seolah-olah sedang menggambar rencana perang.
Saat tiba di pondok sebelas, semua orang sedang mengobrol dan bergurau, menunggu makan malam. Untuk pertama kalinya kusadari bahwa sebagian besar pekemah itu memiliki bentuk wajah yang serupa: hidung tajam, alis melengkung ke atas, senyum jail. Mereka jenis anak-anak yang dipandang guru sebagai pembuat onar. Untungnya, tak ada yang terlalu memerhatikan aku saat aku berjalan ke tempatku di lantai dan mengempaskan diri bersama tanduk minotaurusku.
Si konselor, Luke, menghampiri. Dia juga memiliki kemiripan keluarga Hermes. Wajahnya dirusak oleh bekas luka pada pipi kanannya, tetapi senyumnya tetap utuh.
"Ketemu kantong tidur nih buatmu," katanya. "Dan ini, kucurikan alat mandi dari toko perkemahan."
Aku tidak tahu apakah dia bercanda tentang mencuri. Kataku, "Trims."
"Sama-sama." Luke duduk di sampingku, bersandar pada dinding. "Hari pertama yang berat?"
"Aku nggak semestinya berada di sini," kataku. "Aku bahkan nggak percaya ada dewa."
"Ya," katanya. "Kita semua juga mula-mula begitu. Dan setelah mulai percaya? Sama sekali nggak tambah mudah."
Kegetiran dalam suaranya membuatku heran, karena Luke tampaknya orang yang cukup santai. Dia kelihatan seolah mampu mengatasi apa saja.
"Jadi, ayahmu Hermes?" tanyaku.
Dia mengeluarkan pisau lipat dari saku belakang, dan sesaat kusangka dia mau menikamku, tetapi dia hanya mengerik lumpur dari sol sandalnya.
"Iya. Hermes."
"Si utusan yang kakinya bersayap."
"Itu dia. Utusan. Pengobatan. Pengembara, pedagang, pencuri. Siapa pun yang menggunakan jalan. Itulah sebabnya kau di sini, menikmati keramahan pondok sebelas. Hermes tidak pilih-pilih soal tamunya."
Aku menyimpulkan bahwa Luke tidak bermaksud menyebutku sebagai bukan siapa-siapa. Dia cuma lagi banyak pikiran.
"Kau pernah bertemu ayahmu?" tanyaku.
"Sekali."
Aku menunggu, karena pikirku, kalau dia ingin bercerita kepadaku, dia akan bercerita. Rupanya dia tidak Ingin. Aku bertanya-tanya apakah kisahnya berkaitan dengan peristiwa yang menyebabkan dia bercodet.
Luke mengangkat kepala dan memaksakan diri tersenyum. "Jangan khawatir, Percy. Para pekemah di sini kebanyakan orang baik-baik. Toh kita semua keluarga besar kan? Kita saling mengurus."
Dia tampaknya mengerti betapa kalut diriku, dan aku berterima kasih atas pengertiannya, karena anak yang lebih besar seperti dia—sekalipun dia konselor—biasanya menghindari anak ABG sepertiku. Tapi Luke menyambutku ke pondok. Dia bahkan mencuri alat mandi untukku, hal paling baik hati yang dilakukan orang untukku sehari ini.
Aku memutuskan untuk mengajukan pertanyaan besarku yang terakhir, yang mengusik benakku sepanjang sore. "Clarisse, dari Ares, bercanda denganku tentang 'Tiga Besar'. Lalu Annabeth ... dua kali, dia bilang aku mungkin 'orangnya'. Katanya aku sebaiknya bicara kepada sang Oracle. Apa maksudnya sih?"
Luke melipat pisaunya. "Aku benci ramalan."
"Apa maksudmu?"
Wajahnya berkerut di sekeliling codet. "Ringkasnya, aku pernah gagal dan merugikan semua orang. Dua tahun terakhir ini, sejak kegagalan perjalananku ke Taman Kaum Hesperides, Chiron belum pernah memberi misi lagi. Annabeth sudah gatal ingin keluar ke dunia. Dia mengerecoki Chiron terus, sampai Chiron akhirnya memberi tahu bahwa dia sudah tahu nasib Annabeth. Dia pernah mendapat ramalan dari sang Oracle. Dia nggak mau menceritakan seluruh ramalan itu kepada Annabeth, tapi katanya Annabeth belum ditakdirkan untuk menerima misi. Annabeth harus menunggu sampai ... seseorang yang istimewa datang ke perkemahan."
"Seseorang yang istimewa?"
"Jangan khawatir soal itu, Dik," kata Luke. "Annabeth ingin menganggap setiap pekemah baru yang masuk ke sini adalah pertanda yang dia tunggu-tunggu itu. Nah, ayo, sudah waktunya makan malam."
Begitu dia mengatakannya, sebuah trompet ditiup di kejauhan. Entah bagaimana, aku tahu trompet itu berbentuk kerang laut, meskipun aku belum pernah mendengar suaranya.
Luke berseru, "Sebelas, berbaris!"
Seluruh penghuni pondok, sekitar dua puluh orang, berbaris ke halaman umum. Kami berbaris dengan urutan senioritas, jadi tentu saja aku yang paling bontot. Pekemah juga keluar dari pondok-pondok lain, kecuali tiga pondok kosong di ujung, dan pondok delapan, yang tadi tampak normal pada siang hari, tetapi sekarang mulai bersinar keperakan sementara matahari terbenam. Kami berbaris menaiki bukit ke paviliun makan. Para satir bergabung dengan kami dari padang rumput. Para naiad keluar dari danau kano. Beberapa anak perempuan lain keluar dari pepohonan hutan—dan saat aku bilang keluar dari pepohonan, maksudku betulan dari pohon. Aku lihat satu anak, sekitar sembilan atau sepuluh tahun, meleleh dari sisi sebatang pohon mapel, dan berjingkik-jingkik menaiki bukit.
