PERCY JACKSON & THE OLYMPIANS
1. Aku Tak Sengaja Memusnahkan Guru Pra-Aljabarku
Aku
tak pernah ingin jadi anak blasteran. Kalau kau membaca cerita ini
karena menduga kau anak blasteran juga, kunasihati nih: tutup buku ini
sekarang juga. Pokoknya percayai saja apa pun kebohongan yang
diceritakan ayah-ibumu tentang kelahiranmu, dan cobalah menjalani hidup
normal.
Menjadi blasteran itu berbahaya. Menyeramkan. Sering bikin orang terbunuh secara menyakitkan dan mengerikan.
Kalau
kau anak normal, yang membaca ini karena menganggap ini fiksi, bagus.
Silakan baca terus. Aku iri denganmu, bisa percaya bahwa semua peristiwa
ini tak pernah terjadi.
Tapi,
kalau kau mengenali dirimu di halaman-halaman ini kalau kau merasa
sesuatu menggeliat dalam dirimu cepat hentikan bacaanmu. Mungkin saja
kau sama seperti kami. Dan begitu kau menyadari itu, cuma soal waktu
saja sampai mereka juga merasakannya, dan mereka akan memburumu.
Jangan bilang aku tak pernah memperingatkanmu.
Namaku
Percy Jackson. Umurku dua belas tahun. Hingga beberapa bulan yang lalu,
aku siswa asrama di Akademi Yancy, sekolah swasta untuk anak bermasalah
di New York Utara.
Apa aku anak bermasalah? Yah. Bisa dibilang begitu.
Kalau
mau bukti, aku bisa mulai bercerita dari titik mana pun dalam hidup
pendekku yang mengenaskan ini, tetapi keadaan mulai benar-benar memburuk
pada bulan Mei lalu, sewaktu murid kelas enam kami berkaryawisata ke
Manhattan—dua puluh delapan anak sakit jiwa dan dua orang guru naik bus
sekolah kuning, menuju Museum Seni Metropolitan untuk melihat
barang-barang Yunani dan Romawi Kuno.
Iya, aku juga tahu—kedengarannya seperti penyiksaan. Sebagian besar karyawisata Yancy memang begitu.
Tapi, karyawisata kali ini dibimbing Pak Brunner, guru bahasa Latin kami, jadi aku sempat berharap.
Pak
Brunner ini pria setengah baya yang pakai kursi roda. Rambutnya sudah
jarang, jenggotnya kusut, dan jas wolnya sudah berumbai-rumbai, yang
selalu berbau seperti kopi. Orang pasti tak menganggap dia keren, tetapi
dia suka bercerita dan bercanda dan membolehkan kami bermain di kelas.
Dia juga punya koleksi senjata dan baju zirah Romawi yang hebat, jadi
dia satu-satunya guru yang jam pelajarannya tak bikin aku mengantuk.
Aku
sempat berharap karyawisata itu akan berjalan lancar. Setidaknya, aku
berharap bahwa sekali ini aku tak akan terlibat masalah.
Ternyata, aku keliru besar.
Begini,
pada setiap karyawisata aku pasti tertimpa hal buruk. Seperti misalnya
di sekolahku sewaktu kelas lima, ketika kami mengunjungi medan perang
Saratoga, aku mendapat sedikit kecelakaan dengan meriam Perang Revolusi.
Padahal aku tak berniat membidik bus sekolah, tetapi tentu saja aku
tetap dikeluarkan dari sekolah. Dan sebelum itu, di sekolahku sewaktu
kelas empat, ketika kami ikut tur privat ke kolam hiu Dunia Samudra, aku
agak-agak menyenggol tuas yang salah di titian, dan anak-anak kelas
kami mengadakan acara renang bersama yang tidak direncanakan. Dan
sebelum itu .... Yah, sudah terbayang, kan?
Untuk wisata kali ini, aku bertekad menjadi anak baik-baik.
Sepanjang
perjalanan masuk ke kota, aku berdiam diri menghadapi ulah Nancy
Bobofit, anak panjang tangan berambut merah dan bermuka bintik-bintik,
yang melempari kepala sahabatku Grover dari belakang dengan gumpalan
roti selai kacang dan saus tomat.
Grover
memang sasaran empuk. Dia kerempeng. Dia menangis kalau sedang
frustrasi. Kayaknya dia pernah tinggal kelas beberapa kali, soalnya dia
satu-satunya anak kelas enam yang berjerawat dan mulai berjenggot tipis
di dagu. Selain itu, dia cacat. Dia punya surat dokter yang
membebaskannya dari pelajaran olahraga seumur hidup karena kakinya
terkena semacam penyakit otot. Jalannya aneh, seolah-olah setiap langkah
membuatnya sakit, tetapi jangan terkecoh. Coba saja lihat dia lari pada
hari enchilada di kantin sekolah.
Jadi,
Nancy Bobofit melempari Grover dengan gumpalan roti lapis, yang
kemudian menempel ke rambutnya yang cokelat ikal. Nancy tahu aku tak
bisa membalas karena aku sedang dalam masa percobaan. Kepala sekolah
mengancam akan menghukum mati dengan cara menskorsku jika terjadi
apa-apa dalam karyawisata ini, baik itu kejadian buruk, memalukan, atau
bahkan sedikit menghibur.
"Akan kubunuh dia," geramku.
Grover berusaha menenangkanku. "Nggak apa-apa. Aku suka kok selai kacang."
Dia mengelak dari segumpal lagi makan siang Nancy.
"Cukup." Aku mulai bangkit, tetapi Grover menarikku kembali duduk.
"Kau sudah kena masa percobaan," dia mengingatkanku. "Kau tahu siapa yang akan disalahkan kalau terjadi apa-apa."
Kalau
ingat lagi kejadian itu sekarang, aku menyesal tak langsung menonjok
Nancy Bobofit saat itu juga. Setrap di sekolah tak ada apa-apanya kalau
dibandingkan dengan masalah yang akan melibatkanku sesaat lagi.
Pak Brunner memimpin tur museum.
Dia
meluncur di atas kursi roda di depan, memandu kami melintasi
galeri-galeri besar yang menggema, melewati patung-patung marmer dan
lemari-lemari kaca yang dipenuhi tembikar hitam-jingga yang tua sekali.
Aku terkagum-kagum bahwa barang-barang ini telah bertahan selama dua-tiga ribu tahun.
Dia
mengumpulkan kami di sekeliling sebuah tiang batu setinggi empat meter,
yang di puncaknya terdapat sebuah sfinks besar, lalu mulai menceritakan
bahwa benda itu adalah penanda makam, alias stele, untuk seorang gadis
seumur kami. Dia bercerita tentang ukiran di sisi-sisi tiang. Aku
berusaha menyimak, karena uraiannya cukup menarik, tetapi semua anak di
sekitarku malah mengobrol, dan setiap kali aku menyuruh mereka tutup
mulut, guru pembimbing kami satu lagi, Bu Dodds, mendelik kepadaku.
Bu
Dodds ini guru matematika asal negara bagian Georgia yang bertubuh
mungil, yang selalu memakai jaket kulit hitam, meskipun umurnya sudah
lima puluh tahun. Dia tampak cukup garang untuk mengendarai Harley ke
dalam loker. Dia datang ke Yancy pada pertengahan tahun, ketika guru
matematika kami yang sebelumnya mengalami gangguan kejiwaan.
Sejak
hari pertama Bu Dodds menyukai Nancy Bobofit dan menganggapku anak
setan. Dia sering menudingku dengan jari bengkok dan berkata, "Nah, Anak
Manis," dengan manis sekali, dan aku langsung tahu aku akan diskors
seusai sekolah selama sebulan.
Suatu
kali, setelah dia menyuruhku menghapus jawaban dari buku-buku latihan
matematika tua sampai tengah malam, aku bilang pada Grover, kayaknya Bu
Dodds itu bukan manusia. Grover memandangku, serius sekali, dan berkata,
"Kau benar sekali."
Pak Brunner terus berbicara tentang seni pemakaman Yunani.
Akhirnya,
Nancy Bobofit terkekeh sambil mengatakan sesuatu tentang cowok bugil
pada stele itu, dan aku berbalik dan berkata, "Tutup mulut, bisa nggak
sih?"
Ucapan itu keluar lebih nyaring daripada yang kuniatkan.
Semua anak tertawa. Pak Brunner berhenti bercerita.
"Jackson," katanya, "tadi kau berkomentar?"
Mukaku merah padam. Kataku, "Nggak, Pak."
Pak Brunner menunjuk salah satu gambar pada stele. "Coba kau ceritakan apa yang dilukiskan dalam gambar ini.
Aku memandang ukiran itu, dan merasa lega karena aku ternyata mengenalinya. "Itu Kronos lagi makan anak-anaknya, iya kan?"
"Betul," kata Pak Brunner, jelas belum puas. "Dan dia memakan anak-anaknya karena..”
"Karena ...." Aku memutar otak, berusaha mengingat. "Kronos itu raja dewa, dan—"
"Dewa?" tanya Pak Brunner.
"Titan,"
aku membetulkan. "Dan .... dia nggak percaya pada anak-anaknya, yang
dewa-dewi itu. Jadi, eh, Kronos memakan mereka, iya kan? Tapi istrinya
menyembunyikan si bayi Zeus, dan menggantinya dengan batu untuk dimakan
Kronos. Lalu belakangan, waktu Zeus sudah dewasa, dia menipu ayahnya,
Kronos, supaya memuntahkan kakak-kakaknya—"
"Iiiih!" kata seorang gadis di belakangku.
"—terus
ada perang besar antara bangsa dewa dan bangsa Titan," lanjutku, "dan
kaum dewa menang." Terdengar cekikikan dari. anak-anak.
Di
belakangku Nancy Bobofit berbisik kepada temannya, "Memangnya pelajaran
ini bakal kita pakai di kehidupan nyata? Pada formulir lamaran kerja
kan nggak bakal ada pertanyaan, 'Jelaskan mengapa Kronos melahap
anak-anaknya'?"
"Dan Jackson," kata Brunner, "mengutip pertanyaan bagus dari Bobofit, mengapa pengetahuan ini penting dalam kehidupan nyata?"
"Nah lho, ketahuan," gumam Grover.
"Cerewet,"
desis Nancy, mukanya memerah, bahkan lebih cerah daripada rambutnya.
Setidaknya dia kena disindir juga. Cuma Pak Brunner yang pernah
menangkap Nancy berkata jelek. Telinga Pak Brunner seperti radar. Aku
memikirkan pertanyaan ini, lalu mengangkat bahu.
"Nggak tahu, Pak."
"Baiklah."
Pak Brunner tampak kecewa. "Oke, kau mendapat setengah nilai, Jackson.
Zeus memang memberi Kronos makan campuran mostar dan anggur. Makanan itu
membuat Kronos memuntahkan kelima anaknya yang lain. Tentu saja, karena
mereka dewa yang hidup abadi, selama itu mereka hidup dan tumbuh dewasa
tanpa dicerna dalam perut si Titan. Keenam dewa-dewi itu mengalahkan
ayah mereka, mencincangnya dengan sabit miliknya sendiri, dan
menyebarkan jasadnya di Tartarus, bagian tergelap di Dunia Bawah. Dengan
akhir cerita yang bahagia itu, sekarang waktu makan siang. Bu Dodds,
tolong pandu mereka keluar museum."
Anak-anak
berjalan pergi, anak-anak perempuan memegangi perut, anak-anak lelaki
saling mendorong dan bertingkah seperti anak bego.
Aku dan Grover baru mau mengikuti, ketika Pak Brunner berkata, "Jackson."
Sudah kuduga ini akan terjadi. Aku menyuruh Grover jalan lebih dulu. Lalu, aku menoleh kepada Pak Brunner. "Pak?"
Pak
Brunner punya tatapan yang menjerat—mata cokelat ganas yang terasa
seperti berusia seribu tahun dan sudah pernah melihat segalanya.
"Kau harus mengetahui jawaban pertanyaanku," kata Pak Brunner kepadaku.
"Tentang bangsa Titan?"
"Tentang kehidupan nyata. Dan bagaimana manfaat pelajaranmu dalam kehidupan nyata."
"Oh."
"Yang
kau pelajari dariku," katanya, "sangat penting. Kau harus
sungguh-sungguh mempelajarinya. Aku hanya menerima yang terbaik darimu,
Percy Jackson."
Aku
ingin marah, kenapa dia terus menekanku terlalu keras? Memang sih
turnamen yang diadakannya cukup keren juga. Pada hari-hari itu, dia
berbaju zirah Romawi dan berseru: "Ayo!", sambil mengacungkan pedang ke
arah kami yang bersenjata kapur. Dia menantang kami berlari ke papan
tulis dan menyebutkan setiap orang Yunani dan Romawi yang pernah hidup,
dan ibu mereka, dan dewa apa yang mereka sembah. Tapi, Pak Brunner
mengharapkan aku sepintar anak lain, meskipun aku mengidap penyakit
disleksia dan gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas (GPPH),
dan aku belum pernah mendapat nilai lebih dari C- seumur hidup. Eh,
bukan—dia bukan mengharapkan aku sama pintarnya dengan anak lain; dia
mengharapkan aku lebih pintar. Padahal aku susah menghafal semua nama
dan fakta itu, apalagi mengejanya dengan benar.
Kugumamkan
sesuatu tentang berusaha lebih keras, sementara Pak Brunner lama
menatap stele itu dengan sedih, seolah-olah dia pernah menghadiri
pemakaman gadis itu.
Lalu dia menyuruhku keluar dan makan siang.
Teman-teman sekelas berkumpul di tangga depan museum, biar bisa menonton pejalan kaki lalu-lalang di sepanjang Fifth Avenue.
