PERCY JACKSON & THE OLYMPIANS 2
Dia
menawariku kursi di sebelah kanan Pak D. Si direktur perkemahan itu
memandangku dengan mata merah dan menghela napas panjang. "Oh, aku harus
menyambut ya? Selamat datang di Perkemahan Blasteran. Nah, sudah
kukatakan. Jangan harap aku senang berkenalan denganmu."
"Eh,
makasih." Aku beringsut menjauh darinya. Satu pelajaran yang kupetik
setelah hidup bersama Gabe adalah cara mengetahui kapan seorang dewasa
habis minum-minum. Sudah pasti Pak D bersahabat dengan alkohol, sama
pastinya aku bukan seorang satir.
"Annabeth?" Pak Brunner memanggil si gadis pirang.
Dia
maju dan Pak Brunner memperkenalkan kami. "Gadis ini merawatmu hingga
kau sehat, Percy. Annabeth, Manis, tolong periksa tempat tidur Percy,
ya? Dia kita tempatkan di pondok sebelas sementara ini."
Annabeth berkata, "Baik, Chiron."
Dia
sepertinya seumur denganku, barangkali beberapa centimeter lebih
tinggi, dan tampak jauh lebih atletis dengan kulit terbakar dan rambut
pirang ikal, dia persis seperti gadis khas California dalam bayanganku.
Tetapi, matanya menghancurkan bayangan itu. Warnanya abu-abu memukau,
seperti awan badai. Indah, tetapi juga menggentarkan, seolah-olah dia
sedang menganalisis cara terbaik untuk menaklukkanku dalam perkelahian.
Dia
melirik tanduk minotaurus di tanganku, lalu kembali kepadaku. Aku
membayangkan dia akan berkata, Kau membunuh minotaurus! atau Wah, kau
hebat! atau semacamnya.
Dia malah bilang, "Kau ngiler kalau lagi tidur." Lalu dia berlari ke pekarangan, rambut pirangnya berkibar-kibar.
"Jadi," kataku, ingin cepat-cepat mengubah topik. Tak Brunner, eh, bekerja di sini?"
"Bukan Pak Brunner," kata mantan Pak Brunner. "Itu cuma nama samaran. Kau boleh memanggilku Chiron."
"Oke." Sambil merasa bingung, aku menoleh kepada direktur. "Dan Pak D ... itu singkatan nama?"
Pak
D berhenti mengocok kartu. Dia menatapku seolah-olah aku baru
bersendawa keras. "Anak muda, nama itu punya kekuatan. Tidak boleh
digunakan sembarangan."
"Oh. Betul. Maaf."
"Sungguh,
Percy," sela Chiron-Brunner, "aku senang kau masih hidup. Sudah lama
aku tidak mengunjungi calon pekemah. Aku pasti menyesal kalau selama ini
aku cuma menyia-nyiakan waktu."
"Mengunjungi?"
"Aku
setahun bekerja di Akademi Yancy, itu untuk mengajarimu. Tentu saja,
kami menempatkan satir di banyak sekolah, untuk mengawasi. Tapi, Grover
memberitahuku begitu bertemu denganmu. Dia merasa kau istimewa, jadi aku
memutuskan untuk datang ke utara. Aku meyakinkan guru bahasa Latin yang
satu lagi untuk ... eh, mengambil cuti."
Aku
berusaha mengingat awal tahun ajaran. Rasanya sudah lama sekali, tetapi
aku memang ingat samar-samar bahwa ada guru bahasa Latin lain pada
minggu pertamaku di Yancy. Lalu, tanpa penjelasan, dia menghilang dan
Pak Brunner mengambil alih mata pelajaran itu.
"Bapak datang ke Yancy untuk mengajariku?" tanyaku.
Chiron
mengangguk. "Sejujurnya, pada awalnya aku tidak terlalu yakin soal
dirimu. Kami menghubungi ibumu, memberitahunya bahwa kami mengamatimu
kalau-kalau kau sudah siap untuk Perkemahan Blasteran. Tapi, waktu itu
kau masih harus banyak belajar. Namun, kau sampai ke sini hidup-hidup,
dan itu selalu jadi ujian pertamanya."
"Grover," kata Pak D tak sabar, "kau mau main atau tidak?"
"Mau,
Pak!" Grover gemetar sambil duduk di kursi keempat, tetapi aku heran
mengapa dia setakut itu pada seorang lelaki kecil gempal yang berkemeja
Hawaii bercorak harimau.
"Kau tahu kan cara bermain pinochle?" Pak D menatapku curiga.
"Sayangnya, tidak," kataku.
"Sayangnya, tidak, Pak," katanya.
"Pak," ulangku. Aku semakin tidak menyukai direktur perkemahan itu.
"Nah,"
katanya kepadaku, "selain pertarungan gladiator dan Pac-Man, pinochle
adalah salah satu permainan terbaik yang pernah diciptakan manusia. Aku
mengharapkan semua pemuda yang beradab tahu peraturannya."
"Aku yakin anak ini bisa belajar," kata Chiron.
"Tolong,"
kataku, "ini tempat apa? Sedang apa saya di sini? Pak
Brun—Chiron—kenapa Bapak mau datang ke Akademi Yancy hanya untuk
mengajari saya?"
Pak D mendengus. "Aku juga heran soal itu."
Si
direktur perkemahan membagikan kartu. Grover berjengit setiap kali
sehelai kartu mendarat di tumpukan miliknya. Chiron tersenyum kepadaku
penuh simpati, sebagaimana yang selalu dilakukannya di kelas bahasa
Latin, seolah-olah mengatakan bahwa berapa pun nilai rata-rataku, aku
adalah murid bintangnya. Dia mengharapkan aku tahu jawaban yang benar.
"Percy," katanya. "Ibumu tidak menceritakan apa-apa kepadamu?"
"Dia
bilang…………. “ Aku ingat matanya yang sedih, memandang ke arah lautan.
"Katanya, dia takut mengirim saya ke sini, meskipun ayah saya
menginginkan itu. “Katanya, begitu saya berada di sini, mungkin saya tak
akan bisa keluar lagi. Dia ingin saya tetap dekat dengannya."
"Tipikal," kata Pak D. "Biasanya gara-gara itulah mereka terbunuh. Anak Muda, kau mau menawar atau tidak?"
"Apa?" tanyaku. Dengan tidak sabar dia menjelaskan cara menawar dalam pinochle, lalu aku pun menawar.
"Agaknya terlalu banyak yang perlu diceritakan," kata Chiron. "Sepertinya film orientasi kita yang biasa tak akan memadai."
"Film orientasi?" tanyaku.
"Tidak,"
Chiron memutuskan. "Begini, Percy. Kau tahu temanmu Grover ini seorang
satir. Kau tahu"—dia menunjuk tanduk di dalam kotak sepatu—"bahwa kau
membunuh Minotaurus. Itu bukan prestasi kecil lho. Yang mungkin tak
kauketahui, di dalam hidupmu bekerja kekuatan-kekuatan besar.
Dewa-dewi—kekuatan yang disebut dewa-dewi Yunani—masih hidup."
Aku menatap ketiga orang di sekeliling meja.
Aku
menunggu seseorang berseru, Ketipuuu..... Tapi Pak D malah berseru,
"Oh, pernikahan raja. Trik! Trik!" Dia terkekeh sambil menghitung nilai
permainan kartu.
"Pak D," tanya Grover takut-takut, "kalau nggak akan dimakan, boleh aku minta kaleng Diet Coke punya Bapak?"
"Eh? Boleh."
Grover menggigit sepotong besar kaleng aluminium kosong, mengunyahnya dengan sendu.
"Tunggu," kataku kepada Chiron. "Maksud Bapak, Tuhan itu ada?"
"Nah," kata Chiron. "Tuhan—dengan T besar, Tuhan. Itu masalah yang lain sama sekali. Kita tak akan membahas hal metafisika."
"Metafisika? Tapi barusan Bapak bicara soal—"
"Ah,
dewa-dewi, makhluk-makhluk adikuasa yang mengendalikan kekuatan alam
dan kegiatan manusia: dewa-dewi abadi dari Olympus. Itu masalah yang
lebih kecil."
"Lebih kecil?"
"Ya, benar. Dewa-dewi yang kita bahas dalam mata pelajaran bahasa Latin."
"Zeus," kataku. "Hera, Apollo. Maksud Bapak, mereka."
Lalu terdengar lagi—guruh di kejauhan pada hari tanpa awan.
"Anak Muda," kata Pak D, "sebaiknya kau jangan terlalu sembarangan menyebut-nyebut nama itu."
"Tapi
mereka kan cuma cerita," kataku. "Cuma—mitos, untuk menjelaskan petir
dan musim dan sebangsa-nva. Cuma keyakinan orang sebelum ada ilmu
pengetahuan."
"Ilmu
pengetahuan!" Pak D mendengus. "Dan coba sebutkan, Perseus Jackson"—aku
berjengit saat dia mengucapkan nama asliku, yang tak pernah kuceritakan
kepada siapa pun—"bagaimana kira-kira pendapat orang tentang 'ilmu
pengetahuanmu' ini dua ribu tahun dari sekarang?" Pak D melanjutkan.
"Hmm? Mereka akan bilang itu cuma mantra primitif. Begitu. Aku suka kok
pada manusia—mereka tak punya rasa perspektif sama sekali. Mereka
menganggap mereka sudah berhasil meraih kemajuan besaaar. Dan benarkah
itu, Chiron? Lihat anak ini dan beri tahu aku."
Aku
tidak terlalu menyukai Pak D, tetapi cara dia menyebutku manusia
menyiratkan seolah-olah bahwa dia ……... bukan manusia. Itu sudah cukup
untuk menimbulkan ganjalan di tenggorokanku. Sudah cukup untuk sedikit
menjelaskan mengapa Grover menata kartu dengan patuh, mengunyah kaleng
soda, dan tutup mulut.
"Percy,"
kata Chiron, "kau boleh memilih percaya atau tidak, tetapi kenyataannya
adalah makhluk abadi memang hidup abadi. Bisakah kau bayangkan sesaat,
tak pernah mati? Tak pernah menua? Berwujud seperti diri kita sekarang,
tetapi selamanya?"
Aku
hendak menjawab dengan pikiran yang langsung tebersit di kepala, bahwa
hidup abadi sepertinya menyenangkan, tetapi nada suara Chiron membuatku
ragu.
"Maksud Bapak, baik orang percaya dewa ada atau tidak," kataku.
"Persis,"
kata Chiron menyepakati. "Andai kau ini dewa, apa kau suka kalau kau
disebut cuma mitos, kisah lama untuk menjelaskan petir? Bagaimana kalau
aku memberitahumu, Perseus Jackson, bahwa suatu hari nanti orang berkata
bahwa kau cuma mitos, diciptakan sekadar untuk menjelaskan bagaimana
cara seorang anak pulih dari peristiwa kehilangan ibunya?"
Jantungku
berdebar-debar. Dia sedang berusaha membuatku marah, entah kenapa, tapi
tak akan kubiarkan. Kataku, "Jelas saya tak akan suka. Tapi saya tak
percaya ada dewa-dewi."
"Sebaiknya kau percaya," gumam Pak D. "Sebelum kau dihanguskan oleh salah satu dari mereka."
Kata Grover, "T-tolong, Pak. Dia baru kehilangan ibunya. Dia sedang syok."
"Untunglah,"
gerutu Pak D, memainkan sebuah kartu. "Sudah cukup buruk aku
terperangkap di pekerjaan menyebalkan ini, bekerja dengan anak-anak yang
bahkan tidak percaya!"
Dia
melambaikan tangan. Sebuah gelas piala muncul di atas meja, seolah-olah
cahaya matahari membelok sesaat, dan menganyam udara menjadi gelas.
Gelas itu terisi sendiri dengan anggur merah.
Mulutku menganga, tetapi Chiron tidak menoleh.
"Pak D," dia memperingatkan, "laranganmu."
Pak D menatap anggur itu dan berpura-pura kaget.
"Astaga." Dia menatap ke langit dan berseru, "Kebiasaan lama! Maaf!"
Guruh lagi.
Pak
D melambaikan tangan lagi, dan gelas anggur itu berubah menjadi
sekaleng penuh Diet Coke. Dia menghela napas sedih, membuka kaleng soda
itu, dan kembali ke permainan kartu.
Chiron
mengedipkan mata kepadaku. "Belum lama Ini Pak D menyinggung perasaan
ayahnya, karena jatuh hati pada peri pohon yang sudah dinyatakan
terlarang."
"Peri pohon," ulangku, masih menatap kaleng Diet Coke yang seolah-olah muncul dari luar angkasa.
"Ya,"
Pak D mengaku. "Ayah senang menghukumku. Pertama kalinya, dengan
Undang-Undang Anti-Alkohol. Mengerikan! Benar-benar sepuluh tahun yang
menyiksa! Yang kedua—yah, dia memang sangat cantik, dan aku tak tahan
berjauhan dengannya—kedua kali, dia mengirimku ke sini. Bukit Blasteran.
Perkemahan musim panas untuk anak-anak manja sepertimu. 'Jadilah
pengaruh yang baik,' katanya kepadaku. 'Binalah kaum muda, jangan
merusaknya.' Ha! Benar-benar tak adil."
Pak D kedengaran seperti anak umur enam tahun, seperti anak kecil yang merajuk.
"Dan ..." aku terbata, "ayah Bapak adalah ..."
"Di immortales, Chiron," kata Pak D. "Kusangka kau sudah mengajari anak ini dasar-dasarnya. Ayahku Zeus, tentu saja."
Aku
mengingat-ingat semua nama berawalan D dalam mitologi Yunani. Anggur.
Kulit harimau. Semua satir yang tampaknya bekerja di sini. Cara Grover
berjengit, seolah-olah Pak D adalah majikannya.
"Bapak ini Dionysus," kataku. "Dewa Anggur."
Pak D memutar mata. "Apa kata orang zaman sekarang, Grover? Apa anak-anak berkata, 'Ya iyalah!'?"
"I-iya, Pak D."
"Nah. Ya iyalah! Percy Jackson. Memangnya kau pikir aku ini Aphrodite, barangkali?"
"Bapak ini dewa?"
"Iya, Bocah."
"Bapak?