Secara keseluruhan, mungkin ada sekitar seratus pekemah, puluhan satir, serta selusin peri pohon dan naiad.
Di paviliun, obor berkobar di sekitar tiang-tiang marmer. Api menyala di tengah-tengah, di sebuah anglo perunggu sebesar bak mandi. Setiap pondok punya meja sendiri-sendiri, dengan taplak putih bertepi lembayung. Empat meja kosong, sementara pondok sebelas berjejalan anak-anak. Aku harus bersempit-sempit di ujung bangku, setengah pantatku tergantung.
Kulihat Grover duduk di meja dua belas bersama Pak D, beberapa orang satir, dan sepasang anak lelaki gembrot berambut pirang, yang wajahnya persis Pak D. Sementara itu, Chiron berdiri si satu sisi, karena meja piknik itu terlalu kecil bagi seorang centaurus.
Annabeth duduk di meja enam dengan sekelompok anak atletis yang tampak serius, semuanya bermata abu-abu dan berambut pirang seperti madu, sama seperti dia.
Clarisse duduk di belakangku di meja Ares. Dia rupanya sudah pulih dari peristiwa disemprot itu, karena dia tertawa dan bersendawa bersama teman-temannya.
Akhirnya, Chiron mengetukkan kaki pada lantai marmer paviliun itu, dan semua orang pun diam. Dia mengangkat gelas. "Demi para dewa!"
Semua orang mengangkat gelas mereka. "Demi para dewa!"
Para peri pohon maju membawakan piring-piring makanan: buah anggur, apel, stroberi, keju, roti hangat, dan asyik, ada daging panggang! Gelasku kosong, tetapi Luke berkata, "'Bicara saja pada gelasmu. Apa pun yang kau mau—tanpa alkohol, tentu saja."
Kataku, "Coke rasa ceri."
Gelas itu terisi dengan cairan bersoda warna karamel. Lalu aku dapat ide, "Coke rasa ceri warna biru." Minuman itu berubah menjadi warna kobalt. Aku mencicipi dengan hati-hati. Sempurna.
Aku menyulangi ibuku. Dia belum tiada, kataku pada diri sendiri. Setidaknya, tidak secara permanen. Dia berada di Dunia Bawah Tanah. Dan kalau itu tempat sungguhan, berarti suatu hari nanti....
"Ini, Percy," kata Luke, menyodorkan sepiring daging sandung lamur asap kepadaku.
Aku mengisi piringku dan baru saja mau menggigit banyak-banyak ketika kuperhatikan bahwa semua orang berdiri, membawa piring masing-masing ke api di tengah-tengah paviliun. Aku bertanya-tanya apakah mereka mau mengambil pencuci mulut atau apa.
"Ayo," kata Luke kepadaku.
Sementara aku mendekat, kulihat semua orang mengambil sebagian makanan masing-masing dan menjatuhkannya ke dalam api, stroberi yang paling ranum, irisan daging yang paling berair, roti yang paling hangat dan bermentega paling banyak.
Luke berbisik di telingaku, "Sesajen bakar untuk para dewa. Mereka suka baunya."
"Kau bercanda, ya."
Tatapannya memperingatkanku agar tidak memandang enteng masalah ini, tetapi aku mau tak mau bertanya-tanya mengapa sosok abadi yang berkuasa menyukai bau makanan gosong.
Luke menghampiri api, menundukkan kepala, dan melemparkan segerombol anggur merah yang besar-besar. "Hermes."
Aku berikutnya.
Andai aku tahu nama dewa mana yang harus kuucapkan.
Akhirnya aku memanjatkan permohonan dalam hati. Siapa pun dirimu, beri tahu aku. Kumohon.
Aku memasukkan seiris besar daging sandung lamur ke dalam api.
Ketika bau asapnya tercium, aku tidak muntah.
Baunya sama sekali tidak mirip makanan gosong. Baunya seperti minuman cokelat panas dan brownie yang baru dibakar, dan hamburger yang sedang dipanggang dan bunga liar, dan seratus hal menyenangkan lain yang semestinya tidak serasi jika dicampuradukkan, tetapi serasi juga. Aku hampir bisa percaya bahwa para dewa bisa hidup dengan makan asap itu.
Ketika semua sudah kembali ke tempat duduk masing-masing dan selesai makan, Chiron mengetukkan kaki lagi untuk mendapatkan perhatian kami.
Pak D bangkit sambil menghela napas panjang. "Aku harus mengucap salam kepada kalian para anak manja ya? Yah. Salam. Pengarah kegiatan kita, Chiron, berkata bahwa permainan tangkap bendera berikutnya diadakan pada hari Jumat. Mahkota daun dafnah saat ini dipegang pondok lima."
Terdengar sorak-sorai sumbang dari meja Ares.
"Secara pribadi," Pak D melanjutkan, "aku tidak peduli, tetapi selamat. Selain itu, aku juga harus mengumumkan bahwa ada tambahan pekemah baru hari ini. Peter Johnson." Chiron membisikkan sesuatu. "Eh, Percy Jackson," Pak D membetulkan. "Betul. Hore, dan seterusnya. Sekarang pergilah ke api unggun kalian yang konyol itu. Ayo."
Semua orang bersorak. Kami semua turun menuju amfiteater. Pondok Apollo memimpin acara bernyanyi bersama. Kami menyanyikan lagu-lagu perkemahan tentang para dewa dan bercanda sambil makan s'more, biskuit berisi cokelat dan marshmallow. Anehnya, aku tak merasa bahwa aku ditatap semua orang. Aku merasa betah.
Ketika malam sudah larut, ketika bunga api unggun berputar-putar naik ke langit berbintang, trompet kerang itu ditiup lagi, dan kami semua berbaris pulang ke pondok masing-masing. Aku baru menyadari betapa lelahnya aku saat terhempas di kantong tidur pinjamanku.