Di
langit terlihat badai besar mulai terbentuk, awannya lebih hitam
daripada yang pernah kulihat ada di atas kota ini. Kupikir barangkali
gara-gara pemanasan global atau apa, karena cuaca di seluruh negara
bagian New York sudah aneh sejak Natal. Kami dilanda badai salju hebat,
banjir, kebakaran hutan akibat sambaran petir. Aku tak akan heran kalau
ini nanti menjadi topan.
Kayaknya
tak ada orang lain yang memerhatikan. Beberapa anak lelaki melempari
burung dara dengan biskuit bekal. Nancy Bobofit berusaha mencopet
sesuatu dari tas seorang wanita, dan tentu saja Bu Dodds menutup mata.
Aku
dan Grover duduk di tepi air mancur, menjauhi anak-anak lain. Kami
pikir, kalau kami menjauh, mungkin orang lain tak akan tahu bahwa kami
berasal dari sekolah itu—sekolah untuk anak-anak aneh dan pecundang,
yang tak punya tempat di sekolah lain.
"Skors?" tanya Grover.
"Nggak," kataku. "Brunner nggak pernah menskors. Tapi kenapa sih dia selalu menggangguku? Aku kan bukan anak genius."
Grover
tak berkata apa-apa beberapa lama. Lalu, sewaktu kusangka dia akan
berkomentar penuh filosofi untuk menghiburku, dia berkata, "Apelmu
buatku ya?"
Aku tak terlalu berselera makan, jadi kubiarkan dia mengambilnya.
Aku
menonton arus taksi yang melaju di Fifth Avenue, dan memikirkan
apartemen ibuku di sebelah utara, tidak jauh dari tempat kami duduk. Aku
belum pernah bertemu lagi dengannya sejak Natal. Rasanya ingin sekali
aku melompat naik taksi dan pulang. Dia pasti memelukku dan senang
bertemu denganku, tetapi dia juga pasti kecewa. Dia akan langsung
menyuruhku kembali ke Yancy, mengingatkanku bahwa aku harus berusaha
lebih keras, meskipun ini sekolahku yang keenam dalam enam tahun dan
mungkin aku akan dikeluarkan lagi. Aku tak akan tahan melihat tatapan
sedih darinya.
Pak
Brunner memarkir kursi roda di dasar tanjakan untuk kaum cacat. Dia
makan seledri sambil membaca novel. Di punggung kursinya terpasang
payung merah, sehingga kursi itu mirip meja kafe bermotor.
Aku
baru mau membuka bungkus roti lapis ketika Nancy Bobofit muncul di
depanku bersama teman-temannya yang jelek—barangkali dia bosan mencuri
dari wisatawan—dan menumpahkan bekalnya yang baru dimakan setengah ke
pangkuan Grover.
"Ups."
Dia menyeringai kepadaku dengan giginya yang gingsul. Bintik-bintik di
mukanya berwarna Jingga, seolah-olah disemprot cat yang terbuat dari
Cheetos cair.
Aku
berusaha kalem. Guru pembimbing sekolah sudah sejuta kali bilang,
"Hitung sampai sepuluh, kendalikan amarahmu." Tetapi saking marahnya,
pikiranku kosong. Ombak bergemuruh di telingaku.
Aku
tak ingat pernah menyentuh Nancy. Tahu-tahu saja dia sudah terjengkang
di dalam air mancur, sambil menjerit, "Aku didorong Percy!"
Bu Dodds muncul di sebelah kami.
Beberapa anak berbisik: "Tadi lihat nggak—"
"—airnya—"
"—seolah-olah menyambar Nancy—" Aku tak tahu mereka bicara soal apa. Aku cuma tahu, aku kena masalah lagi.
Setelah
Bu Dodds yakin bahwa Nancy cilik yang malang itu baik-baik saja, dan
berjanji akan membelikannya kemeja baru dari toko cendera mata museum,
dll., dll., Bu Dodds menoleh kepadaku. Ada api kemenangan di matanya,
seolah-olah aku baru melakukan sesuatu yang telah dia tunggu-tunggu
sepanjang semester. "Nah, Anak Manis—"
"Iya deh," gerutuku. "Sebulan menghapus buku latihan."
Mestinya aku tak bilang begitu. "Ikut aku," kata Bu Dodds.
"Tunggu!" pekik Grover. "Aku yang salah. Aku yang mendorong Nancy."
Aku
terkesima menatapnya. Tak percaya rasanya, bahwa dia berusaha menutupi
kesalahanku. Dia kan takut setengah mati oleh Bu Dodds.
Bu Dodds melotot kepadanya lebar-lebar, sampai-sampai dagu Grover yang berbulu itu gemetar.
"Aku tahu kejadiannya bukan begitu, Underwood," katanya.
Tapi—
"Kau—diam—di sini."
Grover menatapku putus asa.
"Nggak apa-apa kok," kataku kepadanya. "Makasih sudah berusaha."
"Anak Manis," Bu Dodds menyalak kepadaku. "Sekarang."
Nancy Bobofit menyeringai.
Aku
melemparkan tatapan akan-kubunuh-kau-nanti yang istimewa buatnya. Lalu
aku berbalik menghadap Bu Dodds, tetapi dia tidak ada di situ. Dia
berdiri di pintu masuk museum, jauh di puncak tangga, dengan tidak sabar
berisyarat kepadaku agar ikut.
Bagaimana dia sampai di sana secepat itu?
Aku
sering sekali mengalami hal-hal seperti itu. Otakku sepertinya tertidur
atau apa, lalu tahu-tahu saja aku terlewat sesuatu. Seolah-olah ada
sepotong gambar teka-teki yang terjatuh dari alam semesta, lalu aku pun
menatap tempat hampa di belakangnya. Guru pembimbing sekolah
memberitahuku bahwa ini bagian dari penyakit GPPH. Otakku salah
menafsirkan situasi.
Aku tak terlalu percaya.
Aku mengikuti Bu Dodds.
Setelah
naik setengah tangga, aku menoleh kembali ke Grover. Dia tampak pucat,
bolak-balik memandang antara aku dan Pak Brunner, seolah-olah dia ingin
Pak Brunner memerhatikan apa yang terjadi, tetapi Pak Brunner tenggelam
dalam novelnya.
Aku kembali melihat ke atas. Bu Dodds sudah menghilang lagi. Sekarang dia berada di dalam gedung, di ujung aula masuk.
Oke, pikirku. Dia akan menyuruhku membelikan kemeja baru buat Nancy dari toko cendera mata.
Tapi, rupanya bukan itu rencananya.
Aku
mengikutinya memasuki museum lebih jauh. Ketika akhirnya aku berhasil
menyusulnya, kami kembali berada di bagian Yunani dan Romawi.
Selain kami, galeri itu sepi.
Bu
Dodds berdiri sambil bersidekap di depan dekorasi marmer besar yang
menggambarkan dewa-dewi Yunani. Dari lehernya terdengar bunyi aneh,
seperti geraman.
Padahal,
tanpa suara itu pun, aku sudah gugup. Aneh rasanya hanya berduaan
dengan guru, apalagi dengan Bu Dodds. Cara dia memandang frieze itu aneh
sekali, seolah-olah dia ingin melumatkannya ....
"Kau banyak menimbulkan masalah bagi kami, Anak Manis," katanya.
Aku ambil aman. Kataku, "Iya, Bu."
Dia menyentakkan lipatan jaket kulitnya. "Pikirmu kau bisa lolos dari perbuatanmu?"
Tatapan di matanya sudah lebih dari gila. Tatapannya jahat.
Dia ini guru, pikirku dengan gugup. Dia tak akan menyakitiku, kan?
Kataku, "Saya—saya akan berusaha lebih keras, Bu." Guntur mengguncang gedung.
"Kami
bukan orang tolol, Percy Jackson," kata Bu Dodds. "Cuma masalah waktu
saja sampai kami membongkar jati dirimu. Mengaku saja, supaya kau tak
perlu menderita terlalu berat."
Aku tak mengerti dia bicara apa.
Aku
cuma bisa menebak bahwa para guru menemukan simpanan permen ilegal yang
selama ini kujual di kamar asramaku. Atau mungkin mereka menyadari
bahwa aku menyalin esai tentang buku Tom Sawyer itu dari Internet, dan
tak pernah membaca bukunya sendiri, dan sekarang mereka akan mencabut
nilaiku. Atau lebih buruk lagi, mereka akan memaksaku membaca buku itu.
"Bagaimana?" tanyanya.
"Bu, saya tidak...”
"Waktumu habis," desisnya.
Lalu,
terjadi hal yang sangat aneh. Mata Bu Dodds mulai menyala seperti arang
panggangan. Jari-jarinya memanjang, menjadi cakar. Jaketnya meleleh
menjadi sayap kulit yang besar. Dia bukan manusia. Dia nenek jahat yang
bersayap kelelawar dan bercakar dan bermulut penuh taring kuning, dan
dia akan mencabik-cabikku.
Lalu, keadaan semakin aneh.
Pak Brunner, yang semenit lalu masih di depan museum, meluncurkan kursi melewati pintu galeri, sambil memegang sebatang pena.
"Awas, Percy!" serunya, dan melemparkan pena itu ke udara.
Bu Dodds menerkamku.
Sambil
memekik, aku mengelak. Cakarnya terasa menyambar udara di sebelah
telingaku. Aku menyambar pena itu dari udara, tetapi ketika mengenai
tanganku, benda itu bukan pena lagi. Benda itu menjadi pedang—pedang
perunggu milik Pak Brunner, yang selalu digunakannya pada hari turnamen.
Bu Dodds berputar ke arahku dengan tatapan membunuh.
Lututku lemas. Tanganku gemetar begitu hebat, pedang itu hampir terjatuh.
Dia menggeram, "Matilah, Anak Manis!"
Dan
dia terbang tepat ke arahku. Ngeri menjalari tubuhku. Kulakukan
satu-satunya hal yang timbul sewajarnya: pedang itu kuayunkan.
Mata logam itu mengenai bahunya dan membelah tubuhnya dengan mulus, seolah-olah ia terbuat dari air. Sssss!
Bu
Dodds bagaikan istana pasir yang tertiup kipas angin kuat. Dia meledak
menjadi serbuk kuning, musnah saat itu juga, hanya meninggalkan bau
belerang dan jerit sekarat dan dinginnya kejahatan di udara, seolah-olah
kedua mata yang menyala merah itu masih mengamatiku.
Aku sendirian.
Di tanganku ada pena.
Tidak ada Pak Brunner. Tak ada siapa-siapa di situ, selain aku.
Tanganku masih gemetar. Makanan bekalku pasti tercemar jamur ajaib atau sejenisnya.
Apakah semua itu cuma khayalanku saja? Aku kembali ke luar gedung. Hujan telah mulai turun.
Grover
duduk di sebelah air mancur, kepalanya ditutupi peta museum yang
dibentuk seperti tenda. Nancy Bobofit masih berdiri di tempat tadi,
basah kuyup akibat acara berenangnya di air mancur, menggerutu kepada
teman-temannya yang jelek. Ketika melihatku, dia berkata, "Mudah-mudahan
Bu Kerr menghajarmu tadi."
Kataku, "Siapa?"
"Guru kita. Bego!"
Aku berkedip-kedip. Kami tak punya guru bernama Bu Kerr. Aku bertanya kepada Nancy apa yang dia bicarakan.
Dia cuma memutar mata dan pergi.
Aku menanyakan di mana Bu Dodds kepada Grover.
Katanya, "Siapa?"
Tapi, dia sempat terdiam, dan tak mau memandangku, jadi kupikir dia sedang bercanda denganku.
"Nggak lucu ah," kataku. "Ini serius."
Guntur menggemuruh di atas kepala.
Kulihat Pak Brunner sedang duduk membaca buku di bawah payung merahnya, seolah-olah tak pernah bergerak.
Aku menghampirinya.
Dia mengangkat kepala, perhatiannya sedikit terpecah. "Ah, itu pena Bapak ya. Besok-besok bawa alat tulis sendiri ya, Jackson."
Aku menyerahkan pena itu kepada Pak Brunner. Aku bahkan tak menyadari bahwa aku masih memegangnya.
"Pak," kataku, "di mana Bu Dodds?"
Dia menatapku kosong. "Siapa?"
"Guru pembimbing satu lagi. Bu Dodds. Guru pra-aljabar."
Dia
mengerutkan kening dan memajukan tubuhnya, tampak sedikit cemas.
"Percy, dalam karyawisata ini tidak ada Bu Dodds. Sepanjang pengetahuan
Bapak, di Akademi Yancy belum pernah ada guru bernama Bu Dodds. Kau
baik-baik saja?"
2. Tiga Nenek Merajut Kaus Kaki Kematian
Aku
sudah terbiasa dengan pengalaman aneh-aneh yang kadang terjadi, tetapi
biasanya pengalaman itu cepat berlalu. Tetapi, halusinasi 24 jam sehari
dan 7 hari seminggu ini, tak sanggup kuhadapi. Sepanjang sisa tahun
ajaran itu, seluruh kampus sepertinya mempermainkan aku. Murid-murid
bertingkah seolah-olah mereka benar-benar yakin sepenuhnya bahwa Bu
Kerr—seorang wanita pirang yang ceria, yang belum pernah kulihat seumur
hidup sampai dia naik ke bus kami pada akhir acara karyawisata—adalah
guru pra-aljabar kami sejak Natal.
Sesekali
aku menyebut nama Bu Dodds kepada seseorang, kalau-kalau aku bisa
menjebaknya, tetapi orang itu biasanya hanya menatapku seolah-olah aku
orang gila.
Keadaannya sedemikian rupa sampai-sampai aku hampir memercayai mereka—Bu Dodds memang tak pernah ada. Hampir.