Dewa?" Dia menoleh untuk menatapku lurus-lurus. Terlihat semacam api
keunguan di matanya, pertanda bahwa lelaki kecil gempal yang
merengek-rengek ini baru menunjukkan sedikit saja perangai sejatinya.
Kulihat bayangan sulur anggur yang mencekik orang-orang tak percaya
hingga mati, para pendekar mabuk yang menjadi gila dengan hasrat
bertempur, para pelaut yang menjerit saat tangannya berubah menjadi
sirip dan wajahnya memanjang menjadi moncong lumba-lumba. Aku tahu bahwa
jika aku mendesaknya, Pak D akan menunjukkan hal-hal yang lebih buruk.
Dia akan menanamkan penyakit di dalam otakku, yang akan menyebabkan aku
memakai jaket pengaman dalam kamar berdinding lapis karet selama sisa
hidupku.
"Kau mau mengujiku, Bocah?" katanya lirih.
"Tidak. Tidak, Pak."
Api itu padam sedikit. Dia kembali ke permainan kartu. "Sepertinya aku menang."
"Belum
tentu, Pak D," kata Chiron. Dia meletakkan kartu straight, menghitung
nilai, dan berkata, "Permainan Ini aku yang menang."
Kusangka
Pak D akan memusnahkan Chiron langsung di kursi rodanya, tetapi dia
hanya mengembuskan napas melalui hidung, seolah-olah dia terbiasa
dikalahkan oleh si guru bahasa Latin. Dia berdiri, dan Grover juga
bangkit.
“Aku
capek," kata Pak D. "Aku mau tidur siang dulu, sebelum acara nyanyi
bersama malam ini. Tetapi, pertama-tama, Grover, kita perlu bicara,
lagi, tentang kinerjamu yang kurang sempurna pada tugas ini."
Wajah Grover bertaburan peluh. "iya, Pak."
Pak D menoleh kepadaku. "Pondok sebelas, Percy Jackson. Dan jaga kelakuanmu."
Dia masuk ke dalam rumah pertanian, Grover mengikutinya dengan merana.
"Apa Grover nggak akan apa-apa?" tanyaku kepada Chiron.
Chiron
mengangguk, tetapi dia tampak sedikit cemas. "Dionysus Tua tidak
benar-benar marah. Dia hanya membenci pekerjaannya. Dia telah ... eh,
dihukum, barangkali boleh dibilang begitu. Dia tak tahan, harus menunggu
seabad lagi sebelum diizinkan pulang ke Olympus."
"Gunung Olympus," kataku. "Maksud Bapak, di sana benar-benar ada istana?"
"Nah,
memang ada Gunung Olympus yang di Yunani. Tapi, ada juga tempat tinggal
para dewa, titik pertemuan kekuatan mereka, yang dulu memang terletak
di Gunung Olympus. Tempat itu sekarang masih disebut Gunung Olympus
untuk menghormati adat lama, tetapi istana itu berpindah-pindah, Percy,
sama seperti para dewa."
"Maksud Bapak, dewa-dewi Yunani sekarang ada di sini? Maksudku ... di Amerika?"
"Tentu saja. Para dewa berpindah-pindah mengikuti jantung Barat."
"Mengikuti apa?"
"Masa
nggak tau. Yang kau sebut 'peradaban Barat'. Kau pikir itu cuma konsep
abstrak? Bukan, itu kekuatan yang hidup. Kesadaran kolektif yang
berkobar terang selama ribuan tahun. Dewa-dewi termasuk di dalamnya.
Bahkan boleh dibilang, merekalah sumbernya, atau setidaknya, mereka
terikat erat dengannya sehingga mereka tak mungkin memudar, kecuali jika
seluruh peradaban Barat dihancurkan. Api itu dimulai di Yunani. Lalu,
seperti yang kau ketahui—aku berharap kau tahu, karena kau lulus mata
pelajaranku—jantung api itu pindah ke Roma, demikian pula dewa-dewinya.
Mungkin namanya memang baru—Jupiter untuk Zeus, Venus untuk Aphrodite,
dan seterusnya—tetapi kekuatan yang sama, dewa-dewi yang sama."
"Lalu mereka mati."
"Mati?
Tidak. Apakah dunia Barat mati? Para dewa cuma pindah, ke Jerman, ke
Prancis, ke Spanyol, beberapa lama. Di mana pun api itu paling terang,
di situlah para dewa. Mereka melewatkan beberapa abad di Inggris. Kita
tinggal melihat arsitekturnya. Orang tak pernah melupakan para dewa. Di
setiap tempat mereka berkuasa, selama tiga ribu tahun terakhir, mereka
tampil dalam lukisan, dalam patung, pada gedung-gedung terpenting. Dan
benar, Percy, tentu saja mereka sekarang berada di Amerika Serikatmu.
Lihat saja lambang negaramu, elang Zeus. Lihat patung Prometheus di
Rockefeller Center, ukiran Yunani gedung-gedung pemerintah di
Washington. Coba I m temukan kota Amerika mana yang tidak menampilkan
dewa-dewi Olympia secara menonjol di berbagai tempat. Suka tidak
suka—dan yakinlah, dulu juga banyak orang yang tak menyukai Roma—Amerika
adalah jantung api itu sekarang. Di sinilah kekuatan Barat yang besar.
Maka, Olympus juga berada di sini. Dan kita berada di sini."
Keterangan
ini terlalu banyak, terutama kenyataan bahwa aku tampaknya disertakan
dalam kita yang diucapkan Chiron, seolah-olah aku termasuk klub entah
apa.
"Siapa Bapak sebenarnya?”
“Siapa ... siapa aku?"
Chiron
tersenyum. Dia beringsut seolah-olah hendak bangkit dari kursi roda,
tetapi aku tahu itu mustahil. Dia lumpuh dari pinggang ke bawah.
"Siapa
kau?" dia bertanya. "Nah, kita semua ingin pertanyaan itu terjawab,
bukan? Tetapi, sementara ini, sebaiknya kau tidur di pondok sebelas. Ada
teman-teman baru yang akan kau temui. Dan besok ada banyak waktu untuk
pelajaran. Lagi pula, malam ini akan ada acara lagi di api unggun, dan
aku sangat suka cokelat."
Lalu,
dia benar-benar bangkit dari kursi roda. Tetapi, cara dia melakukan itu
agak aneh. Selimutnya terjatuh dari kakinya, tetapi kaki itu tidak
bergerak. Pinggangnya terus saja memanjang, naik di atas sabuknya.
Pertama-tama, kusangka dia mengenakan celana dalam beludru putih yang
sangat panjang. Tetapi, saat dia terus bangkit dari kursi roda, lebih
tinggi daripada manusia mana pun, kusadari bahwa celana dalam beludru
itu bukan celana dalam, melainkan bagian depan seekor hewan, otot dan
urat di balik bulu putih yang kasar. Dan kursi roda itu bukan kursi,
melainkan semacam wadah, kotak raksasa beroda. Kursi itu pasti kursi
ajaib, karena ukurannya tak mungkin bisa menampung seluruh tubuh Chiron.
Sebuah kaki keluar, panjang dan berlutut menonjol, dengan kuku kaki
besar yang berkilat. Lalu satu lagi kaki depan, lalu kaki belakang, lalu
kotak itu kosong, sekadar selongsong logam yang ditempeli sepasang kaki
manusia palsu.
Aku
menatap kuda yang baru saja keluar dari kursi roda itu : seekor kuda
jantan putih yang sangat besar. Tetapi, di tempat yang semestinya
ditempati leher, ada bagian atas tubuh guru Latinku, secara mulus
terpasang pada tubuh kuda.
"Lega
rasanya," kata si centaurus. "Sudah lama sekali aku terkurung di situ,
bulu kakiku sudah kebas. Nah, mari, Percy Jackson. Mari kita temui para
pekemah lain.”
6. Aku penjadi Penguasa Tertinggi Kamar Mandi
Setelah
aku mampu menerima bahwa guru bahasa Latinku seekor kuda, kami
menikmati acara jalan-jalan berkeliling perkemahan, tetapi aku
berhati-hati agar tidak berjalan di belakangnya. Aku sudah pernah
beberapa kali bertugas membersihkan kotoran di Pawai Hari Thanksgiving
dari toko Macy, dan, maaf saja, aku tak memercayai bagian pantat Chiron
sebesar aku memercayai bagian depannya.
Kami
melewati lapangan bola voli. Beberapa pekemah saling menyikut.
Seseorang menunjuk tanduk minotaurus yang kubawa. Seorang lagi berkata,
"Dia orangnya."
Sebagian
besar pekemah lebih tua dariku. Teman-teman satir mereka lebih besar
daripada Grover, yang kesemuanya berlari-lari mengenakan kaus PERKEMAHAN
BLASTERAN warna Jingga, tanpa pakaian lain untuk menutupi kaki belakang
gondrong mereka yang telanjang. Aku biasanya tidak pemalu, tetapi cara
mereka menatapku membuatku rikuh. Aku merasa mereka mengharapkan aku
bersalto atau apa.
Aku
menoleh ke belakang, ke rumah pertanian itu. Rumah itu jauh lebih besar
daripada yang sebelumnya kusadari—tingginya empat tingkat, berwarna
biru langit dengan pinggiran putih, seperti sanggraloka tepi laut kelas
atas. Aku sedang memerhatikan gada-gada berbentuk elang perunggu di
atap, ketika sesuatu menarik perhatianku, sebuah bayangan di jendela
teratas di cerucup loteng. Sesuatu menggerakkan tirai, sedetik saja, dan
aku merasakan kesan jelas bahwa aku sedang diamati.
"Ada apa di atas sana?" tanyaku kepada Chiron.
Dia melihat ke arah yang kutunjuk, dan senyumnya memudar. "Cuma loteng."
"Ada yang tinggal di sana?"
"Tak ada," katanya tegas. "Tak satu pun makhluk hidup."
Aku merasa bahwa dia berbicara jujur. Tetapi, aku juga yakin ada yang menggerakkan tirai itu.
"Ayo, Percy," kata Chiron, nadanya yang ringan kini agak dipaksakan.
"Banyak yang harus dilihat."
Kami
melintasi ladang stroberi. Para pekemah memetik berkeranjang-keranjang
stroberi sementara seorang satir memainkan lagu dengan seruling.
Chiron
bercerita bahwa perkemahan itu menghasilkan panen yang lumayan untuk
dijual ke restoran-restoran New York dan Gunung Olympus. "Ini menutupi
pengeluaran kami," katanya menjelaskan. "Dan menanam stroberi ini hampir
tak memerlukan usaha."
Katanya,
Pak D berpengaruh baik pada tumbuhan buah: semuanya tumbuh melimpah
saat dia ada. Pengaruh itu paling bagus pada anggur untuk minuman,
tetapi Pak D dilarang menanam itu, jadi mereka menanam stroberi saja.
Aku
mengamati si satir bermain seruling. Musiknya menyebabkan
barisan-barisan kumbang meninggalkan petak stroberi ke segala arah,
seperti pengungsi yang melarikan diri dari api. Aku bertanya-tanya
apakah Grover dapat menyihir dengan musik seperti itu. Aku
bertanya-tanya apakah dia masih di dalam rumah pertanian, disemprot oleh
Pak D.
"Grover nggak akan dihukum terlalu berat, kan?" tanyaku kepada Chiron. "Maksudku ... dia pelindung yang baik. Sungguh."
Chiron
menghela napas. Dia menanggalkan jaket wol dan menyampirkannya di
punggung kudanya seperti pelana. "Grover punya impian besar, Percy.
Mungkin besarnya sudah tak lagi masuk akal. Untuk mencapai tujuannya,
dia pertama-tama harus menunjukkan keberanian besar, dengan cara menjadi
penjaga yang berhasil, yaitu mencari pekemah baru dan membawanya dengan
selamat ke Bukit Blasteran."
"Tapi dia berhasil kan!"
"Aku
mungkin setuju denganmu," kata Chiron. "Tapi bukan aku yang bertugas
menentukan hal itu. Dionysus dan Dewan Tetua Berkuku Belah yang harus
memutuskan. Sayangnya, mungkin mereka tak akan menganggap tugas ini
berhasil dilaksanakan. Bagaimana pun, Grover kehilangan dirimu di New
York. Lalu ada nasib ibumu yang ........ eh …….. tidak terlalu baik.
Belum lagi kenyataan bahwa Grover sedang pingsan saat kau menyeretnya
melewati batas wilayah. Dewan mungkin mempertanyakan apakah hal ini
menunjukkan keberanian di pihak Grover."
Aku
ingin protes. Tak satu pun peristiwa itu salah Grover. Aku juga merasa
sangat-sangat bersalah. Andai aku tidak meninggalkan Grover di stasiun
bus, dia mungkin tak akan terkena masalah.
"Dia akan mendapat kesempatan kedua, kan?"
Chiron
meringis. "Sayangnya, tugas ini adalah kesempatan kedua Grover, Percy.
Dewan sebenarnya agak enggan memberinya kesempatan ini, setelah
peristiwa pada tugas pertama, lima tahun yang lalu. Sungguh, aku
menasihatinya agar menunggu lebih lama sebelum mencoba lagi. Dia masih
sangat kecil untuk usianya ………..”
"Berapa umurnya?"
"Oh, dua puluh delapan."
"Apa! Dan dia masih kelas enam?"
"Kecepatan tumbuh satir itu setengah kecepatan manusia, Percy. Selama enam tahun terakhir, Grover setara dengan anak SMP"
"Seram sekali."
"Memang,"
Chiron setuju. "Namun, Grover tetap termasuk yang pertumbuhannya
terlambat, bahkan untuk ukuran satir, dan belum terlalu mahir sihir
rimba. Namun, dia bersemangat mengejar impiannya. Mungkin sekarang dia
harus mencari karier lain
"Itu nggak adil," kataku. "Apa yang terjadi pada tugas pertama? Memangnya seburuk itu?"
Chiron cepat berpaling. "Mari kita lanjutkan ke tempat lain."
Tetapi,
aku belum siap melepaskan topik itu. Suatu pikiran terlintas di
kepalaku ketika Chiron berbicara tentang nasib ibuku, seolah-olah dia
sengaja menghindari kata kematian. Benih gagasan—api kecil penuh harap—
mulai terbentuk dalam benakku.