Jemariku menggenggam tanduk Minotaurus. Aku memikirkan ibuku, tetapi pikiranku hanya yang baik-baik: senyumnya, kisah-kisah pengantar tidur yang dibacakannya sewaktu aku masih kecil, cara dia mengucapkan selamat tidur.
Ketika memejamkan mata, aku langsung tertidur.
Itulah hari pertamaku di Perkemahan Blasteran.
Andai saja waktu itu aku tahu betapa singkatnya waktu yang kumiliki untuk menikmati rumah baruku.
8. Kami penangkap Bendera
Beberapa hari berikutnya, aku mulai terbiasa dengan rutinitas yang hampir terasa normal, kalau tidak memperhitungkan kenyataan bahwa aku mendapat pelajaran dari satir, peri, dan centaurus.
Setiap pagi aku belajar bahasa Yunani Kuno dari Annabeth, dan kami membicarakan dewa-dewi seolah mereka masih hidup, jadi rasanya aneh. Aku mendapati bahwa Annabeth benar soal penyakit disleksia yang kumiliki : bahasa Yunani Kuno tidak terlalu sulit kubaca. Setidaknya, tidak lebih susah daripada bahasa Inggris. Setelah dua pagi, aku bisa tertatih-tatih membaca beberapa baris karya Homer tanpa terlalu sakit kepala.
Setelah itu aku mengerjakan berbagai kegiatan di luar ruangan, mencari sesuatu yang bisa kukuasai dengan baik. Chiron berusaha mengajariku memanah, tetapi kami segera menemukan bahwa aku tidak terlalu mahir menangani busur dan panah. Dia tidak mengeluh, bahkan ketika dia harus mencabut panah nyasar dari ekornya.
Olahraga lari? Sama jeleknya. Para pengajar peri-hutan meninggalkanku jauh sekali. Mereka mengatakan aku tak usah mencemaskan soal itu. Mereka sudah berabad-abad berlatih melarikan diri dari para dewa yang kasmaran. Tapi tetap saja, rasanya agak memalukan, berlari lebih lambat daripada pohon.
Dan bergulat? Lupakan saja. Setiap kali aku masuk ke matras, Clarisse membantaiku. "Itu belum seberapa, Anak Ingusan," bisiknya di telingaku.
Satu-satunya hal yang aku benar-benar mahir adalah berkano, dan itu bukan jenis keahlian kepahlawanan yang diharapkan orang dari si anak yang mengalahkan Minotaurus.
Aku tahu para pekemah senior dan konselor mengamatiku, berusaha menentukan siapa ayahku, tetapi itu tidak mudah. Aku tidak sekuat anak-anak Ares, ataupun memanah semahir anak-anak Apollo. Aku tidak terampil dalam kerajinan logam seperti Hephaestus atau—amit-amit—kepiawaian Dionysus dengan tanaman anggur. Luke memberitahuku bahwa aku mungkin anak Hermes, semacam orang yang bisa segala macam, tetapi tidak ahli dalam satu pun. Tapi aku mendapat perasaan bahwa dia hanya berusaha menghiburku. Dia juga tak tahu harus menyimpulkan apa soal aku.
Meskipun demikian, aku suka perkemahan. Aku terbiasa dengan kabut pagi di atas pantai, semerbak ladang stroberi panas pada sore hari, bahkan suara aneh monster-monster di hutan pada malam hari. Aku makan malam bersama pondok sebelas, mencomot sebagian makananku ke dalam api, dan berusaha merasakan sedikit pertalian dengan ayah sejatiku. Tapi tak terjadi apa-apa. Hanya perasaan hangat yang sejak dulu kumiliki, seperti kenangan senyumnya. Aku berusaha tak terlalu memikirkan ibuku, tetapi aku terus bertanya-tanya: jika dewa dan monster itu nyata, jika semua keajaiban ini mungkin, tentunya ada suatu cara untuk menyelamatkannya, membawanya kembali ....
Aku mulai memahami kegetiran Luke dan betapa dia tampaknya membenci ayahnya, Hermes. Memang sih, mungkin para dewa punya pekerjaan lain yang lebih penting. Tapi, apa mereka nggak bisa menelepon sekali-sekali, atau membunyikan guntur, atau apa, kek? Dionysus bisa membuat Diet Coke muncul begitu saja. Kenapa ayahku, siapa pun dia, nggak bisa membuat telepon muncul?
Pada Kamis sore, tiga hari setelah aku tiba di Perkemahan Blasteran, aku kali pertama mendapat pelajaran pertarungan pedang. Semua orang dari pondok sebelas berkumpul di arena bundar besar. Luke yang mengajar kami.
Kami memulai dengan gerakan dasar menusuk dan membacok, menggunakan beberapa boneka isi jerami yang dipasangi baju zirah Yunani. Rasanya aku lumayan. Setidaknya, aku mengerti apa yang harus kulakukan dan refleksku bagus.
Masalahnya, aku tak bisa menemukan pedang yang terasa pas di tangan. Yang ada terasa terlalu berat, atau terlalu ringan, atau terlalu panjang. Luke berusaha sebaik-baiknya untuk mencocokkanku dengan pedang, tetapi dia sepakat bahwa tak satu pun pedang latihan itu tampaknya cocok untukku.
Kami beralih ke duel berpasangan. Luke menyatakan bahwa dia akan menjadi lawanku, karena ini pelajaranku yang pertama.
"Semoga sukses," kata salah seorang pekemah kepadaku. "Luke adalah pemain pedang terbaik dalam tiga ratus tahun terakhir."
"Mungkin dia nggak akan terlalu keras kepadaku," kataku.
Si pekemah itu mendengus.