Tetapi,
Grover tak bisa mengelabuiku. Kalau aku menyinggung nama Dodds
kepadanya, dia tampak ragu, lalu menyatakan guru itu tak pernah ada.
Namun, aku tahu dia berbohong.
Ada yang aneh. Di museum memang pernah terjadi sesuatu.
Aku
tak punya banyak waktu memikirkannya pada siang hari. Namun, pada malam
hari, bayangan Bu Dodds yang bercakar dan bersayap kulit sering
membuatku terbangun dengan keringat dingin.
Cuaca
aneh itu berlanjut, sama sekali tak meringankan suasana hatiku. Suatu
malam, badai guntur menghempaskan jendela-jendela kamar asrama hingga
terbuka. Beberapa hari kemudian, angin puting beliung terbesar yang
pernah terlihat di Lembah Hudson turun di suatu tempat yang hanya
berjarak delapan puluh kilometer dari Akademi Yancy. Salah satu
peristiwa aktual yang kami pelajari di kelas ilmu sosial adalah betapa
banyaknya pesawat kecil yang jatuh tahun itu akibat hujan badai mendadak
di Samudra Atlantik.
Aku
mulai kesal dan gampang marah hampir sepanjang waktu. Nilai pelajaranku
melorot dari D menjadi F. Aku semakin sering berkelahi dengan Nancy
Bobofit dan teman-temannya. Aku disetrap berdiri di luar kelas hampir
pada setiap jam pelajaran.
Akhirnya,
ketika guru bahasa Inggris kami, Pak Nicoll, bertanya kepadaku kesejuta
kalinya, mengapa aku terlalu malas belajar untuk ulangan mengeja, aku
meledak. Kusebut dia pemabuk tua bangka. Aku bahkan tak tahu apa arti
kata-kata itu, tapi kedengarannya bagus.
Kepala
sekolah mengirim surat kepada ibuku pekan berikutnya, meresmikan
dugaanku: aku tak akan diundang kembali tahun depan ke Akademi Yancy.
Biarin, kataku pada diri sendiri. Biar saja.
Aku
rindu rumahku. Aku ingin bersama-sama ibuku di apartemen kecil kami di
Upper East Side, sekalipun aku harus belajar di Sekolah negeri dan
menghadapi ayah tiriku yang menyebalkan dan sering berpesta poker yang
menyebalkan.
Namun
... ada beberapa hal yang pasti kurindukan dari Yancy. Pemandangan
hutan dari jendela asramaku, Sungai Hudson di kejauhan, aroma pohon
pinus. Aku pasti merindukan Grover, teman yang baik selama ini, meskipun
dia agak aneh. Aku cemas bagaimana dia mampu menempuh tahun depan
tanpaku.
Aku
juga akan merindukan pelajaran bahasa Latin— hari-hari turnamen gila
Pak Brunner, dan keyakinannya bahwa aku bisa berprestasi.
Sementara
pekan ujian semakin dekat, bahasa Latin adalah satu-satunya ujian yang
membuatku belajar. Aku belum lupa perkataan Pak Brunner, bahwa mata
pelajaran ini adalah masalah hidup-mati bagiku. Aku tak yakin kenapa,
tetapi aku sudah mulai percaya kepadanya.
Malam
sebelum ujian akhir, aku merasa begitu frustrasi, sampai-sampai
kulemparkan buku Panduan Cambridge tentang Mitologi Yunani ke seberang
kamar asrama. Kata mulai berenang-renang keluar halaman, berputar-putar
mengelilingi kepala, hurufnya berjungkir balik seolah-olah sedang
meluncur di atas skateboard. Tak mungkin aku bisa ingat perbedaan antara
Chiron dan Charon, atau Polydictes dan Polydeuces. Dan menghafal
konjugasi kata-kata kerja Latin? Lupakan saja.
Aku mondar-mandir di kamar. Rasanya seperti ada semut merayap-rayap di dalam bajuku.
Aku ingat wajah serius Pak Brunner, matanya yang berusia seribu tahun. Aku hanya menerima yang terbaik darimu, Percy Jackson.
Aku menghela napas dalam-dalam. Buku mitologi itu kuambil.
Aku
belum pernah meminta tolong guru. Mungkin kalau aku berbicara kepada
Pak Brunner, dia mau memberiku beberapa petunjuk. Setidaknya aku bisa
meminta maaf untuk nilai F yang akan kuperoleh untuk ujiannya ini. Aku
tak ingin meninggalkan Akademi Yancy sementara dia beranggapan bahwa aku
tidak berusaha.
Aku
menuruni tangga ke deretan kantor guru. Sebagian besar kosong dan
gelap, tetapi pintu Pak Brunner terbuka, cahaya dari jendelanya
memanjang melintasi lantai lorong.
Aku
berada tiga langkah dari gagang pintu ketika terdengar suara di dalam
kantor. Pak Brunner mengajukan pertanyaan. Suara yang sudah pasti suara
Grover berkata ".... cemas soal Percy, Pak."
Aku membeku.
Biasanya
aku tak suka menguping, tapi bagaimana bisa aku berusaha tidak
menguping saat mendengar sahabatku membicarakan tentangku dengan seorang
dewasa.
Aku beringsut-ingsut mendekat.
"...
sendirian musim panas ini," Grover berkata. "Maksudku, ada satu Makhluk
Baik di sekolah ini. Karena sekarang kita sudah tahu pasti, dan mereka
juga tahu—"
"Kita hanya akan memperburuk masalah kalau mendesak anak itu," kata Pak Brunner. "Kita perlu membiarkan anak itu lebih dewasa."
"Tapi dia mungkin tak punya waktu. Tenggat titik balik matahari musim panas—"
"Harus ditanggulangi tanpa dia, Grover. Biarkan dia menikmati ketaktahuannya selagi dia masih bisa."
"Pak, dia melihat makhluk itu.”
"Khayalannya saja," Pak Brunner bersikeras. "Pasti Kabut atas para siswa dan staf itu sudah cukup untuk meyakinkannya soal itu."
"Pak, saya ... saya tak bisa gagal dalam tugas lagi." Suara Grover tersekat oleh emosi. "Bapak tahu apa artinya itu."
"Kau
tidak pernah gagal, Grover," kata Pak Brunner penuh simpati.
"Semestinya saya menyadari apa sebenarnya Bu Dodds itu. Sekarang, kita
berkonsentrasi saja soal menjaga Percy tetap hidup hingga musim gugur
depan—"
Buku mitologi itu terlepas dari tanganku dan jatuh bergedebuk ke lantai.
Pak Brunner terdiam.
Jantungku berdebar-debar. Kupungut buku itu dan mundur sepanjang lorong.
Sebuah
bayangan bergerak melintasi kaca bercahaya pada pintu kantor Brunner,
bayangan sesuatu yang jauh lebih tinggi daripada guruku yang berkursi
roda, sosok yang memegang sesuatu yang mirip sekali dengan busur
pemanah.
Aku membuka pintu terdekat dan menyelinap masuk.
Beberapa
detik kemudian terdengar bunyi ketiplak perlahan, seperti balok kayu
yang teredam, lalu bunyi seperti hewan berdengus tepat di luar pintuku.
Suatu sosok gelap yang besar berhenti di depan kaca, lalu terus
berjalan.
Sebutir keringat menuruni leherku.
Di
suatu tempat di lorong Pak Brunner berkata, "Tak ada apa-apa,"
gumamnya. "Aku sering gugup sejak titik balik matahari musim dingin."
"Saya juga," kata Grover. "Tapi saya berani sumpah...”
"Kembalilah ke asrama," kata Pak Brunner. "Besok kau ada ujian sepanjang hari."
"Itu sih tak perlu diingatkan."
Lampu di kantor Pak Brunner padam.
Aku menunggu dalam gelap, rasanya lama sekali.
Akhirnya, aku menyelinap ke lorong dan berjalan kembali ke asrama.
Grover sedang berbaring di tempat tidur, mempelajari catatan ujian bahasa Latin seolah-olah dia memang di situ sepanjang malam.
"Hei," katanya dengan mata nanar. "Kau sudah siap buat ujian ini?"
Aku tak menjawab.
"Tampangmu kacau." Dia mengernyitkan kening. "Ada masalah?"
"Cuma ... capek."
Aku berbalik supaya dia tak bisa membaca mukaku, lalu mulai bersiap-siap tidur.
Aku tak mengerti apa yang kudengar di lantai bawah. Aku ingin percaya bahwa semua itu hanya khayalanku saja.
Tapi, satu hal yang pasti: Grover dan Pak Brunner membicarakanku diam-diam. Mereka berpendapat bahwa aku terancam suatu bahaya.
Keesokan
sorenya, saat aku hendak keluar dari ruang ujian bahasa Latin, dengan
mata terbayang-bayang semua nama Yunani dan Romawi yang salah kueja, Pak
Brunner memanggilku masuk lagi.
Aku sempat khawatir bahwa dia tahu aku menguping tadi malam, tetapi sepertinya masalahnya bukan itu.
"Percy," katanya. "Jangan berkecil hati soal meninggalkan Yancy. Ini ... ini jalan keluar terbaik."
Nadanya
ramah, tetapi kata-kata itu tetap membuatku jengah. Meskipun dia
berbicara lirih, anak-anak lain yang sedang menyelesaikan ujian bisa
mendengar. Nancy Bobofit tersenyum mengejek dan membuat gerakan
mengecup-ngecup sarkastis.
Aku menggumam. "Oke, Pak."
"Maksudku
..." Pak Brunner menggulirkan kursi roda maju-mundur, seolah-olah tidak
yakin harus berkata apa. "Tempat ini tidak cocok untukmu. Sebenarnya
ini tinggal tunggu waktu."
Mataku pedih.
Guru
favoritku memberitahuku di depan kelas, bahwa aku tak mampu menangani
semua ini. Setelah sepanjang tahun dia berkata dia yakin akan
kemampuanku, sekarang dia bilang aku memang ditakdirkan dikeluarkan dari
sekolah.
"Benar," kataku gemetar.
"Bukan, bukan," kata Pak Brunner. "Oh, sial. Maksudku tadi... kau tidak normal, Percy. Itu bukan hal yang—"
"Ya," cetusku. "Terima kasih banyak, Pak, sudah mengingatkan saya."
"Percy—"
Namun aku sudah pergi.
Pada hari terakhir semester, kujejalkan baju-bajuku ke dalam koper.
Anak-anak
lain saling bercanda, membicarakan rencana liburan. Ada yang akan
mendaki gunung ke Swiss. Ada yang akan naik kapal pesiar di Karibia
selama sebulan. Mereka remaja bermasalah seperti aku, tetapi mereka
remaja bermasalah yang kaya. Ayah mereka eksekutif, atau duta besar,
atau selebriti. Aku bukan siapa-siapa, dari keluarga yang bukan
siapa-siapa.
Mereka menanyakan apa kegiatanku musim panas ini, dan aku memberitahukan bahwa aku akan pulang ke kota.
Namun
aku tidak cerita bahwa aku harus mencari pekerjaan musim panas,
misalnya membawa anjing di jalan-jalan atau menjual langganan majalah.
Bahwa aku bukan mengisi waktu luang dengan mencemaskan ke mana aku akan
bersekolah musim gugur nanti.
"Oh," kata salah satu anak. "Itu juga oke."
Mereka kembali mengobrol seolah-olah aku tak pernah ada.
Satu-satunya
orang yang membuatku enggan mengucapkan selamat berpisah adalah Grover,
tetapi ternyata tak perlu. Dia memesan tiket bus Greyhound ke Manhattan
yang sama denganku, jadi kami pun ke kota bersama-sama lagi.
Sepanjang
perjalanan bus, Grover terus-menerus melirik gugup ke lorong, mengamati
penumpang lain. Aku jadi teringat bahwa dia selalu gugup dan gelisah
setiap kali kami meninggalkan Yancy, seolah-olah menduga akan terjadi
peristiwa buruk. Sebelumnya, aku selalu berasumsi bahwa dia cemas soal
dipermainkan anak lain. Tapi di Greyhound ini tak ada orang yang
menggodanya.
Akhirnya, aku tak tahan lagi. Kataku, "Mencari Makhluk Baik?"
Grover hampir terlompat dari kursinya. "Apa—apa maksudmu?"
Aku mengaku soal menguping pembicaraan antara dia dan Pak Brunner pada malam sebelum ujian.
Mata Grover berkedut. "Berapa banyak yang kaudengar?"
"Nggak banyak kok. Tenggat titik balik matahari musim panas itu apa?"
Dia meringis. "Percy, dengar ... Aku cuma khawatir mengenaimu saja. Maksudku, berhalusinasi tentang guru matematika iblis.”
"Grover—"
"Dan aku bilang pada Pak Brunner, barangkali kau terlalu stres atau apa, karena nggak ada orang yang namanya Bu Dodds, dan ..."
"Grover, kau benar-benar tak ahli berbohong."
Telinganya memerah.
Dari
saku kemejanya, dia merogoh selembar kartu nama kucel. "Pokoknya ambil
saja ini, oke? Kalau-kalau kau perlu aku musim panas ini."
Kartu itu bertulisan indah, yang sulit kubaca dengan mataku yang disleksia, tetapi akhirnya aku bisa membaca:
Grover Underwood Penjaga Bukit Blasteran Long Island, New York (800) 009-0009
"Apaan tuh Bukit Blas—"
"Jangan dibaca keras-kerasi" pekiknya. "Itu, eh ... alamat liburanku."
Hatiku
melesak. Grover punya alamat libur. Selama ini aku tak pernah terpikir
bahwa keluarganya mungkin saja kaya seperti anak-anak lain di Yancy.