"Chiron," kataku. "Kalau dewa-dewi dan Olympus dan semuanya nyata...."
"Ya, Nak?"
"Apa itu berarti Dunia Bawah Tanah juga nyata?" Raut Chiron menggelap.
"Ya,
Nak." Dia berhenti sejenak, seolah memilih kata dengan hati-hati. "Ada
tempat yang dituju arwah setelah kematian. Tetapi sementara ini ...
sampai kita tahu lebih banyak …………. kuanjurkan kau menyingkirkan itu
dari benakmu."
"Apa maksud Bapak, 'sampai kita tahu lebih banyak’?"
"Ayo, Percy. Kita lihat-lihat hutan."
Sementara
kami mendekat, kusadari betapa besarnya hutan itu. Hutan itu meliputi
setidaknya seperempat lembah itu, dengan pohon yang begitu rapat dan
lebat, kau bisa membayangkan bahwa tak ada yang pernah masuk ke sana
sejak orang Pribumi Amerika.
Chiron berkata, "Hutan itu dilengkapi pasokan, kalau kau ingin mencoba peruntungan, tapi jangan masuk tanpa senjata."
"Pasokan apa?" tanyaku. "Senjata apa?"
"Lihat saja nanti. Permainan tangkap bendera diadakan malam Sabtu. Kau punya perisai dan pedang sendiri?"
"Sendiri—?"
"Tidak," kata Chiron. "Tentu kau tidak punya. Kurasa ukuran lima akan pas. Nanti aku ke gudang senjata."
Aku
ingin bertanya, perkemahan musim panas macam apa yang memiliki gudang
senjata, tetapi terlalu banyak hal lain yang perlu dipikirkan, jadi
acara keliling itu dilanjutkan. Kami melihat arena panah, danau kano,
istal (yang tampaknya tak begitu disukai Chiron), arena lembing,
amfiteater bernyanyi bersama, dan arena yang menurut Chiron merupakan
tempat pertempuran pedang dan tombak.
"Pertempuran pedang dan tombak?" tanyaku.
"Tanding antarpondok dan semacamnya," dia menjelaskan. "Tidak mematikan. Biasanya. Oh ya, itu aula makan."
Chiron
menunjuk sebuah paviliun di udara terbuka, yang dibingkai tiang-tiang
putih bergaya Yunani, di atas bukit yang menghadap ke laut. Ada selusin
meja piknik dari batu. Tak ada atap. Tak ada dinding.
"Bagaimana kalau hujan?" tanyaku.
Chiron menatapku seolah-olah aku agak aneh. "Kita tetap harus makan, kan?" Kuputuskan untuk tak melanjutkan topik itu.
Akhirnya,
dia mengajakku melihat pondok. Semuanya berjumlah dua belas, terlindung
pepohonan di tepi danau. Pondok itu ditata berbentuk U, dengan dua di
dasar dan lima berbaris di kedua sisi. Dan tak pelak lagi, semuanya
adalah kumpulan gedung paling aneh yang pernah kulihat.
Selain
kenyataan bahwa setiap pondok dipasangi nomor kuningan besar di atas
pintu (nomor ganjil di kiri, nomor genap di kanan), semuanya sama sekali
tidak mirip. Nomor sembilan memiliki beberapa cerobong asap, seperti
pabrik mungil. Tembok pondok nomor empat ditumbuhi sulur tomat dan
atapnya terbuat dari rumput sungguhan. Nomor tujuh tampaknya terbuat
dari emas murni, yang begitu berkilau dalam cahaya matahari sehingga
hampir tak bisa dipandang. Semuanya menghadap ke halaman bersama yang
berukuran sekitar besar lapangan sepak bola, ditebari patung Yunani, air
mancur, petak bunga, dan beberapa keranjang bola basket (yang lebih
cocok dengan seleraku).
Di
tengah lapangan terdapat lubang perapian besar yang bertepi batu.
Meskipun udara sore itu panas, perapian itu membara. Seorang gadis
sekitar sembilan tahun menjaga api, menyodok-nyodok arang dengan
tongkat.
Sepasang
pondok di ujung lapangan, nomor satu dan dua, mirip dengan pusara
sepasang suami-istri, berupa dua kubus besar dari marmer putih, dengan
tiang-tiang besar di depan. Pondok satu adalah pondok terbesar dan
terluas di antara kedua belas pondok. Pintu-pintu perunggunya yang
mengilat cemerlang seperti hologram, sehingga dari berbagai sudut tampak
seolah-olah sambaran petir menyambar di permukaannya. Pondok dua entah
bagaimana tampak lebih anggun, tiangnya lebih ramping, dihiasi dengan
buah delima dan bunga-bungaan. Dinding-dindingnya diukir dengan gambar
merak.
"Zeus dan Hera?" tebakku.
"Benar," kata Chiron.
"Pondok mereka sepertinya kosong."
"Beberapa pondok memang kosong. Benar. Tak ada yang pernah tinggal di pondok satu dan dua."
Oke.
Jadi, setiap pondok memiliki dewa yang berbeda-beda, seperti maskot.
Dua belas pondok untuk dua belas dewa-dewi Olympia. Tetapi kenapa ada
yang kosong? Aku berhenti di depan pondok pertama di sebelah kiri,
pondok tiga. Pondok itu tidak semewah pondok satu, tetapi panjang dan
rendah dan kokoh. Tembok luarnya terbuat dari batu kelabu kasar yang
dihiasi dengan potongan cangkang laut dan karang, seolah-olah
lempeng-lempeng itu dipotong langsung dari dasar laut. Aku mengintip ke dalam pintu yang terbuka dan Chiron berkata, "Sebaiknya jangan!"
Sebelum
sempat menarikku mundur, aku menangkap aroma asin bagian dalam, seperti
angin di pesisir di Montauk. Dinding bagian dalamnya berpendar seperti
ibalone. Ada enam tempat tidur tingkat yang kosong, dengan seprai sutra
terbalik. Tapi tak ada tanda-tanda pernah ditiduri. Tempat itu terasa
begitu sedih dan sepi, aku lega ketika Chiron meletakkan tangannya di
bahuku dan berkata, "Mari, Percy."
Sebagian besar pondok lain dipenuhi pekemah.
Nomor
lima merah cerah—catnya benar-benar jelek, seolah-olah warna itu
disiramkan dengan ember dan tangan. Atapnya dilapisi kawat berduri. Di
atas pintu tergantung kepala celeng liar yang diawetkan, dan matanya
seolah-olah mengikutiku. Di dalam terlihat sekelompok anak yang
bertampang jahat, baik lelaki maupun perempuan, bermain panco dan
bertengkar sementara musik rock membahana. Yang terlantang adalah
seorang gadis yang berusia mungkin tiga belas atau empat belas. Dia
mengenakan kaus PERKEMAHAN BLASTERAN ukuran XXXL di balik jaket loreng
tentara. Dia melihatku dan menyeringai jahat kepadaku. Dia
mengingatkanku pada Nancy Bobofit, meskipun gadis pekemah ini jauh lebih
besar dan lebih tangguh, dan rambutnya panjang dan tipis, dan warnanya
cokelat bukan merah.
Aku terus berjalan, berusaha menghindari kaki-kaki Chiron. "Centaurus lain belum kelihatan," komentarku.
"Tidak,"
kata Chiron sedih. "Kerabatku itu bangsa yang liar dan barbar,
sayangnya. Mereka biasanya berada di alam liar, atau di acara olahraga
besar. Tapi tak akan terlihat di sini."
"Bapak bilang, nama Bapak Chiron. Apakah Bapak benar-benar…"
Dia tersenyum kepadaku. "Chiron sungguhan dari cerita-cerita itu? Pelatih Hercules dan lain-lain? Ya, Percy, itu aku."
"Tapi, bukankah semestinya Bapak sudah mati?"
Chiron
berhenti sejenak, seolah-olah pertanyaan itu memikat perhatiannya. "Aku
benar-benar tak tahu soal semestinya. Sesungguhnya, aku tidak bisa
mati. Soalnya, berabad-abad yang lalu para dewa mengabulkan
permintaanku. Aku boleh melanjutkan pekerjaan yang kucintai. Aku boleh
menjadi guru para pahlawan sepanjang umat manusia membutuhkan. Aku telah
memperoleh banyak dari permintaan itu… dan telah mengorbankan banyak
hal Tapi aku masih di sini, jadi aku hanya bisa berasumsi bahwa aku
masih dibutuhkan."
Aku berpikir tentang menjadi guru selama tiga ribu tahun. Itu tak akan masuk menjadi Sepuluh Hal yang paling Kuinginkan.
"Apa Bapak nggak pernah bosan?"
"Tidak, tidak," katanya. "Sangat membuat depresi, kadang-kadang, tetapi tak pernah bosan." "Kenapa depresi?"
Chiron tampaknya menjadi budek lagi.
"Eh, lihat," katanya. "Annabeth menunggu kita."
Gadis pirang yang kutemui di Rumah Besar sedang membaca buku di depan pondok terakhir di sebelah kiri, nomor sebelas.
Ketika kami sampai di sana, dia memandangku penuh kritik, seolah-olah dia masih teringat seberapa banyak aku mengiler.
Aku
berusaha melihat apa yang sedang dibacanya, tetapi aku tak bisa membaca
judulnya. Tadinya kusangka disleksiaku kumat lagi. Lalu, kusadari bahwa
judulnya memang bukan berbahasa Inggris. Hurufnya kelihatannya huruf
Yunani. Benar-benar Yunani. Ada gambar berbagai kuil dan patung dan
tiang berbagai jenis, seperti yang ada dalam buku arsitektur.
"Annabeth," kata Chiron, "aku ada mata pelajaran panah ahli pada tengah hari. Kau bisa mengambil alih Percy?"
"Iya, Pak."
"Pondok sebelas," kata Chiron memberitahuku, menunjuk pintu. "Semoga betah."
Di
antara semuanya, pondok sebelas ini yang paling mirip dengan pondok
perkemahan musim panas yang biasa, dan tampak tua. Ambangnya sudah
lapuk, cat cokelatnya terkelupas. Di atas ada salah satu lambang dokter,
tongkat bersayap yang dililit dua ekor ular. Apa namanya ...? Caduceus.
Bagian
dalam pondok itu dipenuhi orang, baik perempuan maupun lelaki, jauh
lebih banyak daripada jumlah tempat tidur tingkat. Kantong tidur
tersebar di seluruh lantai. Suasananya mirip gimnasium yang dijadikan
pusat pengungsian oleh Palang Merah.
Chiron
tidak masuk. Pintu itu terlalu rendah baginya. Tapi, ketika para
pekemah melihatnya, mereka semua berdiri dan membungkuk hormat.
"Baiklah," kata Chiron. "Selamat berjuang, Percy. Sampai ketemu saat makan malam."
Dia berderap menuju arena panah.
Aku
berdiri di pintu, melihat anak-anak itu. Mereka sudah tidak membungkuk
lagi. Mereka menatapku, mengukur-ukur. Aku kenal rutinitas ini. Aku
sudah mengalaminya di cukup banyak sekolah.
"Jadi?" Annabeth mendesak. "Ayo masuk."
Tentu saja aku tersandung saat memasuki pintu dan nampak bodoh. Beberapa pekemah cekikikan, tetapi tak ada yang berkata apa-apa.
Annabeth mengumumkan, "Percy Jackson, kuperkenalkan pondok sebelas."
"Biasa atau belum ditentukan?" tanya seseorang.
Aku tak tahu harus menjawab apa, tetapi Annabeth berkata, "Belum ditentukan."
Semua orang mengerang.
Seorang
anak lelaki yang lebih tua dari yang lain melangkah maju. "Nah, nah,
pekemah. Itulah tujuan kita berada di sini. Selamat datang, Percy. Kau
boleh menempati lantai di sana."
Anak
itu berumur sekitar sembilan belas tahun, dan kayaknya anaknya cukup
asyik. Dia jangkung dan berotot, dengan rambut warna pasir yang dipotong
pendek dan senyum ramah. Dia mengenakan tank top Jingga, celana kuning,
sandal, dan kalung kulit berhias lima manik warna-warni dari tanah
liat. Satu-satunya hal yang membuat tidak nyaman soal penampilannya
adalah bekas luka putih dan tebal yang terentang dari tepat di bawah
mata kiri ke rahang, seperti luka lama dari sabetan pisau.
"Ini
Luke," kata Annabeth, dan entah bagaimana suaranya terdengar berbeda.
Aku melirik dan berani sumpah wajah gadis itu memerah. Dia melihatku
melihatnya, dan rautnya mengeras lagi. "Dia pembinamu sementara ini.”
"Sementara ini?" tanyaku.
"Kau
belum ditentukan," Luke menjelaskan dengan sabar. "Mereka tak tahu
harus menempatkanmu di pondok mana, jadi kau tinggal di sini dulu.
Pondok sebelas menerima semua pendatang baru, semua tamu. Tentu saja
kami mau menerima. Hermes, pelindung kami, adalah Dewa Pejalan."
Aku
melihat bagian lantai kecil yang diberikan kepadaku. Aku tak punya
apa-apa untuk diletakkan di sana untuk menandainya sebagai milikku, tak
ada koper, pakaian, kantong tidur. Hanya tanduk Minotaurus itu. Aku
mempertimbangkan meletakkan itu, tetapi lalu aku ingat bahwa Hermes juga
Dewa Pencuri.
Aku
mengedarkan pandangan, melihat wajah para pekemah. Sebagian bermuka
masam dan curiga, sebagian menyeringai tolol, sebagian memandangku
seolah-olah sedang menunggu kesempatan mencopetku.
"Berapa lama aku akan di sini?" tanyaku.
"Pertanyaan bagus," kata Luke. "Sampai kau ditentukan."
"Berapa lama sampai aku ditentukan?" Semua pekemah tertawa.
"Ayo," kata Annabeth kepadaku. "Biar kuperlihatkan lapangan voli."
"Aku sudah lihat."
"Ayo."
Dia menyambar pergelangan tanganku dan menyeretku keluar. Terdengar anak-anak pondok sebelas tertawa di belakangku.
(Oo-dwkz-oO)
Ketika kami sudah menjauh beberapa meter, Annabeth berkata, "Jackson, kau harus berusaha lebih keras daripada itu."