Luke menunjukkan cara menikam dan menangkis dengan pedang dan perisai, dengan cara yang keras. Dengan setiap ayunan, aku bertambah babak-belur. "Mana pertahananmu, Percy!" katanya, lalu memukul tulang igaku dengan sisi pedangnya. "Bukan, jangan setinggi itu!" Plak! "Masuk!" Plak! "Sekarang mundur!" Plak!
Pada saat dia menyatakan waktu istirahat, aku sudah bermandi keringat. Semua orang mengerubungi pendingin minuman. Luke menuangkan air es di atas kepalanya, yang kelihatannya gagasan yang bagus, jadi aku menirunya. Langsung saja aku merasa lebih baik. Kekuatan menjalar kembali ke lenganku. Pedang itu tidak lagi terasa terlalu canggung.
"Oke, semuanya bentuk lingkaran!" perintah Luke. "Jika Percy tak keberatan, aku ingin membuat peragaan sedikit."
Bagus, pikirku. Mari menonton Percy dipukuli. Anak-anak Hermes berkumpul. Mereka menahan senyum. Kusimpulkan mereka juga pernah mengalami hal Ini dan tak sabar melihat bagaimana Luke memanfaatkan ku sebagai samsak. Dia mengumumkan dia akan memperagakan jurus melepas senjata lawan: cara memuntir pedang musuh dengan sisi pedang kita, sehingga dia tak punya pilihan selain menjatuhkan senjatanya.
"Ini jurus yang sulit," dia menekankan. "Aku pernah terkena jurus yang sama. Nah, jangan menertawakan Percy. Sebagian besar ahli pedang harus berlatih bertahun-tahun untuk menguasai jurus ini."
Dia memperagakan jurus ini terhadapku dengan gerak lambat. Benar saja, pedang itu terjatuh dari tanganku.
"Sekarang dengan kecepatan normal," katanya, setelah aku mengambil senjataku. "Kami akan terus bertanding sampai salah satu berhasil melakukannya. Siap, Percy?"
Aku mengangguk, dan Luke menyerangku. Entah bagaimana, aku berhasil menjaga agar dia tidak mengenai gagang pedangku. Indraku terbuka. Aku melihat serangan-serangannya datang. Aku membalas. Aku melangkah maju dan mencoba menikam juga. Luke menangkisnya dengan mudah, tetapi kulihat perubahan di wajahnya. Matanya menyipit, dan dia mulai menekanku dengan lebih bertenaga.
Pedang itu bertambah berat di tanganku. Keseimbangannya tidak tepat. Aku tahu tinggal waktu beberapa detik lagi sampai Luke merubuhkanku, jadi pikirku, Apa ruginya?
Aku mencoba jurus melepas senjata lawan itu. Pedangku mengenai pangkal pedang Luke, dan aku memuntir, menggunakan seluruh beratku untuk menekan ke bawah.
Trang.
Pedang Luke berdencang pada bebatuan. Ujung pedangku berjarak dua sentimeter dari dadanya yang tak terlindung.
Para pekemah lain sunyi senyap. Aku menurunkan pedang. "Eh, maaf."
Sesaat Luke terlalu tercengang, tak bisa berbicara.
"Maaf?" Wajahnya yang bercodet itu menyeringai. "Demi dewa-dewa, Percy, kenapa kau minta maaf? Tunjukkan lagi itu kepadaku!"
Aku tidak ingin. Ledakan energi gila yang pendek itu telah hilang sepenuhnya. Tetapi Luke mendesak.
Kali ini, tak ada perlawanan. Begitu pedang kami beradu, Luke mengenai gagangku dan mengirim pedangku meluncur di atas lantai.
Setelah hening lama, seseorang di antara penonton berkata, "Kemujuran pemula?"
Luke menyeka keringat dari kening. Dia memandangku dengan minat yang sama sekali baru. "Mungkin," katanya. "Tapi aku jadi ingin tahu, apa yang bisa dilakukan Percy dengan pedang yang seimbang
Pada Jumat Sore, aku duduk bersama Grover di danau, Beristirahat setelah hampir mati di tembok panjat. Grover memanjat tembok seperti kambing gunung, tetapi aku hampir Kena lava. Kemejaku berlubang-lubang berasap. Bulu Lenganku terbakar.
Kami duduk di dermaga, mengamati para naiad menganyam keranjang di dalam air, sampai aku berhasil memberanikan diri menanyakan percakapannya dengan Pak D waktu itu.
Wajahnya menjadi kuning pucat seperti penyakitan. “Baik," katanya. "Baik-baik saja."
“Jadi, kariermu masih sesuai rencana?”
"Dia melirikku dengan gugup.
"Chiron bercerita bahwa aku ingin mendapatkan izin pencari?"
“Eh... nggak juga."
Aku tak tahu sama sekali izin PENCARI itu apa, tapi rasanya tidak tepat kalau kutanyakan, saat itu juga.
"Dia cuma bilang, kau punya rencana besar, begitu ... dan bahwa kau perlu mengumpulkan nilai untuk menyelesaikan tugas penjaga. Jadi, kau dapat nilai itu, tidak?"
Grover menatap para naiad di dalam danau. "Pak D menangguhkan penilaian. Katanya, aku belum gagal atau berhasil menanganimu, jadi nasib kita masih saling terpaut. Kalau kau mendapat tugas, dan aku ikut untuk melindungimu, lalu kita berdua pulang hidup-hidup, mungkin saat itu dia baru menganggap tugas ini selesai."
Semangatku bangkit. "Nah, lumayan juga, kan?"
"Mbeeek! Itu sih sama saja dengan menugasiku membersihkan istal. Kemungkinan kau mendapat misi..... dan kalaupun kau mendapatkannya, memangnya kau mau aku ikut?"
"Pasti dong, aku mau kau ikuti"
Grover menatap murung ke dalam air. "Menganyam keranjang... Pasti menyenangkan, punya keterampilan yang bermanfaat."
Aku berusaha menghiburnya, bahwa dia punya banyak bakat, tetapi itu malah membuatnya semakin merana. Kami mengobrol tentang berkano dan permainan pedang beberapa lama, lalu memperdebatkan plus-minus berbagai dewa.
Akhirnya, aku menanyakan keempat pondok kosong itu. "Pondok delapan, yang perak itu, kepunyaan Dewi Artemis," katanya. "Dia bersumpah akan menjadi perawan selamanya. Jadi, tentu saja anaknya nggak ada. Pondok itu semacam penghormatan, begitu. Kalau dia nggak diberi pondok, dia pasti marah."
"Oh, oke. Tapi tiga yang lain, yang di ujung itu. Apa itu Tiga Besar?"
Grover menegang. Kami mendekati topik yang peka. "Bukan. Salah satunya, pondok dua, kepunyaan Hera," katanya. "Itu juga penghormatan. Dia Dewi Pernikahan, jadi tentu saja dia nggak akan berselingkuh dengan manusia. Itu tugas suaminya. Yang kami sebut Tiga Besar itu adalah ketiga kakak-beradik yang berkuasa, anak-anak Kronos."
"Zeus, Poseidon, Hades."
"Benar. Kau tahu, setelah pertempuran besar melawan bangsa Titan, mereka mengambil alih dunia dari ayah mereka, dan mengundi untuk memutuskan siapa mendapat apa."
"Zeus mendapat langit," aku ingat. "Poseidon laut, Hades Dunia Bawah."
"Iya."
"Tapi Hades nggak punya pondok di sini."
"Nggak. Dia juga nggak punya singgasana di Olympus. Dia bertindak sesuka hatinya sendiri di Dunia Bawah. Kalaupun dia punya pondok di sini ...." Grover menggigil. "Yah, pasti nggak bakal menyenangkan. Cukup sampai di situ saja."
"Tapi Zeus dan Poseidon—mereka berdua punya jutaan anak dalam mitos-mitos. Kenapa pondok mereka kosong?"
Grover memindahkan kaki dengan rikuh. "Sekitar enam puluh tahun yang lalu, setelah Perang Dunia II, Tiga Besar bersepakat bahwa mereka nggak akan lagi punya keturunan pahlawan. Anak-anak mereka terlalu kuat. Mereka terlalu memengaruhi arah peristiwa manusia, terlalu banyak menyebabkan pertumpahan darah. Seperti yang kita ketahui, perang Dunia II pada dasarnya adalah pertempuran antara anak-anak Zeus dan Poseidon di satu pihak, dan anak-anak Hades di pihak lain. Pihak yang menang, Zeus dan Poseidon, memaksa Hades bersumpah bersama mereka: nggak boleh lagi menjalin hubungan dengan wanita manusia. Mereka semua bersumpah demi Sungai Styx."
Guntur menggelegar.
Kataku, "Itu jenis sumpah paling serius yang bisa dibuat."
Grover mengangguk. "Apakah ketiga bersaudara itu menepati janji—nggak punya anak?"
Wajah Grover menjadi suram. "Tujuh belas tahun yang lalu, Zeus tergelincir. Dulu ada bintang TV kecil, dengan rambut gembung gaya tahun delapan puluhan—Zeus nggak bisa menahan diri. Ketika anak mereka lahir, bayi perempuan bernama Thalia ... yah, Sungai Styx itu serius soal janji. Zeus dihukum ringan karena dia dewa, tetapi putrinya tertimpa nasib buruk."
"Tapi itu nggak adil! Anak itu kan nggak bersalah apa-apa."
Grover ragu. "Percy, anak-anak Tiga Besar punya kekuatan yang lebih besar daripada blasteran lain. Mereka punya aura yang kuat, aroma yang menarik perhatian monster. Ketika Hades tahu soal anak itu, dia nggak terlalu senang bahwa Zeus melanggar sumpah. Hades mengeluarkan monster-monster terburuk dari Tartarus untuk mengganggu Thalia. Seorang satir ditugasi menjadi penjaganya sewaktu anak itu berumur dua belas, tapi dia nggak bisa berbuat apa-apa. Dia berusaha mengawal Thalia ke sini dengan dua blasteran lain teman Thalia. Mereka hampir berhasil. Mereka sudah sampai ke puncak bukit itu."
Dia menunjuk ke seberang lembah, ke pohon pinus tempat aku melawan si minotaurus. "Ketiga Makhluk Baik mengejar mereka, dengan sekawanan anjing neraka. Mereka sudah hampir terkejar, saat Thalia menyuruh satirnya membawa kedua anak blasteran lain itu ke tempat yang aman, sementara dia menahan monster. Dia sudah terluka dan lelah. Dia nggak mau hidup seperti hewan buruan. Si satir nggak mau meninggalkan Thalia, tetapi nggak berhasil mengubah keputusan anak itu, dan dia harus melindungi yang lain. Jadi, Thalia bertahan sendirian, di puncak bukit itu. Ketika dia gugur, Zeus merasa iba. Dia mengubah anaknya menjadi pohon pinus itu. Arwah Thalia masih membantu melindungi perbatasan lembah ini. Itu sebabnya bukit itu disebut Bukit Blasteran."
Aku menatap pohon pinus di kejauhan itu. Kisah itu membuatku merasa hampa, dan juga bersalah. Seorang gadis seusiaku mengorbankan diri untuk menyelamatkan teman-temannya. Dia menghadapi seluruh pasukan monster itu. Dibandingkan dengan itu, kemenanganku atas Minotaurus terasa tidak terlalu besar. Aku bertanya-tanya, andai aku berbuat lain, mungkinkah aku bisa menyelamatkan ibuku?
"Grover," kataku, "apakah para pahlawan benar-benar pernah mengemban misi ke Dunia Bawah?"
"Kadang-kadang," katanya. "Orpheus, Hercules, Houdini."
"Dan apa mereka pernah mengembalikan orang dari alam kematian?"
"Nggak. Nggak pernah. Orpheus nyaris berhasil ... Percy kau tak serius memikirkan—"
"Nggak," aku berbohong. "Cuma ingin tahu saja. Jadi... satir selalu ditugasi menjaga demigod?"
Grover mengamatiku dengan curiga. Dia belum yakin bahwa aku sudah membuang pikiranku tentang Dunia Bawah. "Nggak selalu. Kami menyamar di banyak sekolah. Kami berusaha mengendus anak-anak blasteran yang berpotensi menjadi pahlawan hebat. Kalau kami menemukan seorang yang beraura sangat kuat, seperti anak dari Tiga Besar, kami memberi tahu Chiron. Dia berusaha mengawasi anak itu, karena anak seperti itu bisa menimbulkan masalah sangat besar."
"Dan kau menemukan aku. Kata Chiron, kau menganggap bahwa aku mungkin istimewa."
Grover tampak seolah-olah aku baru saja menuntunnya ke perangkap. "Aku nggak ... Eh, jangan berpikir seperti itu. Kalau kau memang—itu—kau nggak akan pernah diberi misi, dan aku nggak akan pernah mendapatkan izin itu. Kau mungkin anak Hermes. Atau mungkin bahkan salah seorang dewa kecil, seperti Nemesis, Dewa Balas Dendam. Jangan khawatir, oke?"
Aku merasa sepertinya hiburan itu lebih untuk dirinya daripada diriku.
Malam itu, setelah makan malam, suasana lebih bersemangat daripada biasanya.
Akhirnya, tiba waktunya untuk permainan tangkap bendera.
Ketika piring makan sudah diangkat, trompet kerang dibunyikan dan kami semua berdiri di samping meja masing-masing.
Para pekemah bersorak-sorai saat Annabeth dan kedua saudaranya berlari memasuki paviliun, membawa sehelai bendera sutra. Bendera itu panjangnya tiga meter, berwarna abu-abu berkilap, dilukis gambar burung hantu di atas pohon zaitun. Dari seberang paviliun, Clarisse dan sobat-sobatnya berlari masuk membawa bendera lain, berukuran sama, tetapi berwarna merah norak, dilukis gambar tombak berdarah dan kepala celeng.
Aku menoleh kepada Luke dan berteriak mengatasi keributan: "Itu benderanya?"
"Ya."
"Ares dan Athena selalu memimpin regu?"
"Nggak selalu," katanya. "Tapi sering."
"Jadi, kalau pondok lain menangkap salah satu bendera, kemudian apa—gambar benderanya ditimpa dengan lukisan lain?"
Dia menyeringai. "Lihat saja nanti. Pertama-tama kita harus menangkap satu."
"Kita di pihak mana?" Dia memberiku tatapan jail, seolah-olah dia tahu sesuatu yang tak kuketahui. Codet di wajahnya membuatnya hampir tampak jahat dalam cahaya obor. "Kita sudah membuat persekutuan sementara dengan Athena. Malam ini kita merebut bendera dari Ares. Dan kau akan membantu."
Regu-regu diumumkan. Athena telah bersekutu dengan Apollo dan Hermes, dua pondok terbesar. Rupanya, hak pekemah diperdagangkan—waktu mandi, jadwal tugas, jadwal terbaik untuk berbagai kegiatan— untuk mendapatkan dukungan.
Ares bersekutu dengan semua pondok lain: Dionysus, Demeter, Aphrodite, dan Hephaestus. Dari yang kulihat, anak-anak Dionysus sebenarnya atlet yang baik, tetapi hanya ada dua. Anak-anak Demeter unggul dalam keterampilan alam dan luar ruangan, tetapi tak terlalu agresif. Anak laki dan perempuan Aphrodite, aku tak terlalu khawatir. Mereka biasanya tidak berpartisipasi dalam kegiatan apa pun dan mengamati bayangan mereka di danau dan menata rambut dan bergunjing. Anak-anak Hephaestus bertampang pas-pasan, dan hanya ada empat orang, tetapi tubuh mereka besar dan berotot karena bekerja di bengkel logam sepanjang hari. Mereka mungkin bisa jadi masalah. Selain mereka semua, tentu saja ada pondok Ares: selusin anak terbesar, terjelek, terjahat di Long Island, atau di mana pun di planet ini.
Chiron mengetukkan kaki kudanya keras-keras pada marmer.
"Para pahlawan!" dia mengumumkan. "Kalian sudah tahu peraturannya. Garis perbatasannya sungai. Seluruh hutan boleh dimanfaatkan. Semua benda ajaib diperbolehkan. Bendera harus dipasang dengan mencolok, dan hanya boleh dijaga paling banyak dua orang. Tahanan boleh dilucuti senjatanya, tetapi tak boleh diikat atau ditutup mulutnya. Membunuh dan merusak badan tidak diperbolehkan. Aku akan menjadi wasit dan dokter medan perang. Persenjatai diri kalian!"
Dia melebarkan tangan, dan meja-meja tiba-tiba dipenuhi dengan perlengkapan: helm, pedang perunggu, tombak, perisai kulit sapi yang berlapis logam.
"Wah," kataku. "Kita benar-benar harus menggunakan ini?"
Luke menatapku seolah-olah aku gila. "Kecuali kalau kau mau disatai oleh teman-temanmu dari pondok lima. Nih—Chiron menduga ini akan pas. Kau mendapat tugas patroli perbatasan."
Perisaiku berukuran sebesar papan pantul basket NBA, bergambar caduceus besar di tengah-tengah. Beratnya sejuta kilo. Benda itu bisa saja kupakai berselancar di laut, tapi kuharap tak ada yang benar-benar ingin aku berlari cepat. Helmku, seperti semua helm di pihak Athena, diluasi bulu kuda biru di atasnya. Ares dan sekutunya berbulu merah.