"Oke," kataku muram. "Jadi, misalnya, kalau aku ingin bertamu ke istanamu."
Dia mengangguk. "Atau ... atau kalau kau perlu aku."
"Buat apa aku memerlukanmu?" Ucapan itu keluar dengan nada lebih kasar daripada yang kuniatkan.
Grover merona sampai ke jakun. "Dengar Percy, sebenarnya, aku—aku itu bertugas melindungimu."
Aku menatapnya.
Sepanjang
tahun aku terlibat perkelahian gara-gara menghalau para penindas dari
Grover. Aku susah tidur gara-gara memikirkan bahwa dia akan dipukuli
tahun depan kalau tak ada aku. Dan sekarang dia malah bertingkah
seolah-olah dia yang selama ini melindungi aku.
"Grover," kataku, "kau melindungiku dari apa persisnya?”
Terdengar
bunyi menggerinda yang gaduh dari kolong bus. Asap hitam menguar dari
dashboard dan seluruh bus dipenuhi bau telur busuk. Si sopir mengumpat
dan menepikan Greyhound ke tepi jalan raya.
Setelah
beberapa menit mengotak-atik ruang mesin, si sopir mengumumkan bahwa
kami semua harus turun. Aku dan Grover berbaris keluar bersama penumpang
lain.
Kami
berada di jalan pedesaan—tempat yang tak pernah diperhatikan kalau
orang tidak mogok di sini. Di sebelah jalan sini, tidak ada apa-apa
selain pohon mapel dan sampah dari mobil-mobil yang lewat. Di tepi jalan
raya sebelah sana, di seberang empat lajur aspal yang berkemendang
sore, ada kios buah kuno.
Buah
yang dijual tampak lezat sekali: bertumpuk-tumpuk peti apel dan ceri
yang merah darah, kenari dan abrikos (buah berbentuk bulat berwarna
oranye, berdaging banyak dan berbiji keras. Bahasa Inggrisnya,
apricot.), berkendi-kendi sari buah dalam bak berkaki cakar yang penuh
es. Tidak ada pelanggan, hanya tiga orang nenek yang duduk di kursi
goyang di bawah bayangan pohon mapel, merajut sepasang kaus kaki
terbesar yang pernah kulihat.
Maksudku,
kaus kaki ini seukuran sweter, tetapi bentuknya jelas kaus kaki. Nenek
sebelah kanan merajut sebelah. Nenek sebelah kiri merajut sebelah lagi.
Nenek di tengah-tengah memegang sekeranjang raksasa berisi benang warna
biru-elektrik.
Ketiga
nenek itu kelihatan sudah sepuh. Wajah mereka pucat dan keriput seperti
kulit buah, rambut beruban diikat ke belakang dengan bandana putih,
tangan kerempeng mencuat dari gaun katun yang dikelantang.
Yang
paling aneh, mereka tampaknya menatap tepat ke arahku. Aku menoleh
kepada Grover, hendak mengomentari hal ini. Tapi, kulihat bahwa darah
telah tersirap dari wajahnya.
Hidungnya berkedutan.
"Grover?" kataku. "Eh, sobat—"
"Katakan mereka tidak sedang menatapmu. Mereka menatapmu, ya?"
"Iya. Aneh, ya? Apa menurutmu kaus kaki itu muat untukku?"
"Nggak lucu, Percy. Nggak lucu sama sekali."
Si
nenek di tengah mengeluarkan sebuah gunting besar—emas dan perak,
bermata panjang, seperti gunting kebun. Kudengar Grover berdengap.
"Ayo naik ke bus," suruhnya kepadaku. "Ayo."
"Apa?" kataku. "Panasnya seribu derajat di dalam."
"Ayo!" Dia menarik pintu terbuka, dan memanjat masuk, tetapi aku tidak ikut.
Di
seberang jalan, ketiga nenek itu masih mengamatiku. Nenek yang di
tengah menggunting benang, dan aku berani sumpah bunyi kres-nya. dapat
kudengar, dari seberang empat lajur lalu-lintas. Kedua temannya
menggulung kaus kaki warna biru-elektrik itu menjadi bola, membuatku
bertanya-tanya untuk siapa gerangan kaus kaki itu—Sasquatch atau
Godzilla.
Di
belakang bus, si sopir membetot sepotong besar logam berasap dari
kompartemen mesin. Bus itu gemetar, dan mesinnya kembali menggerung
nyala.
Para penumpang bersorak.
"Gitu dong!" teriak si sopir. Dia menampar bus dengan topinya. "Semuanya naik lagi!"
Setelah bus melaju, aku merasa meriang, seperti kalau sedang flu.
Grover sama parahnya. Dia menggigil dan giginya bergemeretak.
"Grover?"
"Ya?"
"Apa yang kausembunyikan dariku?" Dia menyeka kening dengan lengan baju.
"Percy, apa yang kaulihat di kios buah tadi?"
"Maksudmu, nenek-nenek itu? Mereka itu apa sih? Mereka bukan seperti... Bu Dodds, kan?"
Raut
wajahnya sulit dibaca, tetapi aku mendapat firasat bahwa nenek-nenek
kios buah itu sesuatu yang jauh lebih buruk daripada Bu Dodds. Dia
berkata, "Ceritakan saja apa yang kaulihat."
Dia
memejamkan mata dan membuat gerakan dengan jarinya, seperti membuat
tanda salib, tetapi bukan. Gerakan itu hal lain, hal yang hampir—lebih
tua.
Dia berkata, "Kau melihatnya menggunting benang."
"Iya. Memangnya kenapa?" Namun, saat aku mengucapkan kata-kata itu pun, aku tahu hal itu masalah besar.
"Ini
nggak mungkin terjadi," Grover menggumam. Dia mulai menggigiti jempol.
"Aku nggak mau kejadiannya seperti yang terakhir kali."
"Terakhir kali yang mana?"
"Selalu kelas enam. Mereka nggak pernah berhasil melewati kelas enam."
"Grover," kataku, karena dia benar-benar mulai membuatku takut. "Kau ini bicara apa sih?"
"Aku boleh menemanimu sampai ke rumah dari stasiun bus, ya. Janji."
Permintaan ini terasa aneh bagiku, tetapi aku berjanji dia boleh mengantarku.
"Apa ini semacam takhayul atau apa?" tanyaku.
Tak ada jawaban.
"Grover—pengguntingan benang itu. Apa maksudnya ada orang yang akan mati?"
Dia menatapku penuh duka, seolah-olah dia sudah memilih jenis bunga apa yang paling kusukai untuk peti matiku.
3. Grover Kehilangan Celana Secara Tak Terduga
Aku mau mengaku dosa: Grover kutinggalkan begitu kami sampai di terminal bus.
Iya,
iya, aku tahu. Itu nggak sopan. Tapi Grover membuatku senewen sih,
menatapku seolah-olah aku ini sudah mati, sambil menggumam "Kenapa ini
selalu terjadi?" dan "Kenapa harus selalu di kelas enam?"
Setiap
kali dia gundah, kandung kemihnya kumat, jadi aku tak heran bahwa
begitu kami turun dari bus, dia memintaku berjanji menunggunya, lalu
langsung ke kamar kecil. Alih-alih menunggu, aku mengambil koper,
menyelinap ke luar, dan naik taksi pertama ke dalam kota.
"Persimpangan East 104th dan First," kataku kepada sopir.
Aku mau bercerita sedikit tentang ibuku, sebelum kau bertemu dengannya.
Namanya
Sally Jackson, dan dia orang paling baik sedunia. Ini membuktikan
teoriku bahwa orang yang paling baik biasanya bernasib paling jelek.
Orangtuanya mati karena kecelakaan pesawat terbang sewaktu dia berumur
lima tahun. Dia dibesarkan oleh seorang paman yang tidak terlalu peduli
kepadanya. Dia bercita-cita menjadi novelis, jadi semasa SMA dia bekerja
dan menabung gajinya, supaya bisa kuliah di tempat yang menawarkan
jurusan penulisan kreatif yang bagus.
Lalu,
pamannya terkena kanker. Jadi, dia harus berhenti bersekolah pada kelas
tiga SMA, untuk merawat pamannya itu. Setelah pamannya meninggal, dia
tak punya uang, keluarga, ataupun ijazah.
Satu-satunya
nasib baik yang pernah dialaminya adalah bertemu dengan ayahku. Aku tak
punya kenangan apa-apa soal ayahku, kecuali semacam pendar hangat, dan
mungkin kenangan samar tentang senyumnya. Ibuku tak suka membicarakan
ayahku karena itu membuatnya sedih. Dia tak punya foto ayahku.
Soalnya,
mereka tak pernah menikah. Menurut cerita ibuku, ayahku kaya dan orang
penting, dan hubungan mereka dirahasiakan. Lalu suatu hari, ayahku
berlayar melintasi Samudra Atlantik untuk perjalanan penting, dan tak
pernah pulang.
Hilang di laut, kata ibuku. Bukan mati. Hilang di laut.
Ibuku
bekerja serabutan, kuliah malam untuk memperoleh ijazah SMA, dan
membesarkan aku sendirian. Dia tak pernah mengeluh atau marah. Sekali
pun tak pernah. Tapi, aku tahu aku bukan anak yang mudah ditangani.
Akhirnya,
dia menikah dengan Gabe Ugliano. Lelaki Itu bersikap baik selama tiga
puluh detik pertama kami mengenalnya, lalu menunjukkan belangnya sebagai
orang berengsek tingkat dunia. Sewaktu aku masih kecil, dijuluki dia
Gabe si Bau. Sori, tapi itu benar lho. Bau badannya seperti pizza bawang
putih berjamur yang dibungkus celana olahraga.
Kami
berdua membuat hidup ibuku cukup sulit. Perlakuan Gabe si Bau padanya,
hubungan antara kami berdua ... contohnya, lihat apa yang terjadi
sewaktu aku pulang.
Aku
masuk ke apartemen kecil kami, berharap ibuku ludah pulang bekerja.
Tahunya Gabe si Bau sedang di ruang tamu, bermain poker bersama
sobat-sobatnya. Televisi riuh menayangkan saluran olahraga ESPN. Keripik
dan kaleng bir berserakan di karpet.
Hampir tanpa mengangkat kepala, dia berkata di sela-sela cerutunya, "Kau pulang ya."
"Mana ibuku?"
“Kerja,”katanya. “Punya duit, nggak?”
Itu Doang. Nggak ada Selamat Datang. Senang Ketemu Lagi. Bagaimana hidupmu selama enam bulan terakhir?
Gabe
tambah gembrot. Dia Mirip beruang laut tanpa gading yang memakai baju
loak. Di kepalanya Cuma ada tiga helai rambut, disisir menutupi
kepalanya yang botak, seolah-olah itu bikin dia ganteng atau apa.
Dia
mengelola Toko Besar Elektronik di Queens, tetapi dia di rumah hampir
sepanjang waktu. Aku tak tahu kenapa dia belum dipecat sejak dulu. Dia
terus saja diberi gaji, menghabiskan uang itu untuk membeli cerutu yang
bikin aku mual, dan tentu saja untuk membeli bir. Selalu bir. Setiap
kali aku di rumah, dia mengharapkan aku menyediakan duit taruhannya. Dia
menyebutnya sebagai "rahasia cowok" di antara kami. Maksudnya, kalau
aku berani mengadu pada ibuku, aku akan dihajar.
"Aku nggak punya duit," kataku kepadanya. Dia mengangkat sebelah alisnya yang berminyak.
Gabe
bisa mengendus uang seperti anjing pelacak, kemampuan yang
mengherankan, karena bau badannya sendiri mestinya menutupi bau hal
lainnya.
"Kau
naik taksi dari stasiun bus," katanya. "Bayarnya mungkin pakai dua
puluh dolar. Pasti ada kembalian enam atau tujuh dolar. Kalau mau
tinggal di bawah atap ini, kau harus ikut menanggung biaya hidup. Benar,
nggak, Eddie?"
Eddie, pengawas gedung apartemen ini, memandangku dengan sedikit simpati. "Sudahlah, Gabe," katanya. "Anak ini baru sampai."
"Benar, nggak?" ulang Gabe. Eddie merengut kepada mangkuk berisi pretzel. Kedua lelaki lainnya kentut serentak.
"Iya deh," kataku. Aku merogoh segumpal dolar dari kantongku dan melemparkan uang itu ke atas meja. "Mudah-mudahan kau kalah."
"Rapormu sudah sampai, Sok Pintar!" serunya mengikutiku. "Nggak usah sombong begitu!"
Aku
membanting pintu kamarku, yang sebenarnya bukan kamarku. Pada
bulan-bulan sekolah, kamar itu menjadi "ruang kerja" Gabe. Dia tidak
mengerjakan apa-apa di sini, selain membaca majalah mobil tua, tetapi
dia senang menjejalkan barang-barangku ke dalam lemari," kutinggalkan
sepatu bot berlumpur di ambang jendela, ini berupaya keras menjadikan
tempat itu berbau seperti cerutu dan bir basi dan kolonyenya yang busuk.
Kujatuhkan koper di atas tempat tidur. Rumahku Istanaku.
Bau Gabe hampir lebih buruk daripada mimpi buruk tentang Bu Dodds, atau bunyi gunting si nenek buah itu memutus benang.
Tapi,
begitu aku teringat hal itu, kakiku terasa lemas. Aku ingat tampang
panik Grover—bagaimana dia memaksaku berjanji bahwa aku tak akan pulang
tanpa dia. Rasa dingin tiba-tiba melanda tubuhku. Aku merasa seolah-olah
seseorang—atau sesuatu—sedang mencariku saat ini, mungkin
tergopoh-gopoh menaiki tangga, sementara cakarnya yang panjang dan
mengerikan itu tumbuh.