"Apa?"
Dia memutar mata dan menggerutu, "Aku nggak percaya aku pernah berpikir bahwa kau orangnya."
"Kau kenapa sih?" Aku mulai marah. "Aku cuma tahu, aku membunuh si manusia-banteng—"
"Jangan
bicara seperti itu!" kata Annabeth. "Apa kau tahu, berapa banyak anak
di perkemahan ini yang ingin mendapat kesempatan yang kau dapatkan?"
"Kesempatan dibunuh?"
"Kesempatan melawan Minotaurus! Memangnya menurutmu buat apa kami berlatih?"
Aku
menggeleng. "Dengar. Jika makhluk yang ku lawan benar-benar si
Minotaurus, makhluk yang sama dengan yang dalam cerita-cerita ……...."
"Ya."
"Berarti hanya ada satu."
"Ya."
"Dan dia sudah mati jutaan tahun yang lalu kan? dibunuh Theseus dalam labirin. Jadi… “
"Monster nggak bisa mati, Percy. Bisa dibunuh. Tapi nggak mati."
"Makasih banyak. Semuanya jadi jelas sekarang."
"Mereka
nggak punya jiwa, seperti kau dan aku. Mereka bisa dibuyarkan beberapa
lama, mungkin bahkan selama seluruh hidup kita kalau kita beruntung.
Tetapi mereka itu kekuatan purba. Chiron menyebutnya arketipe. Pada
akhirnya mereka akan terbentuk kembali."
Aku teringat Bu Dodds. "Maksudmu kalau aku membunuh satu, secara tak sengaja, dengan pedang—"
"Sang Eri ... maksudku, guru matematikamu. Benar. Dia masih ada. Kau hanya membuatnya sangat-sangat marah."
"Dari mana kau tahu soal Bu Dodds?"
"Kau mengigau."
"Tadi kau hampir menyebut namanya. Seorang Erinyes? Itu penyiksa bawahan Hades, ya?"
Annabeth melirik tanah dengan gugup, seolah-olah dia menduga tanah akan terbuka dan menelannya.
"Nama mereka nggak boleh disebut-sebut, tahu. Di sini sekalipun. Kita sebut mereka Makhluk Baik, jika memang harus dibicarakan."
"Repot.
Apakah ada yang bisa kita bicarakan tanpa menimbulkan guruh?" Aku
terdengar merengek, bahkan bagi diriku sendiri, tetapi saat itu aku tak
peduli. "Kenapa sih aku harus tinggal di pondok sebelas? Kenapa semua
orang berkumpul berjejal-jejal? Masih banyak tempat tidur kosong di
sana."
Aku
menunjuk beberapa pondok pertama, dan Annabeth memucat. "Kita nggak
bisa asal memilih pondok, Percy. Itu tergantung siapa kedua orangtuamu.
Atau ... salah satu orangtuamu."
Dia menatapku, menungguku mencernanya.
"Ibuku Sally Jackson," kataku. "Dia bekerja di toko permen di Grand Central Station. Setidaknya, dulu."
"Maaf soal ibumu, Percy. Tapi bukan itu maksudku. Aku bicara soal orangtuamu yang satu lagi. Ayahmu."
"Dia
sudah mati. Aku nggak pernah kenal dia." Annabeth menghela napas.
Tampak jelas bahwa dia sudah pernah mengalami percakapan ini dengan
anak-anak lain.
"Ayahmu belum mati, Percy."
"Bagaimana kau bisa bilang begitu? Memangnya kau kenal?"
"Nggak, jelas nggak."
"Jadi, bagaimana kau bisa bilang—"
"Karena aku kenal kau. Kau nggak mungkin berada di sini kalau kau bukan seperti kami."
"Kau tak tahu apa-apa tentangku."
"Oh
ya?" Dia mengangkat sebelah alis. "Pasti kau sering pindah-pindah
sekolah. Pasti kau dikeluarkan dari sebagian besar sekolah itu."
"Bagaimana—"
"Didiagnosis mengidap disleksia. Mungkin GPPH juga."
Aku berusaha menelan rasa maluku. "Tapi apa hubungannya itu dengan hal lain?"
"Jika
digabung, itu pertanda yang hampir pasti. Huruf seperti melayang-layang
pada halaman kalau kau membaca kan? Itu karena otakmu terprogram untuk
membaca huruf Yunani kuno. Dan GPPH—kau impulsif, nggak bisa diam di
kelas. Itu refleks medan perang. Dalam pertempuran sungguhan, refleks
itu membuatmu bertahan hidup. Dan soal sulit memerhatikan, itu karena
kau melihat terlalu banyak, Percy, bukan terlalu sedikit. Indramu lebih
baik daripada manusia biasa. Tentu saja para guru ingin kau diobati.
Sebagian besar gurumu itu monster. Mereka nggak ingin kau melihat wujud
mereka sesungguhnya."
"Kau sepertinya ... kau mengalami hal yang sama?"
"Sebagian
besar anak di sini begitu. Kalau kau nggak seperti kami, kau nggak
mungkin berhasil bertahan hidup melawan Minotaurus, apalagi ambrosia dan
nektar."
"Ambrosia dan nektar."
"Makanan
dan minuman yang kami berikan supaya kau sembuh. Makanan itu bisa
membunuh anak biasa. Mengubah darahmu menjadi api dan tulangmu menjadi
pasir dan kau pasti mati. Hadapilah. Kau anak blasteran."
Blasteran. Aku dikitari begitu banyak pertanyaan, aku tak tahu harus mulai dari mana. Lalu sebuah suara serak berseru.
"Wah! Anak baru!"
Aku
menoleh. Si gadis besar dari pondok merah jelek sedang melenggang ke
arah kami. Ada tiga gadis lain di belakangnya, semuanya besar dan jelek
dan jahat seperti dia, semuanya mengenakan jaket loreng.
"Clarisse," Annabeth menghela napas. "Asah saja tombakmu sana!"
"Tentu, Nona Tuan Putri," kata si gadis besar. "Supaya aku bisa menusukmu dengan tombak itu malam Sabtu."
"Erre
es kor akasi" kata Annabeth, yang entah bagaimana kupahami sebagai
bahasa Yunani untuk 'Pergi ke burung gagak sana!' meskipun aku punya
firasat bahwa ucapan itu adalah umpatan yang lebih kasar daripada yang
terdengar. "Kau nggak mungkin bisa."
"Kami
akan mengganyangmu," kata Clarisse, tetapi matanya berkedut. Mungkin
dia nggak yakin bisa melaksanakan ancamannya. Dia menoleh kepadaku.
"Siapa cebol kecil ini?"
"Percy Jackson," kata Annabeth, "perkenalkan Clarisse, Putri Ares."
Aku berkedip. "Maksudmu ... Dewa Perang itu?"
Clarisse mencibir. "Kau punya masalah dengan itu?"
"Nggak," kataku sambil memulihkan otakku. "Itu menjelaskan bau busuk yang kucium."
Clarisse menggeram. "Ada upacara inisiasi untuk anak baru, Prissy."
"Percy."
"Terserah. Ayo, kutunjukkan."
"Clarisse—" Annabeth berusaha berkata. "Jangan ikut campur, Sok Pintar."
Annabeth
tampak tersinggung, tetapi dia tidak ikut campur, dan aku nggak terlalu
ingin dibantu olehnya. Aku anak baru. Aku harus meraih reputasiku
sendiri.
Aku
menyerahkan tanduk minotaurku kepada Annabeth dan bersiap-siap
berkelahi, tetapi tahu-tahu saja Clarisse sudah mencengkeram leherku dan
menyeretku ke gedung balok semen yang langsung kutahu adalah kamar
mandi.
Aku
menendang-nendang dan meninju-ninju. Aku sudah sering berkelahi, tetapi
Clarisse si gadis bongsor ini punya tangan seperti besi. Dia menyeretku
ke kamar mandi anak perempuan. Ada jajaran toilet di satu sisi dan
jajaran bilik pancuran di sisi lain. Baunya seperti kamar mandi umum
mana pun, dan aku berpikir—sebatas yang bisa kupikir dengan Clarisse
menjenggut rambutku— bahwa jika tempat ini milik para dewa, semestinya
mereka mampu membiayai toilet yang lebih berkelas.
Teman-teman
Clarisse semua tertawa, dan aku berusaha menemukan kekuatan yang
kugunakan untuk melawan Minotaurus, tetapi kekuatan itu tidak ada.
"Tingkahnya
seolah-olah dia anak 'Tiga Besar' saja," kata Clarisse sambil
mendorongku ke salah satu toilet. "Mana mungkin. Minotaurus itu
barangkali mati ketawa, melihat tampangnya yang begitu tolol."
Teman-temannya tertawa licik.
Annabeth berdiri di sudut, menonton melalui sela-sela jari.
Clarisse
membuatku berlutut dan membungkukkan tubuhku dan mulai mendorong
kepalaku ke mangkuk toilet. Baunya seperti pipa berkarat dan, yah,
seperti benda yang masuk ke toilet. Aku berusaha mengangkat kepala. Aku
menatap air kotor itu, berpikir, aku tak akan masuk ke situ. Tak akan.
Lalu,
sesuatu terjadi. Terasa sentakan di perutku. Kudengar perpipaan
menggemuruh, pipa-pipa gemetar. Cengkeraman Clarisse pada rambutku
melonggar. Air muncrat dari toilet, melengkung melewati kepalaku, dan
tahu-tahu saja aku terkapar di ubin kamar mandi sementara Clarisse
berteriak-teriak di belakangku.
Aku
menoleh persis ketika air muncrat dari toilet lagi, telak mengenai
wajah Clarisse, begitu keras sehingga dia terjengkang. Air itu terus
menyemburnya seperti semprotan slang pemadam kebakaran, mendorongnya
mundur ke dalam bilik pancuran.
Dia
meronta-ronta, megap-megap, dan teman-temannya mulai menghampirinya.
Tetapi lalu toilet lain meledak juga, dan enam arus air toilet lagi
mendorong mereka mundur. Pancuran juga bertingkah, dan bersama-sama
semua perlengkapan menyemprot gadis-gadis jaket loreng itu keluar kamar
mandi, memutar-mutar mereka seperti sampah yang digelontor.
Begitu mereka keluar pintu, kurasakan sentakan di perutku mereda, dan air itu mati secepat dimulainya.
Seluruh
kamar mandi banjir. Annabeth tidak terkecuali. Dia basah kuyup, tetapi
tidak terdorong keluar pintu. Dia berdiri di tempat yang persis sama,
menatapku terlongong-longong.
Aku
melihat ke bawah dan menyadari bahwa aku duduk di satu-satunya tempat
kering di seluruh kamar. Ada lingkaran lantai kering di sekelilingku.
Pakaianku tidak terkena setetes air pun. Setetes pun tidak.
Aku berdiri, kakiku gemetar.
Kata Annabeth, "Bagaimana kau ..."
"Nggak tahu."
Kami berjalan ke pintu.
Di
luar, Clarisse dan teman-temannya terkapar di lumpur, dan sekumpulan
pekemah lain telah berkerumun untuk melihat sambil terbelalak. Rambut
Clarisse menempel pada wajahnya. Jaket lorengnya basah kuyup dan dia bau
seperti selokan. Dia melemparkan pandangan kebencian mutlak kepadaku.
"Kau akan mati, Anak Baru. Kau benar-benar cari mati."
Mungkin semestinya kubiarkan saja itu, tetapi aku berkata, "Mau kumur-kumur pakai air toilet lagi, Clarisse? Tutup mulut."
Teman-temannya
harus menahannya. Mereka menyeretnya ke pondok lima, sementara pekemah
lain menyingkir untuk menghindari kakinya yang berayun-ayun.
Annabeth menatapku. Aku tak bisa membedakan apakah dia merasa jijik atau marah padaku karena membuatnya basah.
"Apa?" tanyaku. "Apa yang kau pikirkan?"
"Aku pikir," katanya, "aku ingin kau ikut reguku untuk permainan tangkap bendera."
7. Makan Malamku Terbakar
Kabar
tentang peristiwa kamar mandi segera tersebar. Ke mana pun aku pergi,
pekemah menunjuk-nunjukku dan menggumamkan sesuatu tentang air toilet.
Atau mungkin mereka cuma menatap Annabeth, yang masih basah
menetes-netes.
Dia
menunjukkan beberapa tempat lagi kepadaku: bengkel logam (tempat
anak-anak menempa pedang sendiri), ruangan seni dan kerajinan (tempat
satir melakukan semburan pasir pada sebuah patung marmer berbentuk
manusia-kambing), dan tembok panjat, yang sebenarnya terdiri atas dua
tembok berhadapan yang berguncang keras, menjatuhkan bebatuan besar,
menyemprotkan lava, dan bertabrakan jika kau tidak cukup cepat mencapai
puncak.
Akhirnya kami kembali ke danau kano. Di sana, jalan setapak kembali menuju pondok-pondok.
"Aku
ada pelatihan," kata Annabeth datar. "Makan malamnya pukul setengah
delapan. Ikuti saja teman-teman pondokmu ke paviliun makan."
"Annabeth, maaf soal toilet itu."
"Terserah."
"Bukan salahku kok."
Dia
memandangku skeptis, dan aku menyadari bahwa itu memang salahku. Aku
yang membuat air menyemprot dari toilet dan pancuran dan keran kamar
mandi. Aku tak mengerti bagaimana bisa begitu. Tetapi, toilet itu
menanggapi keinginanku. Aku telah menyatu dengan perpipaan.
"Kau perlu bicara dengan Oracle," kata Annabeth.
"Siapa?"
"Bukan siapa. Apa. Sang Oracle. Nanti kutanya Chiron."
Aku menatap danau, berharap ada yang mau memberiku jawaban yang jelas, sekali saja.
Aku
tak menyangka akan ada orang yang balas menatapku dari dasar danau,
jadi jantungku tersentak ketika kulihat dua gadis remaja duduk bersila
di dasar dermaga, sekitar enam meter di bawah air. Mereka mengenakan
jins biru dan kaus hijau gemerlap. Rambut Cokelat mereka melayang-layang
bebas di sekitar bahu sementara ikan minnow melesat masuk-keluar.