Annabeth berteriak, "Regu biru, maju!"
Kami bersorak dan mengayun-ayunkan pedang dan mengikutinya menyusuri jalan ke hutan selatan. Regu merah menyerukan ejekan kepada kami sambil menuju ke Utara.
Aku berhasil menyusul Annabeth tanpa tersandung perlengkapanku sendiri. "Hei." Dia terus berbaris.
"Jadi, bagaimana rencananya?" tanyaku. "Kau punya benda ajaib yang bisa kupinjam?"
Tangannya bergerak ke saku, seolah-olah dia takut aku baru mencuri sesuatu. "Pokoknya, waspadai tombak Clarisse," katanya. "Jangan sampai tersentuh benda itu. Selain itu, jangan khawatir. Kita pasti bisa merebut bendera itu dari Ares. Luke sudah memberimu tugas?"
"Patroli perbatasan, entah apa artinya."
"Itu gampang. Berdirilah di dekat kali, jaga agar regu merah tidak masuk. Serahkan sisanya kepadaku. Athena Selalu punya rencana."
Dia terus maju, meninggalkanku di belakang.
"Baik," gumamku. "Aku senang kau menginginkanku ikut regumu."
Malam itu panas dan lengket. Hutan gelap. Kunang-kunang muncul dan hilang dari pandangan. Annabeth menempatkanku di samping kali kecil yang menggerocok di atas beberapa batu, lalu dia dan sisa regunya berpencar ke dalam pepohonan.
Berdiri di sana sendirian, dengan helm berbulu biru yang besar dan perisai yang besar, aku merasa seperti orang tolol. Pedang perunggu itu, seperti semua pedang yang kucoba sejauh itu, terasa salah keseimbangannya. Gagang kulitnya menarik tanganku seperti bola boling.
Aku nggak mungkin benar-benar diserang, kan? Maksudku, para Dewa Olympus pasti menuntut kalau ada anaknya yang terluka, kan?
Di kejauhan, trompet kerang itu berbunyi. Terdengar teriakan dan lolongan di hutan, dentang logam, anak-anak bertempur. Seorang sekutu berbulu biru dari Apollo melesat di depanku seperti kijang, melompat menyeberangi kali, dan menghilang ke wilayah musuh.
Bagus, pikirku. Aku ketinggalan bagian yang asyik, seperti biasa.
Lalu, terdengar bunyi yang membuatku merinding, geraman anjing yang bernada berat, di suatu tempat di dekatku.
Secara naluriah kuangkat perisaiku; aku merasa ada yang mengintaiku.
Lalu, geraman itu berhenti. Aku merasakan sosok itu mundur.
Di seberang kali, semak meledak. Lima pendekar Ares muncul dari gelap sambil berteriak dan menjerit. "Hajar si anak ingusan!" teriak Clarisse.
Mata babinya yang jelek melotot melalui celah helm. Dia mengayunkan tombak yang panjangnya 1,5 meter, ujung logamnya yang berduri berkilap-kilap dalam cahaya merah. Saudara-saudaranya hanya bersenjata pedang perunggu keluaran standar—meskipun itu tak terlalu melegakan hatiku.
Mereka melompati kali. Bala bantuan tak kelihatan dari mana pun. Aku bisa lari. Atau aku bisa membela diri melawan setengah anak pondok Ares.
Aku berhasil mengelakkan ayunan si anak pertama, tetapi orang-orang ini tidak sebodoh si Minotaurus. Mereka mengepungku, dan Clarisse menusukku dengan tambak. Perisaiku menangkis ujungnya, tetapi seluruh tubuhku terasa kesemutan yang menyakitkan. Bulu tubuhku berdiri semua. Lengan perisaiku mati rasa, dan udara terbakar.
Listrik. Tombak sialannya itu mengandung listrik. Aku mundur. Anak Ares lain menghantam dadaku dengan gagang pedangnya dan aku terjengkang.
Mereka sebenarnya bisa saja menendangiku hingga menjadi agar-agar, tetapi mereka terlalu sibuk tertawa.
"Potong rambutnya," kata Clarisse. "Pegang rambutnya."
Aku berhasil berdiri. Aku mengangkat pedang, tetapi Clarisse memukulnya ke samping dengan tombaknya dan bunga api beterbangan. Sekarang kedua lenganku mati rasa.
"Hii," kata Clarisse. "Aku takut sama dia. Takut banget."
"Benderanya ke sebelah sana,” kataku kepadanya. Aku ingin terdengar marah, tetapi ternyata yang terucap tidak begitu.
"Ya," kata salah satu saudaranya. "Tapi masalahnya, kami nggak peduli sama bendera. Kami peduli sama anak yang membuat pondok kami tampak bodoh."
"Tanpa bantuanku pun, kalian sudah tampak bodoh kok," kataku. Mengatakan hal itu mungkin bukan tindakan yang pintar.
Dua anak menerjang ke arahku. Aku mundur ke arah kali, berusaha menaikkan perisai, tetapi Clarisse terlalu cepat. Tombaknya menusuk tulang igaku dengan tepat. Andai aku tak mengenakan lempeng dada besi, aku pasti sudah jadi satai. Sekarang ini, ujung listrik itu hampir mengguncangkan gigi keluar dari mulutku. Salah satu teman sepondok Clarisse mengayunkan pedang pada lenganku, meninggalkan luka berukuran lumayan.
Melihat darahku sendiri membuatku pusing—panas sekaligus dingin.
"Nggak boleh mencederai," aku berhasil berkata.
"Ups," kata pemuda itu. "Aku bakal dihukum nggak mendapat makanan penutup ya?"
Dia mendorongku ke dalam kali dan aku tercebur dengan terjengkang. Mereka semua tertawa. Pikirku, begitu mereka puas tertawa, aku pasti mati. Tapi, kemudian sesuatu terjadi. Air kali tampaknya membangunkan Indraku, seolah-olah aku baru saja makan sekantong permen kopi ibuku.
Clarisse dan teman-teman pondoknya masuk ke dalam kali untuk mendekatiku, tetapi aku berdiri untuk menyambut mereka. Aku tahu apa yang harus dilakukan. Kuayunkan sisi pedang ke kepala pemuda pertama dan ku pukul helmnya hingga terlepas. Pukulanku begitu keras, sampai-sampai matanya terlihat bergetar saat dia ambruk ke air.
Si Jelek Nomor Dua dan si Jelek Nomor Tiga menyerangku. Aku menghantam muka yang satu dengan perisai, dan menggunakan pedang untuk membabat hiasan bulu kuda yang satunya. Keduanya buru-buru mundur. Si Jelek Nomor Empat kelihatannya enggan menyerang, tetapi Clarisse terus merangsek, ujung tombaknya berderak-derak dengan energi. Begitu dia menusuk, kutangkap batangnya dengan sisi perisai dan pedangku, lalu kupatahkan bagai ranting.
"Ah!" jeritnya. "Dasar tolol! Dasar cacing bau bangkai!"
Dia mungkin mau mengumpat lebih kasar lagi, tetapi kutonjok dia dengan gagang pedang, di tengah mata, dan membuatnya terhuyung keluar dari kali.
Kemudian terdengar teriakan, jeritan gembira, dan kulihat Luke berlari ke arah garis perbatasan, mengangkat bendera regu merah tinggi-tinggi. Dia diapit oleh dua pemuda Hermes yang melindungi gerakan mundurnya ke wilayah kami. Beberapa anak Apollo di belakangnya sedang menghalau anak-anak Hephaestus. Anak-anak Ares bangkit, dan Clarisse menggumamkan umpatan dengan kepala pening.
"Tipuan!" teriaknya. "Ini tipuan."
Mereka terhuyung-huyung mengejar Luke, tetapi terlambat. Semua orang berdatangan ke sungai sementara Luke berlari menyeberanginya, ke wilayah kawan. Pihak kami bersorak-sorai. Bendera merah bergetar dan berubah menjadi perak. Celeng dan tombak digantikan dengan caduceus besar, lambang pondok sebelas. Semua orang dalam regu biru mengangkat Luke dan mulai membopongnya berkeliling. Chiron mencongklang dari hutan dan meniup trompet kerang.
Permainan berakhir. Kami menang.
Aku baru saja akan bergabung dengan perayaan itu ketika suara Annabeth, tepat di sebelahku di dalam kali, berkata, "Lumayan juga, Pahlawan."
Aku menoleh, tetapi dia tidak ada.
"Dari mana sih kau belajar bertempur seperti itu?" tanyanya. Udara bergetar, dan dia mewujud, sambil memegang topi bisbol Yankee seolah-olah dia baru saja mencopotnya dari kepala.
Aku merasa diriku mulai marah. Aku bahkan tidak merasa takjub bahwa barusan dia tak kasat mata.
"Kau menjebakku," kataku. "Kau menempatkan aku di sini karena kautahu Clarisse akan mengejarku, sementara kau mengirim Luke memutar. Kau sudah merencanakan ini."
Annabeth mengangkat bahu. "Sudah kubilang. Athena selalu, selalu punya rencana."
"Rencana yang membuatku dihajar."
"Aku datang secepatnya. Aku baru saja mau turun tangan tapi...” Dia mengangkat bahu. "Kau tak butuh bantuan."
Lalu, dia melihat lenganku yang terluka. "Kok kau bisa seperti itu, sih?"
"Luka pedang," kataku. "Maunya seperti apa?"
"Tidak. Itu tadinya luka pedang. Coba lihat." Darahnya sudah hilang. Di tempat yang tadinya terdapat luka besar itu, ada goresan putih yang panjang, dan itu pun memudar. Sementara aku memerhatikan, goresan itu berubah menjadi bekas luka kecil, lalu menghilang.
"Lho—kok 'gini," kataku.
Annabeth berpikir keras. Aku hampir bisa melihat otaknya berputar. Dia melihat ke arah kakiku, lalu ke arah tombak patah milik Clarisse, dan berkata, "Keluar dari air, Percy."
"Apa—"
"Lakukan saja."
Aku keluar dari kali dan langsung merasa lelah. Lenganku mulai terasa kebas lagi. Gelora adrenalin meninggalkanku. Aku nyaris terjengkang, tetapi Annabeth memegangiku.
"Oh, demi Styx," umpatnya. "Ini gawat. Tadinya aku nggak ingin... Aku tadinya berasumsi Zeus ..."
Sebelum aku sempat menanyakan maksud perkataannya, terdengar geraman anjing itu lagi, tetapi jauh lebih dekat daripada sebelumnya. Lolongan mengoyak ke seluruh hutan.
Sorak-sorai pekemah padam seketika. Chiron menyerukan sesuatu dalam bahasa Yunani Kuno, yang, baru kusadari kemudian, kupahami dengan sempurna: "Bersiap. Busurku."
Annabeth menghunus pedang.
Di atas bebatuan persis di atas kami, terdapat seekor anjing hitam seukuran badak, bermata merah lahar dan bertaring bagai belati.
Anjing itu menatap lurus kepadaku.
Tak ada yang bergerak kecuali Annabeth, yang berteriak, "Percy, lari!"
Dia berusaha melangkah ke depanku, tetapi anjing itu terlalu cepat. Hewan itu melompati Annabeth—bayang raksasa bergigi—dan persis saat menimpaku, saat aku terhuyung ke belakang dan merasakan cakarnya yang setajam pisau merobek baju zirahku, terdengar serentetan bunyi benturan, seperti empat puluh carik kertas dirobek berturut-turut. Dari leher anjing itu, mencuat serumpun anak panah. Monster itu ambruk tak bernyawa di kakiku.