Lalu, terdengar suara ibuku. "Percy?"
Dia membuka pintu kamar, dan rasa takutku meleleh.
Ibuku
bisa membuatku merasa enak, hanya dengan memasuki ruangan. Matanya
berbinar dan berubah-ubah warna dalam cahaya. Senyumnya sehangat
selimut. Ada beberapa helai uban di antara rambutnya yang cokelat
panjang, tetapi aku tak pernah menganggapnya tua. Saat dia memandangku,
rasanya seperti dia melihat semua hal
"Oh, Percy." Dia memelukku erat-erat. "Ibu hampir tak percaya. Kau sudah bertambah besar sejak Natal!"
Seragam Sweet on America-nya yang berwarna merah-putih-biru menguarkan bau hal-hal terbaik di dunia: cokelat, permen hitam licorice—akar
manis, dan semua hal lain yang dijualnya di toko permen di Grand
Central. Dia membawakanku sekantong besar "sampel gratis", seperti yang
selalu dilakukannya saat aku di rumah.
Kami
duduk berdua di pinggir tempat tidur. Sementara aku mengganyang permen
masam rasa blueberry, dia membelai rambutku dan ingin tahu segala hal
yang tidak kuceritakan dalam surat-suratku. Dia tak
menyinggung-nyinggung soal aku dikeluarkan. Dia tampak tak peduli soal
itu. Tapi, apakah aku baik-baik saja? Apakah anak kesayangannya tak
apa-apa?
Aku
bilang, dia membuatku gerah dengan perhatiannya, dan memintanya jangan
dekat-dekat, tetapi dalam hati aku benar-benar senang bertemu dengannya.
Dari kamar sebelah, Gabe berteriak, "Hei, Sally— bikinkan saus kacang!"
Aku mengenakkan gigi.
Ibuku
perempuan paling baik di dunia. Semestinya dia menikah dengan
miliarder, bukan orang berengsek seperti Gabe. Demi dia, aku berusaha
bersikap ceria tentang hari-hari terakhirku di Akademi Yancy. Kubilang
aku tak terlalu kecewa soal dikeluarkan. Kali ini aku berhasil bertahan
hampir sepanjang tahun. Aku mendapat beberapa teman baru. Nilaiku cukup
bagus dalam bahasa Latin. Dan sejujurnya, perkelahian-perkelahian itu
tidak seburuk yang diceritakan kepala sekolah. Aku suka Akademi Yancy.
Sungguh. Aku menggambarkan tahun ajaran itu begitu menyenangkan, aku
sendiri hampir percaya. Tenggorokanku terasa tersumbat, saat aku
memikirkan Grover dan Pak Brunner. Bahkan Nancy Bobofit tiba-tiba terasa
tidak terlalu menyebalkan.
Hingga perjalanan ke museum itu ....
"Apa?" tanya ibuku. Matanya menyentak-nyentakkan nuraniku, berusaha mengorek semua rahasia. "Ada yang membuatmu takut?"
"Nggak,
Bu." Aku merasa tak enak berbohong. Aku ingin bercerita kepada ibuku
soal Bu Dodds dan tiga nenek dengan benang, tetapi kupikir cerita itu
akan terdengar konyol.
Dia mengerucutkan bibirnya. Dia tahu aku belum menceritakan semua, tetapi dia tidak mendesak.
"Ibu punya kejutan untukmu," katanya. "Kita akan ke pantai."
Mataku melebar. "Montauk?"
"Tiga malam—pondok yang sama."
"Kapan?" Dia tersenyum. "Begitu Ibu salin pakaian."
Aku tak percaya. Aku dan ibuku sudah dua musim panas tidak ke Montauk, karena kata Gabe, uangnya tidak cukup.
Gabe muncul di pintu dan menggeram, "Saus kacang, Sally. Kau nggak dengar, ya?"
Aku
ingin menonjoknya, tetapi aku bertemu mata dengan ibuku dan aku
mengerti bahwa dia menawariku perjanjian: bersikaplah baik kepada Gabe
sebentar saja. cuma sampai ibuku siap berangkat ke Montauk.
Setelah
Itu, kami bisa pergi dari sini. "Sebentar lagi kubuatkan, Sayang,"
katanya kepada Gabe. "Kami cuma membicarakan perjalanan itu."
Mata Gabe menyipit. "Perjalanan itu? Maksudmu, kau serius soal itu?"
"Sudah kuduga," gerutuku. "Dia tak memperbolehkan kita pergi."
"Tentu
saja boleh," kata ibuku tenang. "Ayah tirimu hanya khawatir soal uang.
Itu saja. Lagi pula," tambahnya, "Gabriel nggak akan cuma punya saus
kacang. Ibu akan membuatkannya saus tujuh lapis cukup banyak untuk
persediaan akhir pekan. Lalu, guacamole. Krim masam. Semuanya."
Gabe melunak sedikit. "Jadi, uang untuk perjalananmu ini ... diambil dari anggaran pakaianmu kan?"
"Iya, Sayang," kata ibuku.
"Dan kau tak akan membawa mobilku ke mana-mana, selain ke sana lalu pulang lagi."
"Kami akan sangat berhati-hati."
Gabe
menggaruk dagunya yang berlipat. "Barangkali kalau kau bisa cepat
membuat saus tujuh lapis itu .... Dan kalau anak itu minta maaf karena
mengganggu permainan pokerku."
Mungkin
kalau kau kutendang di tempat lemahmu, pikirku. Akan membuatmu
bernyanyi sopran selama seminggu. Tapi mata ibuku memperingatkanku agar
tak membuat Gabe marah.
Kenapa ibuku bertahan dengan lelaki ini? Aku ingin menjerit. Mengapa ibuku peduli apa pendapatnya?
"Maaf," gumamku. "Aku benar-benar menyesal, mengganggu permainan pokermu yang sangat penting. Silakan kembali bermain."
Mata Gabe menipis. Otaknya yang mungil barangkali berusaha mendeteksi sarkasme dalam pernyataanku.
"Yah, terserah deh," katanya memutuskan. Dia kembali ke permainannya.
"Terima
kasih, Percy," kata ibuku. "Begitu sampai di Montauk, kita bisa
mengobrol lebih banyak soal ... apa pun yang lupa kauceritakan, oke?"
Sesaat
kupikir kulihat kecemasan dalam matanya— rasa takut seperti yang
kulihat dalam Grover pada perjalanan bus—seolah-olah ibuku juga
merasakan udara dingin yang aneh.
Tetapi
lalu dia tersenyum kembali, dan kusimpulkan aku pasti keliru. Dia
mengacak rambutku dan keluar untuk membuatkan saus tujuh lapis untuk
Gabe.
Sejam kemudian, kami siap berangkat.
Gabe
berhenti bermain poker sebentar, cukup lama untuk melihatku menyeret
tas-tas ibuku ke dalam mobil. Dia terus berkeluh-kesah soal kehilangan
masakan ibuku—dan lebih penting lagi, Camaro 78-nya—selama atau akhir
pekan penuh.
"Jangan sampai tergores sedikit pun, anak genius," dia mengingatkanku saat aku menaikkan tas terakhir. "Satu gores pun."
Padahal
kan bukan aku yang bakal menyetir. Umurku kan baru dua belas tahun.
Tapi itu tak ada bedanya buat Gabe. Andai seekor burung camar buang air
di atas cat mobilnya, dia pasti bisa mencari cara untuk menyalahkan ku.
Saat
melihatnya tersaruk-saruk kembali ke arah gedung apartemen, aku merasa
sangat marah, sehingga melakukan sesuatu yang tak bisa kujelaskan. Saat
Gabe sampai ke pintu, aku meniru gerakan tangan yang kulihat dibuat
Grover di atas bus. Gerakan itu semacam gerakan menolak bala. Tangan
membentuk cakar di atas jantung, lalu bergerak mendorong ke arah Gabe.
Pintu kawat terbanting tertutup begitu keras, sehingga memukul pantatnya
dan membuatnya terpelanting ke atas tangga, seolah-olah dia ditembakkan
dari meriam. Mungkin sebenarnya itu cuma angin, atau kecelakaan aneh
akibat engsel, tapi aku tidak tinggal cukup lama untuk mengetahuinya.
Aku masuk ke Camaro dan menyuruh ibuku menginjak gas.
Pondok
sewaan kami terletak di pesisir selatan, jauh di ujung Long Island.
Pondok itu berbentuk kotak kecil warna pastel yang bertirai luntur,
setengah melesak di bukit pasir. Selalu ada pasir di dalam seprai dan
laba-laba di dalam lemari. Hampir sepanjang waktu, lautnya terlalu
dingin untuk direnangi.
Aku mencintai tempat itu.
Kami
selalu ke sana sejak aku masih bayi. Ibuku sudah sering ke sana sebelum
itu. Dia tak pernah benar-benar mengatakannya, tapi aku tahu kenapa
pantai itu istimewa baginya. Di sanalah dia bertemu dengan ayahku.
Semakin
dekat kami ke Montauk, dia seolah-olah semakin muda, tahun-tahun penuh
kecemasan dan kerja keras pupus dari wajahnya. Matanya berubah menjadi
warna laut.
Kami
sampai saat matahari terbenam, lalu membuka semua jendela pondok, dan
membersihkan pondok itu, sesuatu yang rutin kami kerjakan. Kami
berjalan-jalan di pantai, memberi makan keripik jagung warna biru kepada
burung camar, dan mengunyah permen jelly bean warna biru, gula-gula
saltwater taffy warna biru, dan semua sampel gratis lain yang dibawa
ibuku dari tempat kerja.
Mungkin sebaiknya kujelaskan soal makanan biru itu.
Jadi,
begini. Gabe pernah berkata kepada ibuku, bahwa makanan berwarna biru
itu tak ada. Mereka bertengkar, yang waktu itu sepertinya cuma cekcok
kecil. Namun, sejak saat itu, ibuku sengaja makan makanan biru. Dia
membuat kue ulang tahun warna biru. Dia mencampur minuman smoothie
dengan blueberry. Dia membeli keripik tortilla jagung warna biru dan
membawa pulang permen warna biru dari toko. Ini—termasuk mempertahankan
nama gadisnya, Jackson, dan tidak menyebut dirinya Ny. Ugliano—adalah
bukti bahwa dia tidak sepenuhnya memperdaya Gabe. Dia memiliki sikap
pemberontak, seperti aku.
Saat
hari sudah gelap, kami membuat api unggun. Kami memanggang sosis dan
marshmallow. Ibuku bercerita tentang masa kecilnya, sebelum orangtuanya
meninggal dalam kecelakaan pesawat. Dia bercerita tentang buku-buku yang
ingin ditulisnya suatu hari nanti, setelah dia punya cukup uang untuk
berhenti bekerja di toko permen.
Akhirnya,
aku memberanikan diri menanyakan sesuatu yang selalu kupikirkan setiap
kali kami datang ke Montauk— ayahku. Mata Ibu langsung berkaca-kaca.
Kupikir, dia akan menceritakan hal-hal yang sama seperti biasa, tetapi
aku tak pernah bosan mendengarnya.
"Dia
baik hati, Percy," katanya. "Jangkung, tampan, dan berkuasa. Tapi juga
lembut. Kau mewarisi rambut Imamnya, dan mata hijaunya."
Ibu
merogoh permen jelly biru dari kantong permennya. "Andai saja dia bisa
melihatmu, Percy. Dia tentu sangat bangga." Aku bertanya-tanya bagaimana
dia bisa berkata seperti itu. Apa hebatnya aku? Anak yang hiperaktif,
mengidap disleksia, mendapat rapor D+, dikeluarkan dari sekolah keenam
kalinya dalam enam tahun.
"Berapa umurku waktu itu?" tanyaku. "Maksudku ... waktu dia pergi?"
Ibuku menatap lidah-lidah api. "Dia hanya bersama Ibu selama satu musim panas, Percy. Tepat di pantai ini. Pondok ini."
"Tapi ... dia kenal aku sewaktu aku bayi."
"Tidak, Sayang. Dia tahu Ibu hamil, tapi dia tak pernah melihatmu. Dia harus pergi sebelum kau lahir."
Aku berusaha mencocokkan itu dengan kenyataan bahwa aku rasanya ingat ... sesuatu tentang ayahku. Pendar hangat. Senyum.
Selama
ini aku berasumsi bahwa dia kenal aku sewaktu aku bayi. Ibuku memang
tak pernah berkata begitu, tetapi tetap saja aku merasa itu pasti benar.
Sekarang, diberi tahu bahwa dia bahkan tak pernah melihatku.
Aku
marah pada ayahku. Mungkin itu bodoh, tapi aku sebal padanya karena
berlayar ke samudra, karena dia tak punya nyali untuk menikahi ibuku.
Dia meninggalkan kami, dan sekarang kami terpaksa menerima Gabe si Bau.
"Apa Ibu akan menyuruhku pergi lagi?" tanyaku kepadanya. "Ke sekolah asrama lain?"
Dia menarik sebutir marshmallow dari api.
"Entahlah, Sayang." Suaranya berat. "Ibu rasa ... Ibu rasa kita harus melakukan sesuatu."
"Karena Ibu nggak ingin aku di dekat Ibu?"
Aku
menyesali kata-kata itu begitu terucap. Mata ibuku berlinang air mata.
Dia meraih tanganku, meremasnya erat-erat. "Oh, Percy, bukan. Ibu—Ibu
terpaksa, Sayang. Demi kebaikanmu sendiri. Ibu harus menyuruhmu pergi."
Kata-katanya mengingatkan aku pada perkataan Pak Brunner—bahwa pilihan terbaik bagiku adalah meninggalkan Yancy.
"Karena aku nggak normal," kataku.