Mereka tersenyum dan melambaikan tangan seolah-olah aku teman lama yang
hilang.
Aku tak tahu apa lagi yang bisa kulakukan. Aku balas melambai.
"Mereka jangan diberi hati," Annabeth memperingatkan. "Bangsa naiad senang menggoda."
"Naiad," ulangku, merasa sangat capek. "Sudah cukup. Aku mau pulang sekarang."
Annabeth
mengerutkan kening. "Kau belum mengerti juga, Percy? Kau sudah pulang.
Ini satu-satunya tempat yang aman di bumi ini untuk anak-anak seperti
kita."
"Maksudmu, anak-anak yang sakit jiwa?"
"Maksudku, bukan manusia. Setidaknya, bukan manusia sepenuhnya. Setengah manusia."
"Setengah manusia dan setengah apa?"
"Kurasa kau tahu."
Aku
tak ingin mengakuinya, tapi sepertinya aku memang tahu. Kaki dan
tanganku terasa kesemutan, sensasi yang kadang terasa saat ibuku
berbicara tentang ayahku.
"Dewa," kataku. "Setengah-dewa."
Annabeth mengangguk. "Ayahmu belum mati, Percy. Dia salah seorang bangsa Olympia."
"Itu ... gila."
"Apa
iya? Apa perbuatan yang paling umum dilakukan dewa-dewi di
cerita-cerita lama? Mereka sering jatuh cinta dan punya anak dengan
manusia. Memangnya kau pikir kebiasaan mereka berubah dalam beberapa
ribu tahun terakhir?"
"Tapi
itu kan cuma—" Aku hampir bilang mitos lagi. Lalu aku ingat peringatan
Chiron bahwa dua ribu tahun lagi, aku bisa saja dianggap mitos. "Tapi
kalau semua anak di sini setengah dewa—"
"Demigod," kata Annabeth. "Itu istilah resminya. Atau blasteran."
"Lalu, ayahmu siapa?"
Tangannya semakin erat mencengkeram langkan dermaga. Aku merasa pertanyaanku melanggar topik yang sensitif.
"Ayahku
dosen di West Point," katanya. "Aku nggak pernah ketemu lagi dengannya
sejak aku masih sangat kecil. Dia mengajar sejarah Amerika."
"Dia manusia?"
"Kenapa? Kau berasumsi bahwa cuma dewa lelaki yang merasa perempuan manusia itu menarik? Seksis sekali."
"Jadi, siapa ibumu?"
"Pondok enam."
"Maksudmu?"
Annabeth menegakkan tubuh. "Athena. Dewi Kebijakan dan Perang."
Oke, pikirku. Kenapa tidak? "Dan ayahku?"
"Belum ditentukan," kata Annabeth, "seperti yang sudah kubilang. Nggak ada yang tahu."
"Kecuali ibuku. Dia tahu."
"Mungkin juga nggak, Percy. Dewa nggak selalu mengungkapkan identitasnya."
"Ayahku
pasti memberi tahu. Dia mencintai ibuku." Annabeth melemparkan tatapan
hati-hati kepadaku. Dia tak ingin membuyarkan harapanku.
"Mungkin
kau benar. Mungkin dia akan mengirim pertanda. Itu satu-satunya cara
untuk tahu pasti: ayahmu harus mengirimmu pertanda yang mengakuimu
sebagai anaknya. Kadang itu terjadi."
"Maksudmu, kadang itu nggak terjadi?"
Annabeth
menelusurkan tangannya di sepanjang langkan. "Para dewa itu sibuk.
Mereka punya banyak anak dan nggak selalu .... Yah, kadang-kadang mereka
nggak peduli sama kita, Percy. Mereka nggak menghiraukan kita."
Aku
teringat beberapa anak yang kulihat di pondok Hermes, para remaja yang
tampak masam dan depresi, seolah-olah menunggu telepon yang tak akan
pernah datang. Aku kenal anak-anak seperti itu di Akademi Yancy, yang
dikirim ke sekolah asrama oleh orangtua kaya yang tak punya waktu untuk
mengurus mereka. Tapi para dewa semestinya berperilaku lebih baik.
"Jadi, aku terperangkap di sini," kataku. "Begitu saja? Seumur hidupku?"
"Tergantung,"
kata Annabeth. "Sebagian pekemah hanya tinggal pada musim panas. Kalau
kau anak Aphrodite atau Demeter, kekuatanmu mungkin nggak terlalu besar.
Monster mungkin tak menghiraukanmu, jadi kau cukup mendapat pelatihan
musim panas selama beberapa bulan dan hidup di dunia manusia selama
bulan-bulan lainnya. Tapi untuk sebagian anak, keluar perkemahan terlalu
berbahaya. Kita pekemah tahunan. Di dunia manusia, kita menarik
perhatian monster. Mereka merasakan kehadiran kita. Mereka datang untuk
menantang kita. Biasanya sih kita diabaikan sampai kita cukup besar dan
menimbulkan masalah—sekitar umur sepuluh atau sebelas tahun, tetapi
setelah itu, sebagian besar demigod sampai ke sini, atau terbunuh.
Beberapa berhasil bertahan hidup di dunia luar dan menjadi terkenal.
Yakinlah, kalau kusebutkan nama-namanya, kau pasti kenal. Sebagian
bahkan nggak menyadari mereka itu demigod. Tapi sedikit sekali yang
seperti itu."
"Jadi, monster nggak bisa masuk ke sini?"
Annabeth
menggeleng. "Kecuali kalau monster itu memang sengaja dipasok di hutan
atau khusus dipanggil oleh seseorang di dalam sini."
"Buat apa orang mau memanggil monster?"
"Berlatih bertempur. Mempermainkan orang."
"Mempermainkan?"
"Intinya,
perbatasan disegel agar manusia dan monster tetap di luar. Dari luar,
manusia yang melihat ke lembah nggak akan melihat hal yang aneh, hanya
perkebunan stroberi."
"Jadi ... kau pekemah tahunan?"
Annabeth
mengangguk. Dari balik kerah kausnya, dia menarik seuntai kalung kulit
yang berhias lima manik-manik tanah liat berwarna-warni. Kalung itu
mirip kepunyaan Luke, tetapi milik Annabeth juga dihiasi sebentuk cincin
emas besar, seperti cincin universitas.
"Aku
sudah di sini sejak umur tujuh tahun," katanya. "Setiap Agustus, pada
hari terakhir sesi musim panas, pekemah mendapat sebutir manik-manik
sebagai pertanda keberhasilan bertahan hidup setahun lagi. Aku sudah di
sini lebih lama daripada sebagian besar konselor, dan mereka semua sudah
kuliah."
"Kenapa muda sekali kau datang ke sini?" Dia memutar-mutar cincin di kalungnya. "Bukan urusanmu."
"Oh." Aku berdiri diam dan rikuh selama semenit. "Jadi ... aku bisa saja melenggang keluar dari sini sekarang kalau mau?"
"Itu
sama saja bunuh diri, tapi bisa saja, dengan izin Pak D atau Chiron.
Tapi mereka nggak akan memberi izin sampai akhir sesi musim panas
kecuali
"Kecuali?"
"Kau
diberi misi. Tapi itu jarang terjadi. Kali terakhir ..." Suaranya
menghilang. Dari nadanya Aku bisa menebak, bahwa yang terakhir kali ini
tidak berjalan lancar.
"Sewaktu di kamar sakit," kataku, "waktu kau memberiku makan itu—"
"Ambrosia."
"Ya. Kau menanyakan sesuatu tentang titik balik matahari musim panas."
Bahu Annabeth menegang.
"Jadi kau memang tahu sesuatu?"
"Nggak
juga sih. Di sekolahku yang lama aku pernah mendengar Grover dan Chiron
membicarakannya. Grover menyinggung titik balik matahari musim panas.
Dia berkata seperti kita nggak punya banyak waktu, karena tenggat itu.
Apa maksudnya?"
Annabeth
mengepalkan tangan. "Andai aku tahu. Chiron dan para satir, mereka
tahu, tapi nggak mau memberitahuku. Ada masalah di Olympus, sesuatu yang
cukup besar. Terakhir kali aku ke sana, segalanya tampak begitu
normal."
"Kau pernah ke Olympus?"
"Beberapa
anak pekemah tahunan—Luke dan Clarisse, dan aku, dan beberapa anak
lain—kami berkaryawisata ke sana pada titik balik matahari musim dingin.
Para dewa mengadakan musyawarah besar setiap tahun pada waktu itu.
"Tapi ... bagaimana caranya kau ke sana?"
"Ya
naik Kereta Api Long Island, dong. Turun di Stasiun Penn. Empire State
Building, lift khusus ke lantai keenam ratus." Dia menatapku seolah-olah
dia yakin aku pasti sudah tahu ini. "Kau betulan orang New York, kan?"
"Iya,
sih." Sejauh yang aku tahu, hanya ada seratus dua lantai di Empire
State Building, tetapi aku memutuskan tidak mengingatkan dia soal itu.
"Persis
setelah kami berkunjung," Annabeth melanjutkan, "cuaca menjadi aneh,
seolah-olah para dewa mulai berkelahi. Sejak itu, aku beberapa kali tak
sengaja mendengar para satir berbicara. Yang bisa kusimpulkan adalah ada
sesuatu yang penting yang dicuri. Dan kalau sesuatu itu tidak kembali
sebelum titik balik matahari musim panas, akan ada masalah. Waktu kau
datang, aku sempat berharap ... maksudku—Athena bisa rukun dengan siapa
saja, kecuali Ares. Memang sih, dia juga bersaing dengan Poseidon. Tapi,
maksudku, meskipun begitu, aku menyangka kita bisa bekerja sama.
Kusangka kau tahu sesuatu."
Aku
menggeleng. Aku ingin sekali bisa membantu dia, tapi aku merasa terlalu
lapar dan capek dan kewalahan Secara mental untuk bertanya lagi.
"Aku
harus mendapatkan misi," gumam Annabeth kepada diri sendiri. "Aku nggak
terlalu muda kok. Kalau saja mereka mau kasih tahu apa masalahnya.”
Tercium
aroma asap daging panggang yang berasal tak jauh dari situ. Annabeth
rupanya mendengar perutku keruyukan. Dia menyuruhku ke paviliun makan,
nanti dia menyusul. Kutinggalkan dia di dermaga, masih mengusap selusur
pagar dengan jarinya seolah-olah sedang menggambar rencana perang.
Saat
tiba di pondok sebelas, semua orang sedang mengobrol dan bergurau,
menunggu makan malam. Untuk pertama kalinya kusadari bahwa sebagian
besar pekemah itu memiliki bentuk wajah yang serupa: hidung tajam, alis
melengkung ke atas, senyum jail. Mereka jenis anak-anak yang dipandang
guru sebagai pembuat onar. Untungnya, tak ada yang terlalu memerhatikan
aku saat aku berjalan ke tempatku di lantai dan mengempaskan diri
bersama tanduk minotaurusku.
Si
konselor, Luke, menghampiri. Dia juga memiliki kemiripan keluarga
Hermes. Wajahnya dirusak oleh bekas luka pada pipi kanannya, tetapi
senyumnya tetap utuh.
"Ketemu kantong tidur nih buatmu," katanya. "Dan ini, kucurikan alat mandi dari toko perkemahan."
Aku tidak tahu apakah dia bercanda tentang mencuri. Kataku, "Trims."
"Sama-sama." Luke duduk di sampingku, bersandar pada dinding. "Hari pertama yang berat?"
"Aku nggak semestinya berada di sini," kataku. "Aku bahkan nggak percaya ada dewa."
"Ya," katanya. "Kita semua juga mula-mula begitu. Dan setelah mulai percaya? Sama sekali nggak tambah mudah."
Kegetiran
dalam suaranya membuatku heran, karena Luke tampaknya orang yang cukup
santai. Dia kelihatan seolah mampu mengatasi apa saja.
"Jadi, ayahmu Hermes?" tanyaku.
Dia
mengeluarkan pisau lipat dari saku belakang, dan sesaat kusangka dia
mau menikamku, tetapi dia hanya mengerik lumpur dari sol sandalnya.
"Iya. Hermes."
"Si utusan yang kakinya bersayap."
"Itu
dia. Utusan. Pengobatan. Pengembara, pedagang, pencuri. Siapa pun yang
menggunakan jalan. Itulah sebabnya kau di sini, menikmati keramahan
pondok sebelas. Hermes tidak pilih-pilih soal tamunya."
Aku menyimpulkan bahwa Luke tidak bermaksud menyebutku sebagai bukan siapa-siapa. Dia cuma lagi banyak pikiran.
"Kau pernah bertemu ayahmu?" tanyaku.
"Sekali."
Aku
menunggu, karena pikirku, kalau dia ingin bercerita kepadaku, dia akan
bercerita. Rupanya dia tidak Ingin. Aku bertanya-tanya apakah kisahnya
berkaitan dengan peristiwa yang menyebabkan dia bercodet.
Luke
mengangkat kepala dan memaksakan diri tersenyum. "Jangan khawatir,
Percy. Para pekemah di sini kebanyakan orang baik-baik. Toh kita semua
keluarga besar kan? Kita saling mengurus."
Dia
tampaknya mengerti betapa kalut diriku, dan aku berterima kasih atas
pengertiannya, karena anak yang lebih besar seperti dia—sekalipun dia
konselor—biasanya menghindari anak ABG sepertiku. Tapi Luke menyambutku
ke pondok. Dia bahkan mencuri alat mandi untukku, hal paling baik hati
yang dilakukan orang untukku sehari ini.
Aku
memutuskan untuk mengajukan pertanyaan besarku yang terakhir, yang
mengusik benakku sepanjang sore. "Clarisse, dari Ares, bercanda denganku
tentang 'Tiga Besar'. Lalu Annabeth ... dua kali, dia bilang aku
mungkin 'orangnya'. Katanya aku sebaiknya bicara kepada sang Oracle. Apa
maksudnya sih?"
Luke melipat pisaunya. "Aku benci ramalan."
"Apa maksudmu?"
Wajahnya
berkerut di sekeliling codet. "Ringkasnya, aku pernah gagal dan
merugikan semua orang. Dua tahun terakhir ini, sejak kegagalan
perjalananku ke Taman Kaum Hesperides, Chiron belum pernah memberi misi
lagi. Annabeth sudah gatal ingin keluar ke dunia. Dia mengerecoki Chiron
terus, sampai Chiron akhirnya memberi tahu bahwa dia sudah tahu nasib
Annabeth. Dia pernah mendapat ramalan dari sang Oracle. Dia nggak mau
menceritakan seluruh ramalan itu kepada Annabeth, tapi katanya Annabeth
belum ditakdirkan untuk menerima misi. Annabeth harus menunggu sampai
... seseorang yang istimewa datang ke perkemahan."
"Seseorang yang istimewa?"
"Jangan
khawatir soal itu, Dik," kata Luke. "Annabeth ingin menganggap setiap
pekemah baru yang masuk ke sini adalah pertanda yang dia tunggu-tunggu
itu. Nah, ayo, sudah waktunya makan malam."
Begitu
dia mengatakannya, sebuah trompet ditiup di kejauhan. Entah bagaimana,
aku tahu trompet itu berbentuk kerang laut, meskipun aku belum pernah
mendengar suaranya.
Luke berseru, "Sebelas, berbaris!"
Seluruh
penghuni pondok, sekitar dua puluh orang, berbaris ke halaman umum.
Kami berbaris dengan urutan senioritas, jadi tentu saja aku yang paling
bontot. Pekemah juga keluar dari pondok-pondok lain, kecuali tiga pondok
kosong di ujung, dan pondok delapan, yang tadi tampak normal pada siang
hari, tetapi sekarang mulai bersinar keperakan sementara matahari
terbenam. Kami berbaris menaiki bukit ke paviliun makan. Para satir
bergabung dengan kami dari padang rumput. Para naiad keluar dari danau
kano. Beberapa anak perempuan lain keluar dari pepohonan hutan—dan saat
aku bilang keluar dari pepohonan, maksudku betulan dari pohon. Aku lihat
satu anak, sekitar sembilan atau sepuluh tahun, meleleh dari sisi
sebatang pohon mapel, dan berjingkik-jingkik menaiki bukit.
Secara keseluruhan, mungkin ada sekitar seratus pekemah, puluhan satir, serta selusin peri pohon dan naiad.
Di
paviliun, obor berkobar di sekitar tiang-tiang marmer. Api menyala di
tengah-tengah, di sebuah anglo perunggu sebesar bak mandi. Setiap pondok
punya meja sendiri-sendiri, dengan taplak putih bertepi lembayung.
Empat meja kosong, sementara pondok sebelas berjejalan anak-anak. Aku
harus bersempit-sempit di ujung bangku, setengah pantatku tergantung.
Kulihat
Grover duduk di meja dua belas bersama Pak D, beberapa orang satir, dan
sepasang anak lelaki gembrot berambut pirang, yang wajahnya persis Pak
D. Sementara itu, Chiron berdiri si satu sisi, karena meja piknik itu
terlalu kecil bagi seorang centaurus.
Annabeth
duduk di meja enam dengan sekelompok anak atletis yang tampak serius,
semuanya bermata abu-abu dan berambut pirang seperti madu, sama seperti
dia.
Clarisse
duduk di belakangku di meja Ares. Dia rupanya sudah pulih dari
peristiwa disemprot itu, karena dia tertawa dan bersendawa bersama
teman-temannya.
Akhirnya,
Chiron mengetukkan kaki pada lantai marmer paviliun itu, dan semua
orang pun diam. Dia mengangkat gelas. "Demi para dewa!"
Semua orang mengangkat gelas mereka. "Demi para dewa!"
Para
peri pohon maju membawakan piring-piring makanan: buah anggur, apel,
stroberi, keju, roti hangat, dan asyik, ada daging panggang! Gelasku
kosong, tetapi Luke berkata, "'Bicara saja pada gelasmu. Apa pun yang
kau mau—tanpa alkohol, tentu saja."
Kataku, "Coke rasa ceri."
Gelas
itu terisi dengan cairan bersoda warna karamel. Lalu aku dapat ide,
"Coke rasa ceri warna biru." Minuman itu berubah menjadi warna kobalt.
Aku mencicipi dengan hati-hati. Sempurna.
Aku
menyulangi ibuku. Dia belum tiada, kataku pada diri sendiri.
Setidaknya, tidak secara permanen. Dia berada di Dunia Bawah Tanah. Dan
kalau itu tempat sungguhan, berarti suatu hari nanti....
"Ini, Percy," kata Luke, menyodorkan sepiring daging sandung lamur asap kepadaku.
Aku
mengisi piringku dan baru saja mau menggigit banyak-banyak ketika
kuperhatikan bahwa semua orang berdiri, membawa piring masing-masing ke
api di tengah-tengah paviliun. Aku bertanya-tanya apakah mereka mau
mengambil pencuci mulut atau apa.
"Ayo," kata Luke kepadaku.
Sementara
aku mendekat, kulihat semua orang mengambil sebagian makanan
masing-masing dan menjatuhkannya ke dalam api, stroberi yang paling
ranum, irisan daging yang paling berair, roti yang paling hangat dan
bermentega paling banyak.
Luke berbisik di telingaku, "Sesajen bakar untuk para dewa. Mereka suka baunya."
"Kau bercanda, ya."
Tatapannya
memperingatkanku agar tidak memandang enteng masalah ini, tetapi aku
mau tak mau bertanya-tanya mengapa sosok abadi yang berkuasa menyukai
bau makanan gosong.
Luke menghampiri api, menundukkan kepala, dan melemparkan segerombol anggur merah yang besar-besar. "Hermes."
Aku berikutnya.
Andai aku tahu nama dewa mana yang harus kuucapkan.
Akhirnya aku memanjatkan permohonan dalam hati. Siapa pun dirimu, beri tahu aku. Kumohon.
Aku memasukkan seiris besar daging sandung lamur ke dalam api.
Ketika bau asapnya tercium, aku tidak muntah.
Baunya
sama sekali tidak mirip makanan gosong. Baunya seperti minuman cokelat
panas dan brownie yang baru dibakar, dan hamburger yang sedang
dipanggang dan bunga liar, dan seratus hal menyenangkan lain yang
semestinya tidak serasi jika dicampuradukkan, tetapi serasi juga. Aku
hampir bisa percaya bahwa para dewa bisa hidup dengan makan asap itu.
Ketika
semua sudah kembali ke tempat duduk masing-masing dan selesai makan,
Chiron mengetukkan kaki lagi untuk mendapatkan perhatian kami.
Pak
D bangkit sambil menghela napas panjang. "Aku harus mengucap salam
kepada kalian para anak manja ya? Yah. Salam. Pengarah kegiatan kita,
Chiron, berkata bahwa permainan tangkap bendera berikutnya diadakan pada
hari Jumat. Mahkota daun dafnah saat ini dipegang pondok lima."
Terdengar sorak-sorai sumbang dari meja Ares.
"Secara
pribadi," Pak D melanjutkan, "aku tidak peduli, tetapi selamat. Selain
itu, aku juga harus mengumumkan bahwa ada tambahan pekemah baru hari
ini. Peter Johnson." Chiron membisikkan sesuatu. "Eh, Percy Jackson,"
Pak D membetulkan. "Betul. Hore, dan seterusnya. Sekarang pergilah ke
api unggun kalian yang konyol itu. Ayo."
Semua
orang bersorak. Kami semua turun menuju amfiteater. Pondok Apollo
memimpin acara bernyanyi bersama. Kami menyanyikan lagu-lagu perkemahan
tentang para dewa dan bercanda sambil makan s'more, biskuit berisi
cokelat dan marshmallow. Anehnya, aku tak merasa bahwa aku ditatap semua
orang. Aku merasa betah.
Ketika
malam sudah larut, ketika bunga api unggun berputar-putar naik ke
langit berbintang, trompet kerang itu ditiup lagi, dan kami semua
berbaris pulang ke pondok masing-masing. Aku baru menyadari betapa
lelahnya aku saat terhempas di kantong tidur pinjamanku.
Jemariku
menggenggam tanduk Minotaurus. Aku memikirkan ibuku, tetapi pikiranku
hanya yang baik-baik: senyumnya, kisah-kisah pengantar tidur yang
dibacakannya sewaktu aku masih kecil, cara dia mengucapkan selamat
tidur.
Ketika memejamkan mata, aku langsung tertidur.
Itulah hari pertamaku di Perkemahan Blasteran.
Andai saja waktu itu aku tahu betapa singkatnya waktu yang kumiliki untuk menikmati rumah baruku.
8. Kami penangkap Bendera
Beberapa
hari berikutnya, aku mulai terbiasa dengan rutinitas yang hampir terasa
normal, kalau tidak memperhitungkan kenyataan bahwa aku mendapat
pelajaran dari satir, peri, dan centaurus.
Setiap
pagi aku belajar bahasa Yunani Kuno dari Annabeth, dan kami
membicarakan dewa-dewi seolah mereka masih hidup, jadi rasanya aneh. Aku
mendapati bahwa Annabeth benar soal penyakit disleksia yang kumiliki :
bahasa Yunani Kuno tidak terlalu sulit kubaca. Setidaknya, tidak lebih
susah daripada bahasa Inggris. Setelah dua pagi, aku bisa tertatih-tatih
membaca beberapa baris karya Homer tanpa terlalu sakit kepala.
Setelah
itu aku mengerjakan berbagai kegiatan di luar ruangan, mencari sesuatu
yang bisa kukuasai dengan baik. Chiron berusaha mengajariku memanah,
tetapi kami segera menemukan bahwa aku tidak terlalu mahir menangani
busur dan panah. Dia tidak mengeluh, bahkan ketika dia harus mencabut
panah nyasar dari ekornya.
Olahraga
lari? Sama jeleknya. Para pengajar peri-hutan meninggalkanku jauh
sekali. Mereka mengatakan aku tak usah mencemaskan soal itu. Mereka
sudah berabad-abad berlatih melarikan diri dari para dewa yang kasmaran.
Tapi tetap saja, rasanya agak memalukan, berlari lebih lambat daripada
pohon.
Dan
bergulat? Lupakan saja. Setiap kali aku masuk ke matras, Clarisse
membantaiku. "Itu belum seberapa, Anak Ingusan," bisiknya di telingaku.
Satu-satunya
hal yang aku benar-benar mahir adalah berkano, dan itu bukan jenis
keahlian kepahlawanan yang diharapkan orang dari si anak yang
mengalahkan Minotaurus.
Aku
tahu para pekemah senior dan konselor mengamatiku, berusaha menentukan
siapa ayahku, tetapi itu tidak mudah. Aku tidak sekuat anak-anak Ares,
ataupun memanah semahir anak-anak Apollo. Aku tidak terampil dalam
kerajinan logam seperti Hephaestus atau—amit-amit—kepiawaian Dionysus
dengan tanaman anggur. Luke memberitahuku bahwa aku mungkin anak Hermes,
semacam orang yang bisa segala macam, tetapi tidak ahli dalam satu pun.
Tapi aku mendapat perasaan bahwa dia hanya berusaha menghiburku. Dia
juga tak tahu harus menyimpulkan apa soal aku.
Meskipun
demikian, aku suka perkemahan. Aku terbiasa dengan kabut pagi di atas
pantai, semerbak ladang stroberi panas pada sore hari, bahkan suara aneh
monster-monster di hutan pada malam hari. Aku makan malam bersama
pondok sebelas, mencomot sebagian makananku ke dalam api, dan berusaha
merasakan sedikit pertalian dengan ayah sejatiku. Tapi tak terjadi
apa-apa. Hanya perasaan hangat yang sejak dulu kumiliki, seperti
kenangan senyumnya. Aku berusaha tak terlalu memikirkan ibuku, tetapi
aku terus bertanya-tanya: jika dewa dan monster itu nyata, jika semua
keajaiban ini mungkin, tentunya ada suatu cara untuk menyelamatkannya,
membawanya kembali ....
Aku
mulai memahami kegetiran Luke dan betapa dia tampaknya membenci
ayahnya, Hermes. Memang sih, mungkin para dewa punya pekerjaan lain yang
lebih penting. Tapi, apa mereka nggak bisa menelepon sekali-sekali,
atau membunyikan guntur, atau apa, kek? Dionysus bisa membuat Diet Coke
muncul begitu saja. Kenapa ayahku, siapa pun dia, nggak bisa membuat
telepon muncul?
Pada
Kamis sore, tiga hari setelah aku tiba di Perkemahan Blasteran, aku
kali pertama mendapat pelajaran pertarungan pedang. Semua orang dari
pondok sebelas berkumpul di arena bundar besar. Luke yang mengajar kami.
Kami
memulai dengan gerakan dasar menusuk dan membacok, menggunakan beberapa
boneka isi jerami yang dipasangi baju zirah Yunani. Rasanya aku
lumayan. Setidaknya, aku mengerti apa yang harus kulakukan dan refleksku
bagus.
Masalahnya,
aku tak bisa menemukan pedang yang terasa pas di tangan. Yang ada
terasa terlalu berat, atau terlalu ringan, atau terlalu panjang. Luke
berusaha sebaik-baiknya untuk mencocokkanku dengan pedang, tetapi dia
sepakat bahwa tak satu pun pedang latihan itu tampaknya cocok untukku.
Kami beralih ke duel berpasangan. Luke menyatakan bahwa dia akan menjadi lawanku, karena ini pelajaranku yang pertama.
"Semoga sukses," kata salah seorang pekemah kepadaku. "Luke adalah pemain pedang terbaik dalam tiga ratus tahun terakhir."
"Mungkin dia nggak akan terlalu keras kepadaku," kataku.
Si pekemah itu mendengus.
Luke
menunjukkan cara menikam dan menangkis dengan pedang dan perisai,
dengan cara yang keras. Dengan setiap ayunan, aku bertambah babak-belur.
"Mana pertahananmu, Percy!" katanya, lalu memukul tulang igaku dengan
sisi pedangnya. "Bukan, jangan setinggi itu!" Plak! "Masuk!" Plak!
"Sekarang mundur!" Plak!
Pada
saat dia menyatakan waktu istirahat, aku sudah bermandi keringat. Semua
orang mengerubungi pendingin minuman. Luke menuangkan air es di atas
kepalanya, yang kelihatannya gagasan yang bagus, jadi aku menirunya.
Langsung saja aku merasa lebih baik. Kekuatan menjalar kembali ke
lenganku. Pedang itu tidak lagi terasa terlalu canggung.
"Oke, semuanya bentuk lingkaran!" perintah Luke. "Jika Percy tak keberatan, aku ingin membuat peragaan sedikit."
Bagus,
pikirku. Mari menonton Percy dipukuli. Anak-anak Hermes berkumpul.
Mereka menahan senyum. Kusimpulkan mereka juga pernah mengalami hal Ini
dan tak sabar melihat bagaimana Luke memanfaatkan ku sebagai samsak. Dia
mengumumkan dia akan memperagakan jurus melepas senjata lawan: cara
memuntir pedang musuh dengan sisi pedang kita, sehingga dia tak punya
pilihan selain menjatuhkan senjatanya.
"Ini
jurus yang sulit," dia menekankan. "Aku pernah terkena jurus yang sama.
Nah, jangan menertawakan Percy. Sebagian besar ahli pedang harus
berlatih bertahun-tahun untuk menguasai jurus ini."
Dia memperagakan jurus ini terhadapku dengan gerak lambat. Benar saja, pedang itu terjatuh dari tanganku.
"Sekarang
dengan kecepatan normal," katanya, setelah aku mengambil senjataku.
"Kami akan terus bertanding sampai salah satu berhasil melakukannya.
Siap, Percy?"
Aku
mengangguk, dan Luke menyerangku. Entah bagaimana, aku berhasil menjaga
agar dia tidak mengenai gagang pedangku. Indraku terbuka. Aku melihat
serangan-serangannya datang. Aku membalas. Aku melangkah maju dan
mencoba menikam juga. Luke menangkisnya dengan mudah, tetapi kulihat
perubahan di wajahnya. Matanya menyipit, dan dia mulai menekanku dengan
lebih bertenaga.
Pedang
itu bertambah berat di tanganku. Keseimbangannya tidak tepat. Aku tahu
tinggal waktu beberapa detik lagi sampai Luke merubuhkanku, jadi
pikirku, Apa ruginya?
Aku
mencoba jurus melepas senjata lawan itu. Pedangku mengenai pangkal
pedang Luke, dan aku memuntir, menggunakan seluruh beratku untuk menekan
ke bawah.
Trang.
Pedang Luke berdencang pada bebatuan. Ujung pedangku berjarak dua sentimeter dari dadanya yang tak terlindung.
Para pekemah lain sunyi senyap. Aku menurunkan pedang. "Eh, maaf."
Sesaat Luke terlalu tercengang, tak bisa berbicara.
"Maaf?" Wajahnya yang bercodet itu menyeringai. "Demi dewa-dewa, Percy, kenapa kau minta maaf? Tunjukkan lagi itu kepadaku!"
Aku tidak ingin. Ledakan energi gila yang pendek itu telah hilang sepenuhnya. Tetapi Luke mendesak.
Kali ini, tak ada perlawanan. Begitu pedang kami beradu, Luke mengenai gagangku dan mengirim pedangku meluncur di atas lantai.
Setelah hening lama, seseorang di antara penonton berkata, "Kemujuran pemula?"
Luke
menyeka keringat dari kening. Dia memandangku dengan minat yang sama
sekali baru. "Mungkin," katanya. "Tapi aku jadi ingin tahu, apa yang
bisa dilakukan Percy dengan pedang yang seimbang
Pada
Jumat Sore, aku duduk bersama Grover di danau, Beristirahat setelah
hampir mati di tembok panjat. Grover memanjat tembok seperti kambing
gunung, tetapi aku hampir Kena lava. Kemejaku berlubang-lubang berasap.
Bulu Lenganku terbakar.
Kami
duduk di dermaga, mengamati para naiad menganyam keranjang di dalam
air, sampai aku berhasil memberanikan diri menanyakan percakapannya
dengan Pak D waktu itu.
Wajahnya menjadi kuning pucat seperti penyakitan. “Baik," katanya. "Baik-baik saja."
“Jadi, kariermu masih sesuai rencana?”
"Dia melirikku dengan gugup.
"Chiron bercerita bahwa aku ingin mendapatkan izin pencari?"
“Eh... nggak juga."
Aku tak tahu sama sekali izin PENCARI itu apa, tapi rasanya tidak tepat kalau kutanyakan, saat itu juga.
"Dia
cuma bilang, kau punya rencana besar, begitu ... dan bahwa kau perlu
mengumpulkan nilai untuk menyelesaikan tugas penjaga. Jadi, kau dapat
nilai itu, tidak?"
Grover
menatap para naiad di dalam danau. "Pak D menangguhkan penilaian.
Katanya, aku belum gagal atau berhasil menanganimu, jadi nasib kita
masih saling terpaut. Kalau kau mendapat tugas, dan aku ikut untuk
melindungimu, lalu kita berdua pulang hidup-hidup, mungkin saat itu dia
baru menganggap tugas ini selesai."
Semangatku bangkit. "Nah, lumayan juga, kan?"
"Mbeeek!
Itu sih sama saja dengan menugasiku membersihkan istal. Kemungkinan kau
mendapat misi..... dan kalaupun kau mendapatkannya, memangnya kau mau
aku ikut?"
"Pasti dong, aku mau kau ikuti"
Grover menatap murung ke dalam air. "Menganyam keranjang... Pasti menyenangkan, punya keterampilan yang bermanfaat."
Aku
berusaha menghiburnya, bahwa dia punya banyak bakat, tetapi itu malah
membuatnya semakin merana. Kami mengobrol tentang berkano dan permainan
pedang beberapa lama, lalu memperdebatkan plus-minus berbagai dewa.
Akhirnya,
aku menanyakan keempat pondok kosong itu. "Pondok delapan, yang perak
itu, kepunyaan Dewi Artemis," katanya. "Dia bersumpah akan menjadi
perawan selamanya. Jadi, tentu saja anaknya nggak ada. Pondok itu
semacam penghormatan, begitu. Kalau dia nggak diberi pondok, dia pasti
marah."
"Oh, oke. Tapi tiga yang lain, yang di ujung itu. Apa itu Tiga Besar?"
Grover
menegang. Kami mendekati topik yang peka. "Bukan. Salah satunya, pondok
dua, kepunyaan Hera," katanya. "Itu juga penghormatan. Dia Dewi
Pernikahan, jadi tentu saja dia nggak akan berselingkuh dengan manusia.
Itu tugas suaminya. Yang kami sebut Tiga Besar itu adalah ketiga
kakak-beradik yang berkuasa, anak-anak Kronos."
"Zeus, Poseidon, Hades."
"Benar.
Kau tahu, setelah pertempuran besar melawan bangsa Titan, mereka
mengambil alih dunia dari ayah mereka, dan mengundi untuk memutuskan
siapa mendapat apa."
"Zeus mendapat langit," aku ingat. "Poseidon laut, Hades Dunia Bawah."
"Iya."
"Tapi Hades nggak punya pondok di sini."
"Nggak.
Dia juga nggak punya singgasana di Olympus. Dia bertindak sesuka
hatinya sendiri di Dunia Bawah. Kalaupun dia punya pondok di sini ...."
Grover menggigil. "Yah, pasti nggak bakal menyenangkan. Cukup sampai di
situ saja."
"Tapi Zeus dan Poseidon—mereka berdua punya jutaan anak dalam mitos-mitos. Kenapa pondok mereka kosong?"
Grover
memindahkan kaki dengan rikuh. "Sekitar enam puluh tahun yang lalu,
setelah Perang Dunia II, Tiga Besar bersepakat bahwa mereka nggak akan
lagi punya keturunan pahlawan. Anak-anak mereka terlalu kuat. Mereka
terlalu memengaruhi arah peristiwa manusia, terlalu banyak menyebabkan
pertumpahan darah. Seperti yang kita ketahui, perang Dunia II pada
dasarnya adalah pertempuran antara anak-anak Zeus dan Poseidon di satu
pihak, dan anak-anak Hades di pihak lain. Pihak yang menang, Zeus dan
Poseidon, memaksa Hades bersumpah bersama mereka: nggak boleh lagi
menjalin hubungan dengan wanita manusia. Mereka semua bersumpah demi
Sungai Styx."
Guntur menggelegar.
Kataku, "Itu jenis sumpah paling serius yang bisa dibuat."
Grover mengangguk. "Apakah ketiga bersaudara itu menepati janji—nggak punya anak?"
Wajah
Grover menjadi suram. "Tujuh belas tahun yang lalu, Zeus tergelincir.
Dulu ada bintang TV kecil, dengan rambut gembung gaya tahun delapan
puluhan—Zeus nggak bisa menahan diri. Ketika anak mereka lahir, bayi
perempuan bernama Thalia ... yah, Sungai Styx itu serius soal janji.
Zeus dihukum ringan karena dia dewa, tetapi putrinya tertimpa nasib
buruk."
"Tapi itu nggak adil! Anak itu kan nggak bersalah apa-apa."
Grover
ragu. "Percy, anak-anak Tiga Besar punya kekuatan yang lebih besar
daripada blasteran lain. Mereka punya aura yang kuat, aroma yang menarik
perhatian monster. Ketika Hades tahu soal anak itu, dia nggak terlalu
senang bahwa Zeus melanggar sumpah. Hades mengeluarkan monster-monster
terburuk dari Tartarus untuk mengganggu Thalia. Seorang satir ditugasi
menjadi penjaganya sewaktu anak itu berumur dua belas, tapi dia nggak
bisa berbuat apa-apa. Dia berusaha mengawal Thalia ke sini dengan dua
blasteran lain teman Thalia. Mereka hampir berhasil. Mereka sudah sampai
ke puncak bukit itu."
Dia
menunjuk ke seberang lembah, ke pohon pinus tempat aku melawan si
minotaurus. "Ketiga Makhluk Baik mengejar mereka, dengan sekawanan
anjing neraka. Mereka sudah hampir terkejar, saat Thalia menyuruh
satirnya membawa kedua anak blasteran lain itu ke tempat yang aman,
sementara dia menahan monster. Dia sudah terluka dan lelah. Dia nggak
mau hidup seperti hewan buruan. Si satir nggak mau meninggalkan Thalia,
tetapi nggak berhasil mengubah keputusan anak itu, dan dia harus
melindungi yang lain. Jadi, Thalia bertahan sendirian, di puncak bukit
itu. Ketika dia gugur, Zeus merasa iba. Dia mengubah anaknya menjadi
pohon pinus itu. Arwah Thalia masih membantu melindungi perbatasan
lembah ini. Itu sebabnya bukit itu disebut Bukit Blasteran."
Aku
menatap pohon pinus di kejauhan itu. Kisah itu membuatku merasa hampa,
dan juga bersalah. Seorang gadis seusiaku mengorbankan diri untuk
menyelamatkan teman-temannya. Dia menghadapi seluruh pasukan monster
itu. Dibandingkan dengan itu, kemenanganku atas Minotaurus terasa tidak
terlalu besar. Aku bertanya-tanya, andai aku berbuat lain, mungkinkah
aku bisa menyelamatkan ibuku?
"Grover," kataku, "apakah para pahlawan benar-benar pernah mengemban misi ke Dunia Bawah?"
"Kadang-kadang," katanya. "Orpheus, Hercules, Houdini."
"Dan apa mereka pernah mengembalikan orang dari alam kematian?"
"Nggak. Nggak pernah. Orpheus nyaris berhasil ... Percy kau tak serius memikirkan—"
"Nggak," aku berbohong. "Cuma ingin tahu saja. Jadi... satir selalu ditugasi menjaga demigod?"
Grover
mengamatiku dengan curiga. Dia belum yakin bahwa aku sudah membuang
pikiranku tentang Dunia Bawah. "Nggak selalu. Kami menyamar di banyak
sekolah. Kami berusaha mengendus anak-anak blasteran yang berpotensi
menjadi pahlawan hebat. Kalau kami menemukan seorang yang beraura sangat
kuat, seperti anak dari Tiga Besar, kami memberi tahu Chiron. Dia
berusaha mengawasi anak itu, karena anak seperti itu bisa menimbulkan
masalah sangat besar."
"Dan kau menemukan aku. Kata Chiron, kau menganggap bahwa aku mungkin istimewa."
Grover
tampak seolah-olah aku baru saja menuntunnya ke perangkap. "Aku nggak
... Eh, jangan berpikir seperti itu. Kalau kau memang—itu—kau nggak akan
pernah diberi misi, dan aku nggak akan pernah mendapatkan izin itu. Kau
mungkin anak Hermes. Atau mungkin bahkan salah seorang dewa kecil,
seperti Nemesis, Dewa Balas Dendam. Jangan khawatir, oke?"
Aku merasa sepertinya hiburan itu lebih untuk dirinya daripada diriku.
Malam itu, setelah makan malam, suasana lebih bersemangat daripada biasanya.
Akhirnya, tiba waktunya untuk permainan tangkap bendera.
Ketika piring makan sudah diangkat, trompet kerang dibunyikan dan kami semua berdiri di samping meja masing-masing.
Para
pekemah bersorak-sorai saat Annabeth dan kedua saudaranya berlari
memasuki paviliun, membawa sehelai bendera sutra. Bendera itu panjangnya
tiga meter, berwarna abu-abu berkilap, dilukis gambar burung hantu di
atas pohon zaitun. Dari seberang paviliun, Clarisse dan sobat-sobatnya
berlari masuk membawa bendera lain, berukuran sama, tetapi berwarna
merah norak, dilukis gambar tombak berdarah dan kepala celeng.
Aku menoleh kepada Luke dan berteriak mengatasi keributan: "Itu benderanya?"
"Ya."
"Ares dan Athena selalu memimpin regu?"
"Nggak selalu," katanya. "Tapi sering."
"Jadi, kalau pondok lain menangkap salah satu bendera, kemudian apa—gambar benderanya ditimpa dengan lukisan lain?"
Dia menyeringai. "Lihat saja nanti. Pertama-tama kita harus menangkap satu."
"Kita
di pihak mana?" Dia memberiku tatapan jail, seolah-olah dia tahu
sesuatu yang tak kuketahui. Codet di wajahnya membuatnya hampir tampak
jahat dalam cahaya obor. "Kita sudah membuat persekutuan sementara
dengan Athena. Malam ini kita merebut bendera dari Ares. Dan kau akan
membantu."
Regu-regu
diumumkan. Athena telah bersekutu dengan Apollo dan Hermes, dua pondok
terbesar. Rupanya, hak pekemah diperdagangkan—waktu mandi, jadwal tugas,
jadwal terbaik untuk berbagai kegiatan— untuk mendapatkan dukungan.
Ares
bersekutu dengan semua pondok lain: Dionysus, Demeter, Aphrodite, dan
Hephaestus. Dari yang kulihat, anak-anak Dionysus sebenarnya atlet yang
baik, tetapi hanya ada dua. Anak-anak Demeter unggul dalam keterampilan
alam dan luar ruangan, tetapi tak terlalu agresif. Anak laki dan
perempuan Aphrodite, aku tak terlalu khawatir. Mereka biasanya tidak
berpartisipasi dalam kegiatan apa pun dan mengamati bayangan mereka di
danau dan menata rambut dan bergunjing. Anak-anak Hephaestus bertampang
pas-pasan, dan hanya ada empat orang, tetapi tubuh mereka besar dan
berotot karena bekerja di bengkel logam sepanjang hari. Mereka mungkin
bisa jadi masalah. Selain mereka semua, tentu saja ada pondok Ares:
selusin anak terbesar, terjelek, terjahat di Long Island, atau di mana
pun di planet ini.
Chiron mengetukkan kaki kudanya keras-keras pada marmer.
"Para
pahlawan!" dia mengumumkan. "Kalian sudah tahu peraturannya. Garis
perbatasannya sungai. Seluruh hutan boleh dimanfaatkan. Semua benda
ajaib diperbolehkan. Bendera harus dipasang dengan mencolok, dan hanya
boleh dijaga paling banyak dua orang. Tahanan boleh dilucuti senjatanya,
tetapi tak boleh diikat atau ditutup mulutnya. Membunuh dan merusak
badan tidak diperbolehkan. Aku akan menjadi wasit dan dokter medan
perang. Persenjatai diri kalian!"
Dia
melebarkan tangan, dan meja-meja tiba-tiba dipenuhi dengan
perlengkapan: helm, pedang perunggu, tombak, perisai kulit sapi yang
berlapis logam.
"Wah," kataku. "Kita benar-benar harus menggunakan ini?"
Luke
menatapku seolah-olah aku gila. "Kecuali kalau kau mau disatai oleh
teman-temanmu dari pondok lima. Nih—Chiron menduga ini akan pas. Kau
mendapat tugas patroli perbatasan."
Perisaiku
berukuran sebesar papan pantul basket NBA, bergambar caduceus besar di
tengah-tengah. Beratnya sejuta kilo. Benda itu bisa saja kupakai
berselancar di laut, tapi kuharap tak ada yang benar-benar ingin aku
berlari cepat. Helmku, seperti semua helm di pihak Athena, diluasi bulu
kuda biru di atasnya. Ares dan sekutunya berbulu merah.
Annabeth berteriak, "Regu biru, maju!"
Kami
bersorak dan mengayun-ayunkan pedang dan mengikutinya menyusuri jalan
ke hutan selatan. Regu merah menyerukan ejekan kepada kami sambil menuju
ke Utara.
Aku berhasil menyusul Annabeth tanpa tersandung perlengkapanku sendiri. "Hei." Dia terus berbaris.
"Jadi, bagaimana rencananya?" tanyaku. "Kau punya benda ajaib yang bisa kupinjam?"
Tangannya
bergerak ke saku, seolah-olah dia takut aku baru mencuri sesuatu.
"Pokoknya, waspadai tombak Clarisse," katanya. "Jangan sampai tersentuh
benda itu. Selain itu, jangan khawatir. Kita pasti bisa merebut bendera
itu dari Ares. Luke sudah memberimu tugas?"
"Patroli perbatasan, entah apa artinya."
"Itu
gampang. Berdirilah di dekat kali, jaga agar regu merah tidak masuk.
Serahkan sisanya kepadaku. Athena Selalu punya rencana."
Dia terus maju, meninggalkanku di belakang.
"Baik," gumamku. "Aku senang kau menginginkanku ikut regumu."
Malam
itu panas dan lengket. Hutan gelap. Kunang-kunang muncul dan hilang
dari pandangan. Annabeth menempatkanku di samping kali kecil yang
menggerocok di atas beberapa batu, lalu dia dan sisa regunya berpencar
ke dalam pepohonan.
Berdiri
di sana sendirian, dengan helm berbulu biru yang besar dan perisai yang
besar, aku merasa seperti orang tolol. Pedang perunggu itu, seperti
semua pedang yang kucoba sejauh itu, terasa salah keseimbangannya.
Gagang kulitnya menarik tanganku seperti bola boling.
Aku nggak mungkin benar-benar diserang, kan? Maksudku, para Dewa Olympus pasti menuntut kalau ada anaknya yang terluka, kan?
Di
kejauhan, trompet kerang itu berbunyi. Terdengar teriakan dan lolongan
di hutan, dentang logam, anak-anak bertempur. Seorang sekutu berbulu
biru dari Apollo melesat di depanku seperti kijang, melompat
menyeberangi kali, dan menghilang ke wilayah musuh.
Bagus, pikirku. Aku ketinggalan bagian yang asyik, seperti biasa.
Lalu, terdengar bunyi yang membuatku merinding, geraman anjing yang bernada berat, di suatu tempat di dekatku.
Secara naluriah kuangkat perisaiku; aku merasa ada yang mengintaiku.
Lalu, geraman itu berhenti. Aku merasakan sosok itu mundur.
Di
seberang kali, semak meledak. Lima pendekar Ares muncul dari gelap
sambil berteriak dan menjerit. "Hajar si anak ingusan!" teriak Clarisse.
Mata
babinya yang jelek melotot melalui celah helm. Dia mengayunkan tombak
yang panjangnya 1,5 meter, ujung logamnya yang berduri berkilap-kilap
dalam cahaya merah. Saudara-saudaranya hanya bersenjata pedang perunggu
keluaran standar—meskipun itu tak terlalu melegakan hatiku.
Mereka
melompati kali. Bala bantuan tak kelihatan dari mana pun. Aku bisa
lari. Atau aku bisa membela diri melawan setengah anak pondok Ares.
Aku
berhasil mengelakkan ayunan si anak pertama, tetapi orang-orang ini
tidak sebodoh si Minotaurus. Mereka mengepungku, dan Clarisse menusukku
dengan tambak. Perisaiku menangkis ujungnya, tetapi seluruh tubuhku
terasa kesemutan yang menyakitkan. Bulu tubuhku berdiri semua. Lengan
perisaiku mati rasa, dan udara terbakar.
Listrik.
Tombak sialannya itu mengandung listrik. Aku mundur. Anak Ares lain
menghantam dadaku dengan gagang pedangnya dan aku terjengkang.
Mereka sebenarnya bisa saja menendangiku hingga menjadi agar-agar, tetapi mereka terlalu sibuk tertawa.
"Potong rambutnya," kata Clarisse. "Pegang rambutnya."
Aku
berhasil berdiri. Aku mengangkat pedang, tetapi Clarisse memukulnya ke
samping dengan tombaknya dan bunga api beterbangan. Sekarang kedua
lenganku mati rasa.
"Hii," kata Clarisse. "Aku takut sama dia. Takut banget."
"Benderanya ke sebelah sana,” kataku kepadanya. Aku ingin terdengar marah, tetapi ternyata yang terucap tidak begitu.
"Ya,"
kata salah satu saudaranya. "Tapi masalahnya, kami nggak peduli sama
bendera. Kami peduli sama anak yang membuat pondok kami tampak bodoh."
"Tanpa bantuanku pun, kalian sudah tampak bodoh kok," kataku. Mengatakan hal itu mungkin bukan tindakan yang pintar.
Dua
anak menerjang ke arahku. Aku mundur ke arah kali, berusaha menaikkan
perisai, tetapi Clarisse terlalu cepat. Tombaknya menusuk tulang igaku
dengan tepat. Andai aku tak mengenakan lempeng dada besi, aku pasti
sudah jadi satai. Sekarang ini, ujung listrik itu hampir mengguncangkan
gigi keluar dari mulutku. Salah satu teman sepondok Clarisse mengayunkan
pedang pada lenganku, meninggalkan luka berukuran lumayan.
Melihat darahku sendiri membuatku pusing—panas sekaligus dingin.
"Nggak boleh mencederai," aku berhasil berkata.
"Ups," kata pemuda itu. "Aku bakal dihukum nggak mendapat makanan penutup ya?"
Dia
mendorongku ke dalam kali dan aku tercebur dengan terjengkang. Mereka
semua tertawa. Pikirku, begitu mereka puas tertawa, aku pasti mati.
Tapi, kemudian sesuatu terjadi. Air kali tampaknya membangunkan Indraku,
seolah-olah aku baru saja makan sekantong permen kopi ibuku.
Clarisse
dan teman-teman pondoknya masuk ke dalam kali untuk mendekatiku, tetapi
aku berdiri untuk menyambut mereka. Aku tahu apa yang harus dilakukan.
Kuayunkan sisi pedang ke kepala pemuda pertama dan ku pukul helmnya
hingga terlepas. Pukulanku begitu keras, sampai-sampai matanya terlihat
bergetar saat dia ambruk ke air.
Si
Jelek Nomor Dua dan si Jelek Nomor Tiga menyerangku. Aku menghantam
muka yang satu dengan perisai, dan menggunakan pedang untuk membabat
hiasan bulu kuda yang satunya. Keduanya buru-buru mundur. Si Jelek Nomor
Empat kelihatannya enggan menyerang, tetapi Clarisse terus merangsek,
ujung tombaknya berderak-derak dengan energi. Begitu dia menusuk,
kutangkap batangnya dengan sisi perisai dan pedangku, lalu kupatahkan
bagai ranting.
"Ah!" jeritnya. "Dasar tolol! Dasar cacing bau bangkai!"
Dia
mungkin mau mengumpat lebih kasar lagi, tetapi kutonjok dia dengan
gagang pedang, di tengah mata, dan membuatnya terhuyung keluar dari
kali.
Kemudian
terdengar teriakan, jeritan gembira, dan kulihat Luke berlari ke arah
garis perbatasan, mengangkat bendera regu merah tinggi-tinggi. Dia
diapit oleh dua pemuda Hermes yang melindungi gerakan mundurnya ke
wilayah kami. Beberapa anak Apollo di belakangnya sedang menghalau
anak-anak Hephaestus. Anak-anak Ares bangkit, dan Clarisse menggumamkan
umpatan dengan kepala pening.
"Tipuan!" teriaknya. "Ini tipuan."
Mereka
terhuyung-huyung mengejar Luke, tetapi terlambat. Semua orang
berdatangan ke sungai sementara Luke berlari menyeberanginya, ke wilayah
kawan. Pihak kami bersorak-sorai. Bendera merah bergetar dan berubah
menjadi perak. Celeng dan tombak digantikan dengan caduceus besar,
lambang pondok sebelas. Semua orang dalam regu biru mengangkat Luke dan
mulai membopongnya berkeliling. Chiron mencongklang dari hutan dan
meniup trompet kerang.
Permainan berakhir. Kami menang.
Aku
baru saja akan bergabung dengan perayaan itu ketika suara Annabeth,
tepat di sebelahku di dalam kali, berkata, "Lumayan juga, Pahlawan."
Aku menoleh, tetapi dia tidak ada.
"Dari
mana sih kau belajar bertempur seperti itu?" tanyanya. Udara bergetar,
dan dia mewujud, sambil memegang topi bisbol Yankee seolah-olah dia baru
saja mencopotnya dari kepala.
Aku merasa diriku mulai marah. Aku bahkan tidak merasa takjub bahwa barusan dia tak kasat mata.
"Kau
menjebakku," kataku. "Kau menempatkan aku di sini karena kautahu
Clarisse akan mengejarku, sementara kau mengirim Luke memutar. Kau sudah
merencanakan ini."
Annabeth mengangkat bahu. "Sudah kubilang. Athena selalu, selalu punya rencana."
"Rencana yang membuatku dihajar."
"Aku datang secepatnya. Aku baru saja mau turun tangan tapi...” Dia mengangkat bahu. "Kau tak butuh bantuan."
Lalu, dia melihat lenganku yang terluka. "Kok kau bisa seperti itu, sih?"
"Luka pedang," kataku. "Maunya seperti apa?"
"Tidak.
Itu tadinya luka pedang. Coba lihat." Darahnya sudah hilang. Di tempat
yang tadinya terdapat luka besar itu, ada goresan putih yang panjang,
dan itu pun memudar. Sementara aku memerhatikan, goresan itu berubah
menjadi bekas luka kecil, lalu menghilang.
"Lho—kok 'gini," kataku.
Annabeth
berpikir keras. Aku hampir bisa melihat otaknya berputar. Dia melihat
ke arah kakiku, lalu ke arah tombak patah milik Clarisse, dan berkata,
"Keluar dari air, Percy."
"Apa—"
"Lakukan saja."
Aku
keluar dari kali dan langsung merasa lelah. Lenganku mulai terasa kebas
lagi. Gelora adrenalin meninggalkanku. Aku nyaris terjengkang, tetapi
Annabeth memegangiku.
"Oh, demi Styx," umpatnya. "Ini gawat. Tadinya aku nggak ingin... Aku tadinya berasumsi Zeus ..."
Sebelum
aku sempat menanyakan maksud perkataannya, terdengar geraman anjing itu
lagi, tetapi jauh lebih dekat daripada sebelumnya. Lolongan mengoyak ke
seluruh hutan.
Sorak-sorai
pekemah padam seketika. Chiron menyerukan sesuatu dalam bahasa Yunani
Kuno, yang, baru kusadari kemudian, kupahami dengan sempurna: "Bersiap.
Busurku."
Annabeth menghunus pedang.
Di
atas bebatuan persis di atas kami, terdapat seekor anjing hitam
seukuran badak, bermata merah lahar dan bertaring bagai belati.
Anjing itu menatap lurus kepadaku.
Tak ada yang bergerak kecuali Annabeth, yang berteriak, "Percy, lari!"