"Kau
menyebutkan hal itu seolah-olah itu hal yang buruk, Percy. Tapi kau tak
sadar, betapa penting dirimu, Ibu menyangka Akademi Yancy itu cukup
jauh. Ibu menyangka kau akhirnya aman."
"Aman dari apa?"
Dia
memandang mataku, dan ingatan masa lalu pun membanjir. Semua keanehan
menakutkan yang pernah terjadi padaku, yang sebagian telah kucoba
kulupakan.
Sewaktu
aku kelas tiga, seorang lelaki berjas hujan hitam menguntitku di taman
bermain. Ketika para guru mengancam akan memanggil polisi, dia pergi
sambil menggeram, tetapi tak ada yang percaya saat aku berkata bahwa di
bawah topinya yang lebar, lelaki itu hanya bermata satu, pas di
tengah-tengah kepalanya.
Sebelum
itu—ingatan yang sangat awal. Aku masih di prasekolah, dan seorang guru
tak sengaja membaringkan ku untuk tidur siang di sebuah ranjang yang
telah dimasuki seekor ular. Ibuku menjerit ketika dia datang menjemput
dan menemukanku bermain dengan "tali" bersisik yang lemas. Entah
bagaimana, ular itu telah kucekik hingga mati dengan tangan mungilku
yang gempal.
Di setiap sekolah selalu terjadi sesuatu yang menyeramkan, sesuatu yang tak aman, dan aku terpaksa pindah.
Aku
tahu aku semestinya bercerita kepada ibuku tentang ketiga nenek di kios
buah, dan Bu Dodds di museum seni, tentang halusinasi anehku bahwa aku
menebas guru matematikaku menjadi debu dengan pedang. Tapi, aku tak
sanggup memberitahunya. Aku punya firasat aneh bahwa berita itu akan
mengakhiri liburan kami di Montauk, dan aku tak ingin itu terjadi.
"Ibu
berusaha agar kau sedekat mungkin dengan Ibu," katanya. "Mereka bilang
itu tindakan yang keliru. Tapi hanya ada satu pilihan lain, Percy—ayahmu
ingin mengirimmu ke satu tempat lain. Dan Ibu ... pokoknya Ibu tak
sanggup melakukannya."
"Ayahku ingin aku ke sekolah khusus?"
"Bukan sekolah," katanya lirih. "Perkemahan musim panas."
Kepalaku
berputar. Mengapa ayahku—yang bahkan tidak tinggal cukup untuk
melihatku dilahirkan— membicarakan perkemahan musim panas dengan ibuku?
Dan jika itu sangat penting, mengapa ibuku tak pernah menyebut-nyebutnya
sebelum ini?
"Maaf,
Percy," katanya ketika melihat tatapan mataku. "Tapi Ibu tak bisa
membicarakan itu. Ibu—Ibu tak bisa mengirimmu ke tempat itu. Itu bisa
berarti berpisah denganmu selamanya."
"Selamanya? Tapi kalau tempat itu cuma perkemahan musim panas ...."
Dia berpaling ke api, dan aku tahu dari raut wajahnya bahwa jika aku bertanya lagi, dia akan mulai menangis.
Malam itu aku bermimpi jelas sekali.
Badai
melandai pantai. Dua ekor hewan yang cantik, seekor kuda putih dan
seekor elang emas, sedang berusaha saling membunuh di tepi ombak. Si
elang menukik dan menyabet moncong kuda itu dengan cakarnya yang besar.
Si kuda mengangkat kaki dan menendang sayap si elang.
Sementara
mereka bertempur, tanah menggemuruh. Ada suara monster terkekeh di
suatu tempat di bawah permukaan tanah, mendorong agar kedua hewan itu
berkelahi lebih sengit.
Aku
berlari ke arah mereka. Aku tahu bahwa aku harus mencegah mereka saling
membunuh, tetapi gerakanku lambat. Aku tahu aku akan terlambat. Kulihat
elang itu menukik, paruhnya ditujukan ke mata kuda yang membelalak, dan
aku menjerit, Jangan!
Aku tersentak bangun.
Di
luar pondok, badai memang melanda, jenis badai yang menumbangkan pohon
dan meruntuhkan rumah. Di lantai tak ada kuda atau elang, hanya kilat
yang menerangi sesaat, dan ombak setinggi enam meter yang berdebur di
bukit-bukit pasir seperti artileri.
Pada guntur berikutnya, ibuku terbangun. Dia duduk dengan matanya terbelalak, dan berkata, "Topan."
Aku
tahu itu gila. Long Island tak pernah mengalami topan seawal ini dalam
musim panas. Tetapi, samudra tampaknya telah lupa. Mengatasi gemuruh
angin, terdengar seruan di kejauhan, bunyi marah penuh derita yang
membuat bulu kudukku berdiri.
Lalu,
bunyi yang jauh lebih dekat, seperti palu pada pasir. Suara putus
asa—seseorang berteriak, menggedor-gedor pintu pondok kami.
Ibuku melompat turun dari tempat tidur, hanya berdaster, dan membuka kunci pintu.
Grover berdiri berbingkai pintu, dengan latar hujan deras. Tetapi dia bukan ... dia bukan benar-benar Grover.
"Kucari semalaman," dengapnya. "Apa sih maumu?"
Ibuku memandangku ngeri—bukan takut pada Grover, tetapi pada alasan kedatangannya.
"Percy,"
katanya sambil berteriak, agar terdengar mengatasi hujan. "Apa yang
terjadi di sekolah? Apa yang tidak kauceritakan kepada Ibu?"
Aku membeku, memandang Grover. Aku tak mengerti apa yang kulihat.
"O Zeu kai alloi theoil" serunya. "Dia tak jauh di belakangku! Kau tidak cerita ke ibumu?"
Aku
terlalu kaget sehingga tak menyadari bahwa dia baru saja mengumpat
dalam bahasa Yunani Kuno, dan aku memahaminya dengan sempurna. Aku
terlalu kaget sehingga tak mempertanyakan bagaimana Grover bisa sampai
ke sini sendirian, tengah malam. Karena Grover tidak bercelana—dan di
tempat yang semestinya ada kakinya ... di tempat yang semestinya ada
kakinya ....
Ibuku menatapku tegas dan berbicara dengan nada yang belum pernah digunakannya: "Percy. Ceritakan pada Ibu sekarang!."
Aku
terbata-bata bercerita tentang nenek-nenek di kios buah, dan Bu Dodds.
Ibuku menatapku, wajahnya pucat pasi dalam sambaran kilat.
Dia menyambar tasnya, melemparkan jas hujan kepadaku, dan berkata, "Masuk ke mobil. Kalian berdua. Ayo!"
Grover
berlari ke Camaro—tetapi dia bukan berlari kebetulan. Dia berderap,
menggoyang kaki belakangnya yang berbulu, dan tiba-tiba cerita Grover
tentang gangguan otot di Kakinya menjadi masuk akal bagiku. Aku mengerti
bagaimana dia bisa berlari begitu cepat dan tetap pincang saat
berjalan. Karena di tempat yang semestinya ada kaki, tak ada kaki. Yang
ada adalah kaki hewan yang berkuku belah.
4. Ibuku Mengajariku Bertarung dengan Banteng
Kami
melaju menembus malam di sepanjang jalan pedesaan yang gelap. Angin
berulang kali mengguncang Camaro. Hujan melecut kaca depan. Entah
bagaimana ibuku bisa melihat jalan, tetapi dia tetap menjejakkan kaki
pada pedal gas.
Setiap
kali ada sambaran petir, kulirik Grover yang duduk di sebelahku di
bangku belakang dan bertanya-tanya apakah aku sudah gila, atau dia
mengenakan semacam celana karpet berbulu. Tapi, tidak, baunya mirip bau
yang kuingat dari karyawisata TK ke kebun binatang—lanolin, seperti dari
wol. Bau hewan ternak yang basah.
Aku hanya terpikir untuk berkata, "Jadi, kau dan ibuku ... sudah kenal?"
Mata
Grover melirik ke kaca spion tengah, meskipun di belakang kami tak ada
mobil. "Nggak juga sih," katanya. “Maksudku, kami belum pernah bertemu
langsung. Tapi dia tahu aku mengawasimu."
"Mengawasiku?"
"Menjagamu.
Memastikan kau tak apa-apa. Tapi aku tak cuma berpura-pura menjadi
temanmu lho," tambahnya buru-buru. "Aku benar-benar temanmu."
"Em ... kau ini sebenarnya apa sih?"
"Itu nggak penting sekarang."
"Nggak penting? Dari pinggang ke bawah, sahabatku ternyata keledai—"
Grover tahu-tahu bersuara "Mbeeek!" yang tajam dan serak.
Aku
pernah mendengar dia berbunyi begitu, tetapi dulu aku selalu menganggap
itu cuma tawa gugup. Sekarang aku menyadari bahwa bunyi itu lebih
berupa embik kesal.
"Kambing!" serunya.
"Apa?"
"Aku ini kambing dari pinggang ke bawah."
"Tadi katamu, itu nggak penting."
"Mbeeek! Banyak satir yang akan menginjak-injakmu kalau dihina seperti itu, tahu!"
"Eh. Tunggu, Satir. Maksudmu seperti ... mitos Pak Brunner?"
"Apa nenek-nenek di kios buah itu mitos, Percy? Apa Bu Dodds itu mitos?"
"Jadi, kau mengaku Bu Dodds itu pernah ada!"
"Tentu saja."
"Jadi kenapa—"
"Semakin
sedikit yang kautahu, semakin sedikit juga monster yang tertarik
padamu," kata Grover, seolah-olah itu semestinya sudah gamblang. "Kami
menyampirkan Kabut pada mata manusia. Tadinya kami berharap bahwa kau
menganggap Makhluk Baik itu cuma halusinasi. Tapi sia-sia. Kau mulai
menyadari siapa dirimu."
"Siapa diri—tunggu, apa maksudmu?"
Suara
seruan aneh itu terdengar lagi dari suatu tempat di belakang kami,
lebih dekat daripada sebelumnya. Apa pun yang mengejar kami masih terus
menguntit.
"Percy," kata ibuku, "terlalu banyak yang harus dijelaskan dan waktunya tidak cukup. Kita harus membawamu ke tempat yang aman."
"Aman dari apa? Siapa yang mengejarku?"
"Bukan
orang penting kok," kata Grover, jelas masih sebal soal komentar
keledai itu. "Cuma Penguasa Maut dan beberapa kaki tangannya yang paling
haus darah."
"Grover!"
"Maaf, Bu Jackson. Bisa lebih cepat, nggak?"
Aku
berusaha memahami apa yang sedang terjadi, tetapi tak mampu. Aku tahu
ini bukan mimpi. Aku tuh tak punya imajinasi. Aku tak mungkin bisa
mengkhayalkan kejadian seaneh ini.
Ibuku
membelok tajam ke kiri. Kami menikung ke jalan yang lebih sempit,
melaju melewati rumah-rumah peternakan yang gelap dan bukit-bukit
berhutan dan plang PETIK SENDIRI STROBERI pada pagar-pagar putih.
"Kita mau ke mana?" tanyaku.
"Perkemahan
musim panas yang Ibu ceritakan tadi." Suara ibuku tegang; dia berusaha
agar tidak takut, demi aku. "Ayahmu ingin kau ke sana."
"Tapi Ibu nggak ingin aku ke sana."
"Tolong, Sayang," ibuku memohon. "Ini sudah cukup dulu. Cobalah mengerti. Kau sedang terancam bahaya."
"Karena ada nenek-nenek yang menggunting benang."
"Itu
bukan nenek-nenek," kata Grover. "Itu ketiga Moirae. Kau tahu apa
artinya—bahwa mereka muncul di depanmu? Mereka hanya melakukan itu kalau
kau akan kalau seseorang akan mati."
"Wah. Kau bilang 'kau'."
"Nggak. Aku bilang 'seseorang'."
"Maksudmu 'kau'. Tepatnya, aku."
"Maksudku 'seseorang'. Bukan kau."
"Anak-anak!" kata ibuku.
Dia
memutar kemudi tajam ke kanan, dan sekilas kulihat sosok yang
dihindarinya dengan membelok—sosok gelap mengepak-ngepak yang kini
hilang dalam badai di belakang kami.
"Apa itu tadi?" tanyaku.
"Kita sudah hampir sampai," kata ibuku, tak menggubris pertanyaanku. "Satu setengah kilometer lagi. Semoga. Semoga. Semoga."
Aku tak tahu kami sudah hampir sampai ke mana, tetapi aku memajukan tubuh di mobil, menunggu, ingin cepat-cepat tiba.
Di luar tak ada apa-apa selain hujan dan gelap—jenis daerah pedesaan kosong yang ada di ujung Long Island.
Aku
memikirkan Bu Dodds dan ketika dia berubah menjadi makhluk bergigi
tajam dan bersayap kulit. Tangan dan kakiku langsung lemas, akibat rasa
ngeri yang terlambat datang. Dia memang bukan manusia. Waktu itu dia
memang ingin membunuhku.
Lalu,
aku teringat Pak Brunner ... dan pedang yang dilemparnya kepadaku.
Sebelum aku sempat menanyakan hal itu kepada Grover, bulu kudukku
berdiri. Ada kilas cahaya menyilaukan, dor! yang mengguncang rahang, dan
mobil kami meledak.
Aku ingat diriku terasa tak berbobot, seolah-olah aku diremukkan, digoreng, dan disemprot sekaligus.
Aku mengangkat kening yang menempel pada bagian belakang kursi pengemudi dan berkata, "Aduh."
"Percy!" jerit ibuku. "Aku nggak apa-apa.”
Aku
berusaha mengusir rasa pusing. Aku belum mati. Mobil tidak benar-benar
meledak. Kami ternyata selip ke selokan. Kedua pintu di sisi pengemudi
bersandar pada lumpur. Atap terbelah pecah seperti cangkang telur, dan
hujan mengalir masuk.
Petir.
Itu satu-satunya penjelasan. Kami tersambar petir, sehingga keluar dari
jalan. Di sebelahku di bangku belakang, ada onggokan besar yang tak
bergerak. "Grover!"
Dia
melorot di kursi, darah menetes dari sudut bibirnya. Aku mengguncang
panggulnya yang berbulu, berpikir. Tidak! Meskipun kau hewan ternak, kau
sahabatku dan aku tak ingin kau mati! Lalu dia mengerang
"Makanan," dan aku pun tahu bahwa masih ada harapan.
"Percy," kata ibuku, "kita harus ..." Suaranya menghilang.
Aku
menoleh ke belakang. Dalam sambaran kilat, melalui kaca belakang yang
terciprat lumpur, kulihat sebuah sosok yang terseok-seok ke arah kami di
bahu iklan. Melihatnya membuat kulitku merinding. Siluet seseorang yang
bertubuh besar, seperti pemain football. Sepertinya dia memegangi
selimut di atas kepala. Bagian atas tubuhnya gembung dan kabur. Karena
tangannya terangkat, dia kelihatan seolah-olah punya tanduk.
Aku menelan ludah keras-keras. "Siapa—"
"Percy," kata ibuku, benar-benar serius. "Keluar dari mobil"
Ibuku
membantingkan tubuhnya pada pintu pengemudi. Pintu itu tertutup karena
tertahan lumpur. Aku mencoba pintuku. Terjepit juga. Aku menatap lubang
di atap dengan putus asa. Lubang itu bisa saja menjadi jalan keluar,
tetapi tepinya mendesis dan berasap.
"Keluar dari sisi penumpang!" perintah ibuku. "Percy—kau harus lari. Lihat pohon besar itu?"
"Apa?"
Sambaran
kilat lagi, dan melalui lubang berasap di atap, kulihat pohon yang
dimaksudnya: pohon pinus raksasa ala pohon Natal Gedung Putih di puncak
bukit terdekat.
"Itu
garis batas wilayah perkemahan," kata ibuku. "Lewati bukit itu, nanti
terlihat rumah pertanian besar di lembah. Lari dan jangan menengok ke
belakang. Teriak minta tolong. Jangan berhenti sampai tiba di pintu."
"Ibu harus ikut."
Wajahnya pucat, matanya sesedih saat dia memandang samudra.
"Nggak!" teriakku. "Ibu harus ikut aku. Bantu aku menggotong Grover."
"Makanan!" erang Grover, sedikit lebih lantang.
Lelaki
yang kepalanya berselimut itu semakin mendekati kami, bersuara-suara
mendengus dan menggeram. Sementara dia mendekat, kusadari dia tak
mungkin sedang memegangi selimut di atas kepala karena tangannya—yang
gemuk dan besar—berayun di samping tubuhnya. Itu bukan selimut. Itu
berarti, benda besar berbulu yang terlalu besar untuk menjadi kepalanya
itu ... memang kepalanya. Dan ujung yang mirip tanduk itu ...
"Dia tak mengincar kami," kata ibuku. "Dia mengincarmu. Lagi pula, Ibu tidak bisa melintasi batas wilayah itu."
"Tapi ...."
"Kita nggak ada waktu, Percy. Pergilah. Ibu mohon."
Lalu,
aku marah—marah pada ibuku, marah pada Grover si kambing, pada makhluk
bertanduk yang terseok-seok ke arah kami perlahan-lahan dan
lambat-lambat seperti ... seperti seekor banteng.
Aku memanjat melewati Grover dan mendorong pintu keluar, ke arah hujan.
"Kita ke sana bareng-bareng. Ayo, Bu."
"Sudah Ibu bilang—"
"Bu! Aku nggak mau meninggalkan Ibu. Bantu aku mengangkut Grover."
Aku
tak menunggu jawaban. Aku memanjat keluar, sambil menyeret Grover dari
mobil. Ternyata dia sangat ringan, tetapi aku tak mungkin bisa
menggotongnya terlalu jauh jika ibuku tidak membantuku.
Bersama-sama
kami menyampirkan lengan Grover pada bahu dan mulai tertatih-tatih
mendaki bukit, melalui rumput basah setinggi pinggang.
Saat
menoleh ke belakang, aku pertama kalinya melihat monster itu dengan
jelas. Tinggi tubuhnya paling sedikit dua meter, lengan dan kakinya
seolah-olah berasal dari sampul majalah Muscle Man—tonjolan biseps dan
trisep dan seps-seps lainnya, semuanya dijejalkan seperti bola bisbol di
bawah kulit yang dililit urat darah. Dia tak mengenakan pakaian kecuali
baju dalam—tepatnya, celana dalam putih cerah—yang mungkin sebenarnya
menggelikan, tetapi bagian atas tubuhnya demikian menakutkan. Bulu kasar
warna cokelat dimulai sekitar pusar dan semakin lebat saat mencapai
bahu.
Lehernya
merupakan kumpulan otot dan bulu yang menopang kepala raksasa. Di
kepalanya ada moncong sepanjang lenganku, lubang hidung beringus yang
dihiasi cincin kuningan berkilau, mata hitam yang kejam, dan tanduk
hitam-putih raksasa. Ujung tanduk itu sangat tajam; peruncing pensil
listrik saja tak mungkin bisa meruncingkan setajam itu.
Jelas
aku kenal monster itu. Dia ada di dalam salah satu cerita pertama yang
dikisahkan Mr. Brunner kepada kami. Tapi dia tak mungkin benar-benar
ada.
“Itu—"
"Anak Pasiphae," kata ibuku. "Andai Ibu tahu, betapa mereka ingin membunuhmu."
"Tapi dia si Min—"
"Jangan ucapkan namanya," ibuku memperingatkan. “Nama memiliki kekuatan."
Pohon pinus masih terlalu jauh—paling sedikit seratus meter menaiki bukit.
Aku menoleh lagi ke belakang.
Manusia-banteng
itu membungkuk di atas mobil kami, melihat ke dalam jendela—atau
persisnya bukan melihat. Lebih seperti mengendus, menyeruduk. Aku tak
tahu kenapa dia repot-repot melakukannya, karena kami hanya berjarak
lima belas meter darinya.
"Makanan?" erang Grover.
"Ssst," kataku kepadanya. "Bu, dia sedang apa? Apa dia nggak lihat kita?"
"Pandangan dan pendengarannya buruk," kata ibuku. “Dia mengandalkan bau. Tapi sebentar lagi dia akan tahu di mana kita berada."
Seolah-olah
diberi aba-aba, si manusia-banteng berteriak murka. Dia mencengkeram
atap Camaro milik Gabe yang sudah robek itu, kerangkanya berderak dan
mengering. Dia mengangkat mobil itu ke atas kepala dan membantingnya ke
jalan. Mobil itu terbanting ke atas aspal basah dan meluncur dalam hujan
bunga api sekitar delapan puluh meter sebelum berhenti. Tangki gasnya
meledak.
Tidak segores pun, kuingat Gabe berkata. Ups.
"Percy,"
kata ibuku. "Saat dia melihat kita, dia akan menyeruduk. Tunggu sampai
detik terakhir, lalu lompat menghindar—tepat ke samping. Dia tak terlalu
mampu mengubah arah begitu dia menyeruduk. Kau mengerti?"
"Dari mana Ibu tahu semua ini?"
"Ibu
sudah lama mencemaskan terjadinya serangan seperti ini. Semestinya Ibu
sudah menduga ini. Ibu egois, mempertahankanmu dekat-dekat Ibu."
"Mempertahankanku dekat-dekat? Tapi—"
Terdengar lagi teriakan amarah, dan manusia-banteng itu mulai berlari menaiki bukit.
Dia telah mengendus kami.
Pohon pinus itu tinggal beberapa meter lagi, tetapi bukit itu semakin terjal dan licin, dan Grover tetap saja berat.
Manusia-banteng itu semakin dekat. Beberapa detik lagi dia akan mencapai kami.
Ibuku pasti sudah lelah, tetapi dia mengangkut Grover.
"Ayo, Percy! Berpencar! Ingat kata Ibu."
Aku
tak ingin berpisah, tetapi aku mendapat firasat dia benar—ini
satu-satunya kesempatan kami. Aku berlari cepat ke kiri, berbalik, dan
melihat makhluk itu berlari ke arahku. Mata hitamnya berbinar benci.
Baunya seperti daging busuk.
Dia menundukkan kepala dan menyeruduk. Tanduk setajam silet itu diarahkan tepat ke dadaku.
Rasa
takut di perutku membuatku ingin kabur, tetapi itu tidak ada gunanya.
Aku tak akan bisa berlari lebih cepat daripada makhluk ini. Jadi aku
bertahan, dan pada saat terakhir, aku melompat ke samping.
Manusia-banteng
itu melesat lewat seperti kereta api beruang, lalu berteriak frustrasi
dan berbalik, tetapi kali ini tidak ke arahku, tetapi ke arah ibuku,
yang sedang Meletakkan Grover di rumput.
Kami
telah mencapai puncak bukit. Di sisi seberang kulihat sebuah lembah,
persis seperti yang dikatakan Ibuku. Lampu-lampu rumah pertanian
bersinar kuning menembus hujan. Tapi itu masih delapan ratus meter lagi.
Kami tak mungkin bisa mencapainya.
Si
manusia-banteng mendengus, mengais-ngais tanah. Dia terus memandang
ibuku, yang sekarang mundur perlahan-lahan menuruni bukit, kembali ke
arah jalan, berusaha memancing monster itu menjauhi Grover.
"Lari, Percy!" perintahnya. "Ibu tak bisa masuk lebih jauh. Lari!"
Tapi
aku hanya berdiri di situ, membeku ketakutan, sementara monster itu
menyeruduknya. Ibuku berusaha menyamping, seperti yang diperintahkannya
kepadaku, tetapi si monster sudah memetik pelajaran. Tangannya terjulur
dan menyambar leher ibuku saat ibuku berusaha menyingkir. Si
manusia-banteng mengangkatnya sementara ibuku meronta, menendang-nendang
dan memukul-mukul udara.
"Ibu!"
Dia menatap mataku, berusaha mengeluarkan satu kata terakhir: "Lari!"
Lalu,
dengan geram murka, monster itu mempererat cengkeramannya pada leher
ibuku, dan ibuku melarut di depan mataku, meleleh ke dalam cahaya,
sebuah bentuk keemasan yang berpendar, seolah-olah dia proyeksi
hologram. Denyar menyilaukan, dan dia tahu-tahu saja ... lenyap.
"Tidak!"
Amarah
menggantikan rasa takutku. Kekuatan baru pun membakar kaki dan
tanganku—gejolak energi yang sama dengan yang kuperoleh saat Bu Dodds
menumbuhkan cakar.
Dengan
gaya mengancam si manusia-banteng menghampiri Grover, yang tergeletak
tak berdaya di rumput. Monster itu membungkuk, mengendus-endus
sahabatku, seolah-olah dia akan mengangkat Grover dan membuatnya melarut
juga.
Aku tak mungkin membiarkan itu.
Aku menanggalkan jas hujanku yang berwarna merah.
"Hei!" teriakku sambil melambai-lambaikan jaket itu, sambil berlari ke samping monster itu. "Hei, Bego! Daging cincang!"
"Raaaarrrrr!" Monster itu berputar ke arahku, mengayun-ayunkan kepalannya yang gemuk.
Aku
mendapat ide—ide tolol, tetapi lebih baik daripada tak ada ide sama
sekali. Aku memunggungi pohon pinus besar itu dan melambaikan jaket
merahku di depan si manusia-banteng, berniat melompat menyingkir pada
detik terakhir. Tetapi kejadiannya tidak seperti itu.
Si manusia-banteng menyeruduk terlalu cepat, tangannya terulur untuk menyambarku, ke mana pun aku mencoba mengelak.
Waktu melambat.
Kakiku
menegang. Aku tak bisa melompat ke samping, jadi aku meloncat ke atas,
menolakkan tubuh dengan menendang kepala makhluk itu, memanfaatkannya
sebagai papan loncat, berputar di tengah udara, dan mendarat di
lehernya.
Bagaimana
aku bisa melakukan itu? Aku tak sempat memikirkannya. Satu milidetik
kemudian, kepala monster itu menabrak pohon dan benturannya nyaris
membuat gigiku tanggal.
Si
manusia-banteng terhuyung-huyung, berusaha membuatku jatuh. Aku
mengunci tanganku di sekeliling tanduknya, berusaha agar tidak
terlempar. Guntur dan kilat masih menyambar-nyambar. Hujan masuk ke
mata. Bau daging busuk menyengat lubang hidung.
Monster
itu berguncang-guncang dan melompat-lompat seperti banteng rodeo.
Semestinya dia mundur saja ke pohon dan menjepitku hingga gepeng, tetapi
aku mulai menyadari bahwa makhluk ini hanya punya satu gigi persneling:
maju.
Sementara
itu, Grover mulai mengerang di antara rumput. Aku ingin membentaknya
agar tutup mulut, tetapi dalam keadaan terlontar-lontar begini, jika aku
membuka mulut, lidahku pasti tergigit. "Makanan!" erang Grover.
Si
manusia-banteng berputar ke arahnya, mengais-ngais tanah lagi, dan
bersiap-siap menyeruduk. Aku teringat bagaimana dia mencekik habis nyawa
dari tubuh ibuku, membuatnya menghilang dalam denyar cahaya. Murka pun
mengisi diriku seperti bahan bakar beroktan tinggi. Aku menggenggam satu
tanduk dengan kedua tangan, lalu menarik ke belakang dengan segenap
tenaga. Monster itu menegang, mendengus kaget, lalu—tas!
Si
manusia-banteng berteriak dan melontarkanku ke udara. Aku terjengkang
di rumput. Kepalaku terbentur batu. Ketika aku duduk, pandanganku kabur.
Tetapi di tanganku ada tanduk, senjata tulang bergerigi seukuran pisau.
Monster itu menyeruduk.
Tanpa
berpikir, aku berguling ke samping dan bangkit berlutut. Sementara
monster itu lewat, aku menghunjamkan tanduk patah itu tepat di sisi
tubuhnya, di bawah tulang rusuknya yang berbulu.
Manusia-banteng
itu menggeram kesakitan. Dia mengayun-ayunkan tangan, mencakar-cakar
dadanya, dan mulai hancur—tidak seperti ibuku, dalam denyar cahaya
keemasan, tetapi seperti pasir yang buyar, tertiup segumpal-segumpal
oleh angin, sama seperti cara Bu Dodds terbuyarkan.
Monster itu hilang.
Hujan
sudah berhenti. Badai masih bergemuruh, tetapi hanya di kejauhan.
Badanku bau seperti ternak dan lututku gemetar. Kepalaku terasa seperti
akan pecah. Aku lemas dan takut dan gemetar akibat duka. Aku baru saja
melihat ibuku menghilang. Aku ingin berbaring dan menangis, tetapi masih
ada Grover yang perlu bantuanku. Aku berhasil menariknya berdiri dan
terhuyung-huyung turun ke lembah, ke arah lampu rumah peternakan. Aku
menangis, memanggil-manggil ibuku, tetapi aku tetap memegangi Grover—aku
tak akan melepaskannya.
Hal
terakhir yang kuingat adalah roboh di beranda kayu, menatap kipas angin
di langit-langit yang berputar-putar di atasku, ngengat yang
beterbangan mengelilingi cahaya kuning, dan wajah tegas seorang pria
berjenggot yang tampak tak asing dan seorang gadis cantik, rambutnya
pirang ikal seperti rambut putri raja. Mereka berdua memandangku dari
atas, dan si gadis itu berkata, “Dialah orangnya. Pasti dia."
"Diam, Annabeth," kata lelaki itu. "Dia masih sadar. Bawa dia masuk."
5. Aku Bermain pinochle dengan Seekor Kuda
Aku bermimpi aneh-aneh, penuh hewan ternak. Sebagian besar ingin membunuhku. Sisanya ingin makanan.
Sepertinya
aku terbangun beberapa kali, tetapi apa yang kudengar dan kulihat tidak
masuk akal, jadi aku pingsan lagi saja. Aku ingat berbaring di kasur
yang empuk, disuapi makanan yang rasanya seperti berondong jagung
bermentega, tetapi bentuknya puding. Si gadis berambut pirang ikal itu
menunggu di dekatku, menyeringai sambil membersihkan tetesan dari daguku
dengan sendok.
Ketika dilihatnya mataku terbuka, dia bertanya, "Apa yang akan terjadi pada titik balik matahari musim panas?"
Aku berhasil menguak, "Apa?"
Dia
memandang ke sekeliling, seolah-olah takut ada yang menguping. "Apa
yang terjadi? Apa yang dicuri? Kita cuma punya waktu beberapa minggu!"
"Maaf," gumamku, "aku nggak ...."
Pintu diketuk, dan gadis itu cepat-cepat mengisi mulutku dengan puding.
Ketika aku terbangun lagi, gadis itu sudah tak ada.
Seorang
pemuda kekar berambut pirang, seperti peselancar, berdiri di sudut
kamar, menjagaku. Dia punya mata biru—paling sedikit selusin—di pipinya,
keningnya, punggung tangannya.
Ketika
akhirnya aku benar-benar siuman, tak ada yang aneh soal rumah yang
kutempati, selain bahwa tempat itu lebih bagus daripada tempat yang
biasa kudiami. Aku duduk di kursi santai di beranda yang besar,
memandang ke arah padang rumput di perbukitan hijau di kejauhan.
Anginnya beraroma stroberi. Ada selimut yang menutupi kakiku, dan bantal
mengganjal kepala. Semua itu nyaman, tetapi mulutku terasa seolah-olah
telah dibuat sarang oleh seekor kalajengking. Lidahku kering dan tak
enak dan setiap gigiku terasa sakit.
Di
meja di sebelahku ada minuman dalam gelas tinggi. Minuman itu seperti
es sari apel, ditambah sedotan hijau dan payung kertas yang ditusukkan
pada manisan ceri maraschino.
Tanganku begitu lemah sehingga gelas itu hampir saja terjatuh saat kupegang.
"Hati-hati," terdengar suara yang akrab.
Grover
sedang bersandar di langkan beranda, penampilannya seperti dia sudah
seminggu tidak tidur. Dia mengepit sebuah kotak sepatu. Dia mengenakan
celana jins biru, sepatu Converse, dan kaus Jingga cerah yang bertulisan
PERKEMAHAN BLASTERAN. Hanya Grover yang biasa. Bukan bocah-kambing itu.
Jadi,
mungkin aku cuma mimpi buruk. Mungkin ibuku baik-baik saja. Kami masih
berlibur, dan kami singgah di rumah besar ini entah kenapa. Dan ...
"Kau
menyelamatkan nyawaku," kata Grover. "Aku ... yah, paling sedikit aku
semestinya .... Aku kembali ke bukit. Barangkali kau mau ini."
Dengan penuh hormat, dia meletakkan kotak sepatu itu di pangkuanku.
Di
dalamnya ada sebuah tanduk banteng berwarna hitam-putih, pangkalnya
bergerigi karena patah, ujungnya terciprat darah kering. Ternyata bukan
mimpi buruk.
"Minotaurus," kataku.
"Err, Percy, sebaiknya-—"
"Itu sebutan buat makhluk itu dalam mitos Yunani kan?" tanyaku. "Minotaurus. Setengah manusia, setengah banteng."
Grover beringsut kikuk. "Kau pingsan dua hari. Seberapa banyak yang kau ingat?"
Ibuku. Apakah dia benar-benar.
Grover
menunduk. Aku menatap padang rumput. Ada beberapa kumpulan pohon,
sungai berkelok, beberapa hektare stroberi yang terhampar di bawah
langit biru. Lembah itu dikelilingi bukit beralun, dan bukit yang
tertinggi, tepat di hadapan kami, adalah bukit yang puncaknya ditumbuhi
pohon pinus raksasa itu. Bahkan itu pun tampak indah disinari mentari.
Ibuku sudah tiada. Semestinya seluruh dunia ini hitam dan dingin.
Semestinya tak ada yang tampak indah.
"Maaf," isak Grover. "Aku gagal. Aku—aku satir terburuk di dunia."
Dia
mengerang, membanting kakinya begitu keras sampai-sampai terlepas.
Maksudku, sepatu Conversenya terlepas. Bagian dalamnya dipenuhi gabus,
kecuali sebuah lubang berbentuk kuku hewan.
"Oh, Styx!" gerutunya.
Guntur menggelegar di langit cerah.
Sementara Grover bergulat memasukkan kaki kambingnya kembali ke dalam kaki palsu itu, kupikir, Nah, sudah ada buktinya.
Grover
seorang satir. Aku berani bertaruh bahwa jika rambutnya yang hitam ikal
itu kucukur, aku akan menemukan tanduk kecil di kepalanya. Tapi, aku
terlalu merana untuk peduli bahwa satir ternyata benar-benar ada, atau
bahkan minotaurus. Itu semua berarti bahwa ibuku benar-benar telah
diremas hingga tiada, larut dalam cahaya kuning.
Aku
sendirian. Yatim-piatu. Aku harus tinggal bersama ... Gabe si Bau?
Tidak. Itu tak akan pernah terjadi. Mendingan aku tinggal di jalanan.
Aku akan berpura-pura sudah berusia tujuh belas tahun dan masuk tentara.
Aku akan melakukan sesuatu.
Grover masih terisak-isak. Anak malang itu—kambing malang, satir, apalah—bertingkah seolah-olah dia menyangka akan dipukul.
Kataku, "Itu bukan salahmu."
"Itu salahku. Semestinya aku melindungimu."
"Apakah ibuku yang memintamu melindungiku?"
"Bukan. Tapi itu tugasku. Aku ini penjaga. Setidaknya ... dulu aku penjaga."
"Tapi kenapa ..." Tiba-tiba aku merasa pusing, penglihatanku bergoyang.
"Jangan memaksakan diri," kata Grover. "Ini." Dia membantuku memegang gelas dan meletakkan sedotan di bibirku.
Aku
berjengit akibat rasa minuman itu, karena aku menyangka akan mencicip
sari apel. Minuman itu sama sekali bukan sari apel. Minuman itu kue
serpih cokelat. Kue cair. Dan bukan cuma kue—kue serpih cokelat warna
biru buatan ibuku, bermentega dan panas, serpih cokelatnya masih
meleleh. Saat meminumnya, seluruh tubuhku terasa hangat dan baik, penuh
energi. Dukaku tidak sirna, tetapi aku merasa seolah-olah ibuku baru
saja membelai pipiku, memberiku kue seperti yang selalu dilakukannya
sewaktu aku masih kecil, dan memberitahuku bahwa segalanya akan
baik-baik saja.
Tahu-tahu
saja aku sudah menghabiskan seluruh gelas itu. Aku menatapnya, yakin
bahwa aku baru saja minum minuman panas, tetapi es batu di dalam gelas
itu bahkan belum meleleh.
"Enak?" tanya Grover. Aku mengangguk.
"Rasanya seperti apa?" Dia terdengar begitu penuh damba, aku jadi merasa bersalah.
"Maaf," kataku. "Semestinya aku menawarimu mencicipi."
Matanya melebar. "Bukan! Bukan itu maksudku. Aku cuma ... ingin tahu."
"Kue serpih cokelat," kataku. "Buatan ibuku. Buatan sendiri."
Dia menghela napas. "Dan bagaimana perasaanmu?"
"Cukup kuat untuk melempar Nancy Bobofit sejauh seratus meter."
"Itu bagus," katanya. "Bagus. Kurasa kau aman-aman saja kalau minum itu lagi."
"Apa maksudmu?"
Dia
mengambil gelas kosong itu dariku dengan hati-hati, seolah-olah itu
dinamit, dan meletakkannya lagi di atas meja. "Ayo. Chiron dan Pak D
menunggu."
Seluruh rumah peternakan itu dikelilingi beranda.
Kakiku
terasa goyah, berusaha berjalan sejauh itu. Grover menawarkan
membawakan tanduk Minotaurus itu, tetapi aku tetap memegangnya. Aku
membayar cendera mata itu dengan sangat mahal. Aku tak mau
melepaskannya.
Saat kami memutar ke seberang rumah, napasku tersendat.
Agaknya
kami berada di pantai utara Long Island, karena pada sisi rumah ini,
lembahnya membentang hingga ke air, yang tampak berkilauan sekitar satu
setengah kilometer di kejauhan. Antara tempat ini dan tempat itu, aku
tak mampu memproses segala sesuatu yang kulihat. Berbagai gedung yang
mirip dengan arsitektur Yunani kuno—paviliun terbuka, amfiteater, arena
bundar—bertebaran di bentangan tanah itu, tetapi semuanya tampak baru,
tiang-tiang marmer putihnya berkilauan di dalam sinar matahari. Di
lapangan pasir di dekat sini, selusin satir dan anak usia SMA sedang
bermain voli. Kano meluncur di atas sebuah danau kecil. Anak-anak
berkaus Jingga cerah seperti kaus Grover sedang berkejaran di sekitar
sekumpulan pondok yang tersembunyi di hutan. Beberapa anak menembak
target di arena panah. Beberapa anak menunggang kuda menuruni jalan
berhutan, dan, kecuali aku sedang berhalusinasi, beberapa kuda itu
memiliki sayap.
Di
ujung beranda, dua orang lelaki duduk berhadapan di meja kartu. Si
gadis pirang yang waktu itu menyuapiku puding rasa berondong jagung
sedang bersandar pada langkan beranda di sebelah mereka.
Lelaki
yang menghadap ke arahku bertubuh kecil, tetapi gempal. Hidungnya
merah, matanya besar dan berair, dan rambut ikalnya begitu hitam
sampai-sampai hampir ungu. Dia mirip lukisan malaikat bayi—apa namanya,
kerubut? Bukan, kerubin. Tepat. Dia mirip kerubin yang menua di rumah
kumuh. Pakaiannya kemeja Hawaii bercorak harimau. Dia pasti cocok kalau
ikut pesta poker Gabe, tetapi aku mendapat firasat orang ini dapat
mengalahkan ayah tiriku sekalipun soal berjudi.
"Itu
Pak D," gumam Grover kepadaku. "Dia direktur perkemahan. Yang sopan,
ya. Gadis itu, itu Annabeth Chase. Dia cuma pekemah, tetapi dia sudah
berada di sini lebih lama daripada siapa pun. Dan kau sudah kenal Chiron
Dia menunjuk lelaki yang memunggungiku.
Pertama-tama,
kusadari dia duduk di kursi roda. Lalu aku mengenali jaket wolnya,
rambut cokelat yang menipis, jenggot yang kusut.
"Pak Brunner!" seruku.
Guru
bahasa Latin itu menoleh dan tersenyum kepadaku. Matanya berbinar jail,
seperti yang kadang terlihat di kelas saat dia mengeluarkan kuis
mendadak dan membuat semua jawaban soal pilihan gandanya B.
"Ah, bagus, Percy," katanya. "Sekarang ada empat orang untuk main pinochle."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar