Minggu, 27 Mei 2012

PERCY JACKSON & THE OLYMPIANS 1


PERCY JACKSON & THE OLYMPIANS

1. Aku Tak Sengaja Memusnahkan Guru Pra-Aljabarku

Aku tak pernah ingin jadi anak blasteran. Kalau kau membaca cerita ini karena menduga kau anak blasteran juga, kunasihati nih: tutup buku ini sekarang juga. Pokoknya percayai saja apa pun kebohongan yang diceritakan ayah-ibumu tentang kelahiranmu, dan cobalah menjalani hidup normal.
Menjadi blasteran itu berbahaya. Menyeramkan. Sering bikin orang terbunuh secara menyakitkan dan mengerikan.
Kalau kau anak normal, yang membaca ini karena menganggap ini fiksi, bagus. Silakan baca terus. Aku iri denganmu, bisa percaya bahwa semua peristiwa ini tak pernah terjadi.
Tapi, kalau kau mengenali dirimu di halaman-halaman ini kalau kau merasa sesuatu menggeliat dalam dirimu cepat hentikan bacaanmu. Mungkin saja kau sama seperti kami. Dan begitu kau menyadari itu, cuma soal waktu saja sampai mereka juga merasakannya, dan mereka akan memburumu.
Jangan bilang aku tak pernah memperingatkanmu.
Namaku Percy Jackson. Umurku dua belas tahun. Hingga beberapa bulan yang lalu, aku siswa asrama di Akademi Yancy, sekolah swasta untuk anak bermasalah di New York Utara.
Apa aku anak bermasalah? Yah. Bisa dibilang begitu.
Kalau mau bukti, aku bisa mulai bercerita dari titik mana pun dalam hidup pendekku yang mengenaskan ini, tetapi keadaan mulai benar-benar memburuk pada bulan Mei lalu, sewaktu murid kelas enam kami berkaryawisata ke Manhattan—dua puluh delapan anak sakit jiwa dan dua orang guru naik bus sekolah kuning, menuju Museum Seni Metropolitan untuk melihat barang-barang Yunani dan Romawi Kuno.
Iya, aku juga tahu—kedengarannya seperti penyiksaan. Sebagian besar karyawisata Yancy memang begitu.
Tapi, karyawisata kali ini dibimbing Pak Brunner, guru bahasa Latin kami, jadi aku sempat berharap.
Pak Brunner ini pria setengah baya yang pakai kursi roda. Rambutnya sudah jarang, jenggotnya kusut, dan jas wolnya sudah berumbai-rumbai, yang selalu berbau seperti kopi. Orang pasti tak menganggap dia keren, tetapi dia suka bercerita dan bercanda dan membolehkan kami bermain di kelas. Dia juga punya koleksi senjata dan baju zirah Romawi yang hebat, jadi dia satu-satunya guru yang jam pelajarannya tak bikin aku mengantuk.
Aku sempat berharap karyawisata itu akan berjalan lancar. Setidaknya, aku berharap bahwa sekali ini aku tak akan terlibat masalah.
Ternyata, aku keliru besar.
Begini, pada setiap karyawisata aku pasti tertimpa hal buruk. Seperti misalnya di sekolahku sewaktu kelas lima, ketika kami mengunjungi medan perang Saratoga, aku mendapat sedikit kecelakaan dengan meriam Perang Revolusi. Padahal aku tak berniat membidik bus sekolah, tetapi tentu saja aku tetap dikeluarkan dari sekolah. Dan sebelum itu, di sekolahku sewaktu kelas empat, ketika kami ikut tur privat ke kolam hiu Dunia Samudra, aku agak-agak menyenggol tuas yang salah di titian, dan anak-anak kelas kami mengadakan acara renang bersama yang tidak direncanakan. Dan sebelum itu .... Yah, sudah terbayang, kan?
Untuk wisata kali ini, aku bertekad menjadi anak baik-baik.
Sepanjang perjalanan masuk ke kota, aku berdiam diri menghadapi ulah Nancy Bobofit, anak panjang tangan berambut merah dan bermuka bintik-bintik, yang melempari kepala sahabatku Grover dari belakang dengan gumpalan roti selai kacang dan saus tomat.
Grover memang sasaran empuk. Dia kerempeng. Dia menangis kalau sedang frustrasi. Kayaknya dia pernah tinggal kelas beberapa kali, soalnya dia satu-satunya anak kelas enam yang berjerawat dan mulai berjenggot tipis di dagu. Selain itu, dia cacat. Dia punya surat dokter yang membebaskannya dari pelajaran olahraga seumur hidup karena kakinya terkena semacam penyakit otot. Jalannya aneh, seolah-olah setiap langkah membuatnya sakit, tetapi jangan terkecoh. Coba saja lihat dia lari pada hari enchilada di kantin sekolah.
Jadi, Nancy Bobofit melempari Grover dengan gumpalan roti lapis, yang kemudian menempel ke rambutnya yang cokelat ikal. Nancy tahu aku tak bisa membalas karena aku sedang dalam masa percobaan. Kepala sekolah mengancam akan menghukum mati dengan cara menskorsku jika terjadi apa-apa dalam karyawisata ini, baik itu kejadian buruk, memalukan, atau bahkan sedikit menghibur.
"Akan kubunuh dia," geramku.
Grover berusaha menenangkanku. "Nggak apa-apa. Aku suka kok selai kacang."
Dia mengelak dari segumpal lagi makan siang Nancy.
"Cukup." Aku mulai bangkit, tetapi Grover menarikku kembali duduk.
"Kau sudah kena masa percobaan," dia mengingatkanku. "Kau tahu siapa yang akan disalahkan kalau terjadi apa-apa."
Kalau ingat lagi kejadian itu sekarang, aku menyesal tak langsung menonjok Nancy Bobofit saat itu juga. Setrap di sekolah tak ada apa-apanya kalau dibandingkan dengan masalah yang akan melibatkanku sesaat lagi.
Pak Brunner memimpin tur museum.
Dia meluncur di atas kursi roda di depan, memandu kami melintasi galeri-galeri besar yang menggema, melewati patung-patung marmer dan lemari-lemari kaca yang dipenuhi tembikar hitam-jingga yang tua sekali.
Aku terkagum-kagum bahwa barang-barang ini telah bertahan selama dua-tiga ribu tahun.
Dia mengumpulkan kami di sekeliling sebuah tiang batu setinggi empat meter, yang di puncaknya terdapat sebuah sfinks besar, lalu mulai menceritakan bahwa benda itu adalah penanda makam, alias stele, untuk seorang gadis seumur kami. Dia bercerita tentang ukiran di sisi-sisi tiang. Aku berusaha menyimak, karena uraiannya cukup menarik, tetapi semua anak di sekitarku malah mengobrol, dan setiap kali aku menyuruh mereka tutup mulut, guru pembimbing kami satu lagi, Bu Dodds, mendelik kepadaku.
Bu Dodds ini guru matematika asal negara bagian Georgia yang bertubuh mungil, yang selalu memakai jaket kulit hitam, meskipun umurnya sudah lima puluh tahun. Dia tampak cukup garang untuk mengendarai Harley ke dalam loker. Dia datang ke Yancy pada pertengahan tahun, ketika guru matematika kami yang sebelumnya mengalami gangguan kejiwaan.
Sejak hari pertama Bu Dodds menyukai Nancy Bobofit dan menganggapku anak setan. Dia sering menudingku dengan jari bengkok dan berkata, "Nah, Anak Manis," dengan manis sekali, dan aku langsung tahu aku akan diskors seusai sekolah selama sebulan.
Suatu kali, setelah dia menyuruhku menghapus jawaban dari buku-buku latihan matematika tua sampai tengah malam, aku bilang pada Grover, kayaknya Bu Dodds itu bukan manusia. Grover memandangku, serius sekali, dan berkata, "Kau benar sekali."
Pak Brunner terus berbicara tentang seni pemakaman Yunani.
Akhirnya, Nancy Bobofit terkekeh sambil mengatakan sesuatu tentang cowok bugil pada stele itu, dan aku berbalik dan berkata, "Tutup mulut, bisa nggak sih?"
Ucapan itu keluar lebih nyaring daripada yang kuniatkan.
Semua anak tertawa. Pak Brunner berhenti bercerita.
"Jackson," katanya, "tadi kau berkomentar?"
Mukaku merah padam. Kataku, "Nggak, Pak."
Pak Brunner menunjuk salah satu gambar pada stele. "Coba kau ceritakan apa yang dilukiskan dalam gambar ini.
Aku memandang ukiran itu, dan merasa lega karena aku ternyata mengenalinya. "Itu Kronos lagi makan anak-anaknya, iya kan?"
"Betul," kata Pak Brunner, jelas belum puas. "Dan dia memakan anak-anaknya karena..”
"Karena ...." Aku memutar otak, berusaha mengingat. "Kronos itu raja dewa, dan—"
"Dewa?" tanya Pak Brunner.
"Titan," aku membetulkan. "Dan .... dia nggak percaya pada anak-anaknya, yang dewa-dewi itu. Jadi, eh, Kronos memakan mereka, iya kan? Tapi istrinya menyembunyikan si bayi Zeus, dan menggantinya dengan batu untuk dimakan Kronos. Lalu belakangan, waktu Zeus sudah dewasa, dia menipu ayahnya, Kronos, supaya memuntahkan kakak-kakaknya—"
"Iiiih!" kata seorang gadis di belakangku.
"—terus ada perang besar antara bangsa dewa dan bangsa Titan," lanjutku, "dan kaum dewa menang." Terdengar cekikikan dari. anak-anak.
Di belakangku Nancy Bobofit berbisik kepada temannya, "Memangnya pelajaran ini bakal kita pakai di kehidupan nyata? Pada formulir lamaran kerja kan nggak bakal ada pertanyaan, 'Jelaskan mengapa Kronos melahap anak-anaknya'?"
"Dan Jackson," kata Brunner, "mengutip pertanyaan bagus dari Bobofit, mengapa pengetahuan ini penting dalam kehidupan nyata?"
"Nah lho, ketahuan," gumam Grover.
"Cerewet," desis Nancy, mukanya memerah, bahkan lebih cerah daripada rambutnya. Setidaknya dia kena disindir juga. Cuma Pak Brunner yang pernah menangkap Nancy berkata jelek. Telinga Pak Brunner seperti radar. Aku memikirkan pertanyaan ini, lalu mengangkat bahu.
"Nggak tahu, Pak."
"Baiklah." Pak Brunner tampak kecewa. "Oke, kau mendapat setengah nilai, Jackson. Zeus memang memberi Kronos makan campuran mostar dan anggur. Makanan itu membuat Kronos memuntahkan kelima anaknya yang lain. Tentu saja, karena mereka dewa yang hidup abadi, selama itu mereka hidup dan tumbuh dewasa tanpa dicerna dalam perut si Titan. Keenam dewa-dewi itu mengalahkan ayah mereka, mencincangnya dengan sabit miliknya sendiri, dan menyebarkan jasadnya di Tartarus, bagian tergelap di Dunia Bawah. Dengan akhir cerita yang bahagia itu, sekarang waktu makan siang. Bu Dodds, tolong pandu mereka keluar museum."
Anak-anak berjalan pergi, anak-anak perempuan memegangi perut, anak-anak lelaki saling mendorong dan bertingkah seperti anak bego.
Aku dan Grover baru mau mengikuti, ketika Pak Brunner berkata, "Jackson."
Sudah kuduga ini akan terjadi. Aku menyuruh Grover jalan lebih dulu. Lalu, aku menoleh kepada Pak Brunner. "Pak?"
Pak Brunner punya tatapan yang menjerat—mata cokelat ganas yang terasa seperti berusia seribu tahun dan sudah pernah melihat segalanya.
"Kau harus mengetahui jawaban pertanyaanku," kata Pak Brunner kepadaku.
"Tentang bangsa Titan?"
"Tentang kehidupan nyata. Dan bagaimana manfaat pelajaranmu dalam kehidupan nyata."
"Oh."
"Yang kau pelajari dariku," katanya, "sangat penting. Kau harus sungguh-sungguh mempelajarinya. Aku hanya menerima yang terbaik darimu, Percy Jackson."
Aku ingin marah, kenapa dia terus menekanku terlalu keras? Memang sih turnamen yang diadakannya cukup keren juga. Pada hari-hari itu, dia berbaju zirah Romawi dan berseru: "Ayo!", sambil mengacungkan pedang ke arah kami yang bersenjata kapur. Dia menantang kami berlari ke papan tulis dan menyebutkan setiap orang Yunani dan Romawi yang pernah hidup, dan ibu mereka, dan dewa apa yang mereka sembah. Tapi, Pak Brunner mengharapkan aku sepintar anak lain, meskipun aku mengidap penyakit disleksia dan gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas (GPPH), dan aku belum pernah mendapat nilai lebih dari C- seumur hidup. Eh, bukan—dia bukan mengharapkan aku sama pintarnya dengan anak lain; dia mengharapkan aku lebih pintar. Padahal aku susah menghafal semua nama dan fakta itu, apalagi mengejanya dengan benar.
Kugumamkan sesuatu tentang berusaha lebih keras, sementara Pak Brunner lama menatap stele itu dengan sedih, seolah-olah dia pernah menghadiri pemakaman gadis itu.
Lalu dia menyuruhku keluar dan makan siang.
Teman-teman sekelas berkumpul di tangga depan museum, biar bisa menonton pejalan kaki lalu-lalang di sepanjang Fifth Avenue.
Di langit terlihat badai besar mulai terbentuk, awannya lebih hitam daripada yang pernah kulihat ada di atas kota ini. Kupikir barangkali gara-gara pemanasan global atau apa, karena cuaca di seluruh negara bagian New York sudah aneh sejak Natal. Kami dilanda badai salju hebat, banjir, kebakaran hutan akibat sambaran petir. Aku tak akan heran kalau ini nanti menjadi topan.
Kayaknya tak ada orang lain yang memerhatikan. Beberapa anak lelaki melempari burung dara dengan biskuit bekal. Nancy Bobofit berusaha mencopet sesuatu dari tas seorang wanita, dan tentu saja Bu Dodds menutup mata.
Aku dan Grover duduk di tepi air mancur, menjauhi anak-anak lain. Kami pikir, kalau kami menjauh, mungkin orang lain tak akan tahu bahwa kami berasal dari sekolah itu—sekolah untuk anak-anak aneh dan pecundang, yang tak punya tempat di sekolah lain.
"Skors?" tanya Grover.
"Nggak," kataku. "Brunner nggak pernah menskors. Tapi kenapa sih dia selalu menggangguku? Aku kan bukan anak genius."
Grover tak berkata apa-apa beberapa lama. Lalu, sewaktu kusangka dia akan berkomentar penuh filosofi untuk menghiburku, dia berkata, "Apelmu buatku ya?"
Aku tak terlalu berselera makan, jadi kubiarkan dia mengambilnya.
Aku menonton arus taksi yang melaju di Fifth Avenue, dan memikirkan apartemen ibuku di sebelah utara, tidak jauh dari tempat kami duduk. Aku belum pernah bertemu lagi dengannya sejak Natal. Rasanya ingin sekali aku melompat naik taksi dan pulang. Dia pasti memelukku dan senang bertemu denganku, tetapi dia juga pasti kecewa. Dia akan langsung menyuruhku kembali ke Yancy, mengingatkanku bahwa aku harus berusaha lebih keras, meskipun ini sekolahku yang keenam dalam enam tahun dan mungkin aku akan dikeluarkan lagi. Aku tak akan tahan melihat tatapan sedih darinya.
Pak Brunner memarkir kursi roda di dasar tanjakan untuk kaum cacat. Dia makan seledri sambil membaca novel. Di punggung kursinya terpasang payung merah, sehingga kursi itu mirip meja kafe bermotor.
Aku baru mau membuka bungkus roti lapis ketika Nancy Bobofit muncul di depanku bersama teman-temannya yang jelek—barangkali dia bosan mencuri dari wisatawan—dan menumpahkan bekalnya yang baru dimakan setengah ke pangkuan Grover.
"Ups." Dia menyeringai kepadaku dengan giginya yang gingsul. Bintik-bintik di mukanya berwarna Jingga, seolah-olah disemprot cat yang terbuat dari Cheetos cair.
Aku berusaha kalem. Guru pembimbing sekolah sudah sejuta kali bilang, "Hitung sampai sepuluh, kendalikan amarahmu." Tetapi saking marahnya, pikiranku kosong. Ombak bergemuruh di telingaku.
Aku tak ingat pernah menyentuh Nancy. Tahu-tahu saja dia sudah terjengkang di dalam air mancur, sambil menjerit, "Aku didorong Percy!"
Bu Dodds muncul di sebelah kami.
Beberapa anak berbisik: "Tadi lihat nggak—"
"—airnya—"
"—seolah-olah menyambar Nancy—" Aku tak tahu mereka bicara soal apa. Aku cuma tahu, aku kena masalah lagi.
Setelah Bu Dodds yakin bahwa Nancy cilik yang malang itu baik-baik saja, dan berjanji akan membelikannya kemeja baru dari toko cendera mata museum, dll., dll., Bu Dodds menoleh kepadaku. Ada api kemenangan di matanya, seolah-olah aku baru melakukan sesuatu yang telah dia tunggu-tunggu sepanjang semester. "Nah, Anak Manis—"
"Iya deh," gerutuku. "Sebulan menghapus buku latihan."
Mestinya aku tak bilang begitu. "Ikut aku," kata Bu Dodds.
"Tunggu!" pekik Grover. "Aku yang salah. Aku yang mendorong Nancy."
Aku terkesima menatapnya. Tak percaya rasanya, bahwa dia berusaha menutupi kesalahanku. Dia kan takut setengah mati oleh Bu Dodds.
Bu Dodds melotot kepadanya lebar-lebar, sampai-sampai dagu Grover yang berbulu itu gemetar.
"Aku tahu kejadiannya bukan begitu, Underwood," katanya.
Tapi—
"Kau—diam—di sini."
Grover menatapku putus asa.
"Nggak apa-apa kok," kataku kepadanya. "Makasih sudah berusaha."
"Anak Manis," Bu Dodds menyalak kepadaku. "Sekarang."
Nancy Bobofit menyeringai.
Aku melemparkan tatapan akan-kubunuh-kau-nanti yang istimewa buatnya. Lalu aku berbalik menghadap Bu Dodds, tetapi dia tidak ada di situ. Dia berdiri di pintu masuk museum, jauh di puncak tangga, dengan tidak sabar berisyarat kepadaku agar ikut.
Bagaimana dia sampai di sana secepat itu?
Aku sering sekali mengalami hal-hal seperti itu. Otakku sepertinya tertidur atau apa, lalu tahu-tahu saja aku terlewat sesuatu. Seolah-olah ada sepotong gambar teka-teki yang terjatuh dari alam semesta, lalu aku pun menatap tempat hampa di belakangnya. Guru pembimbing sekolah memberitahuku bahwa ini bagian dari penyakit GPPH. Otakku salah menafsirkan situasi.
Aku tak terlalu percaya.
Aku mengikuti Bu Dodds.
Setelah naik setengah tangga, aku menoleh kembali ke Grover. Dia tampak pucat, bolak-balik memandang antara aku dan Pak Brunner, seolah-olah dia ingin Pak Brunner memerhatikan apa yang terjadi, tetapi Pak Brunner tenggelam dalam novelnya.
Aku kembali melihat ke atas. Bu Dodds sudah menghilang lagi. Sekarang dia berada di dalam gedung, di ujung aula masuk.
Oke, pikirku. Dia akan menyuruhku membelikan kemeja baru buat Nancy dari toko cendera mata.
Tapi, rupanya bukan itu rencananya.
Aku mengikutinya memasuki museum lebih jauh. Ketika akhirnya aku berhasil menyusulnya, kami kembali berada di bagian Yunani dan Romawi.
Selain kami, galeri itu sepi.
Bu Dodds berdiri sambil bersidekap di depan dekorasi marmer besar yang menggambarkan dewa-dewi Yunani. Dari lehernya terdengar bunyi aneh, seperti geraman.
Padahal, tanpa suara itu pun, aku sudah gugup. Aneh rasanya hanya berduaan dengan guru, apalagi dengan Bu Dodds. Cara dia memandang frieze itu aneh sekali, seolah-olah dia ingin melumatkannya ....
"Kau banyak menimbulkan masalah bagi kami, Anak Manis," katanya.
Aku ambil aman. Kataku, "Iya, Bu."
Dia menyentakkan lipatan jaket kulitnya. "Pikirmu kau bisa lolos dari perbuatanmu?"
Tatapan di matanya sudah lebih dari gila. Tatapannya jahat.
Dia ini guru, pikirku dengan gugup. Dia tak akan menyakitiku, kan?
Kataku, "Saya—saya akan berusaha lebih keras, Bu." Guntur mengguncang gedung.
"Kami bukan orang tolol, Percy Jackson," kata Bu Dodds. "Cuma masalah waktu saja sampai kami membongkar jati dirimu. Mengaku saja, supaya kau tak perlu menderita terlalu berat."
Aku tak mengerti dia bicara apa.
Aku cuma bisa menebak bahwa para guru menemukan simpanan permen ilegal yang selama ini kujual di kamar asramaku. Atau mungkin mereka menyadari bahwa aku menyalin esai tentang buku Tom Sawyer itu dari Internet, dan tak pernah membaca bukunya sendiri, dan sekarang mereka akan mencabut nilaiku. Atau lebih buruk lagi, mereka akan memaksaku membaca buku itu.
"Bagaimana?" tanyanya.
"Bu, saya tidak...”
"Waktumu habis," desisnya.
Lalu, terjadi hal yang sangat aneh. Mata Bu Dodds mulai menyala seperti arang panggangan. Jari-jarinya memanjang, menjadi cakar. Jaketnya meleleh menjadi sayap kulit yang besar. Dia bukan manusia. Dia nenek jahat yang bersayap kelelawar dan bercakar dan bermulut penuh taring kuning, dan dia akan mencabik-cabikku.
Lalu, keadaan semakin aneh.
Pak Brunner, yang semenit lalu masih di depan museum, meluncurkan kursi melewati pintu galeri, sambil memegang sebatang pena.
"Awas, Percy!" serunya, dan melemparkan pena itu ke udara.
Bu Dodds menerkamku.
Sambil memekik, aku mengelak. Cakarnya terasa menyambar udara di sebelah telingaku. Aku menyambar pena itu dari udara, tetapi ketika mengenai tanganku, benda itu bukan pena lagi. Benda itu menjadi pedang—pedang perunggu milik Pak Brunner, yang selalu digunakannya pada hari turnamen.
Bu Dodds berputar ke arahku dengan tatapan membunuh.
Lututku lemas. Tanganku gemetar begitu hebat, pedang itu hampir terjatuh.
Dia menggeram, "Matilah, Anak Manis!"
Dan dia terbang tepat ke arahku. Ngeri menjalari tubuhku. Kulakukan satu-satunya hal yang timbul sewajarnya: pedang itu kuayunkan.
Mata logam itu mengenai bahunya dan membelah tubuhnya dengan mulus, seolah-olah ia terbuat dari air. Sssss!
Bu Dodds bagaikan istana pasir yang tertiup kipas angin kuat. Dia meledak menjadi serbuk kuning, musnah saat itu juga, hanya meninggalkan bau belerang dan jerit sekarat dan dinginnya kejahatan di udara, seolah-olah kedua mata yang menyala merah itu masih mengamatiku.
Aku sendirian.
Di tanganku ada pena.
Tidak ada Pak Brunner. Tak ada siapa-siapa di situ, selain aku.
Tanganku masih gemetar. Makanan bekalku pasti tercemar jamur ajaib atau sejenisnya.
Apakah semua itu cuma khayalanku saja? Aku kembali ke luar gedung. Hujan telah mulai turun.
Grover duduk di sebelah air mancur, kepalanya ditutupi peta museum yang dibentuk seperti tenda. Nancy Bobofit masih berdiri di tempat tadi, basah kuyup akibat acara berenangnya di air mancur, menggerutu kepada teman-temannya yang jelek. Ketika melihatku, dia berkata, "Mudah-mudahan Bu Kerr menghajarmu tadi."
Kataku, "Siapa?"
"Guru kita. Bego!"
Aku berkedip-kedip. Kami tak punya guru bernama Bu Kerr. Aku bertanya kepada Nancy apa yang dia bicarakan.
Dia cuma memutar mata dan pergi.
Aku menanyakan di mana Bu Dodds kepada Grover.
Katanya, "Siapa?"
Tapi, dia sempat terdiam, dan tak mau memandangku, jadi kupikir dia sedang bercanda denganku.
"Nggak lucu ah," kataku. "Ini serius."
Guntur menggemuruh di atas kepala.
Kulihat Pak Brunner sedang duduk membaca buku di bawah payung merahnya, seolah-olah tak pernah bergerak.
Aku menghampirinya.
Dia mengangkat kepala, perhatiannya sedikit terpecah. "Ah, itu pena Bapak ya. Besok-besok bawa alat tulis sendiri ya, Jackson."
Aku menyerahkan pena itu kepada Pak Brunner. Aku bahkan tak menyadari bahwa aku masih memegangnya.
"Pak," kataku, "di mana Bu Dodds?"
Dia menatapku kosong. "Siapa?"
"Guru pembimbing satu lagi. Bu Dodds. Guru pra-aljabar."
Dia mengerutkan kening dan memajukan tubuhnya, tampak sedikit cemas. "Percy, dalam karyawisata ini tidak ada Bu Dodds. Sepanjang pengetahuan Bapak, di Akademi Yancy belum pernah ada guru bernama Bu Dodds. Kau baik-baik saja?"
2. Tiga Nenek Merajut Kaus Kaki Kematian
Aku sudah terbiasa dengan pengalaman aneh-aneh yang kadang terjadi, tetapi biasanya pengalaman itu cepat berlalu. Tetapi, halusinasi 24 jam sehari dan 7 hari seminggu ini, tak sanggup kuhadapi. Sepanjang sisa tahun ajaran itu, seluruh kampus sepertinya mempermainkan aku. Murid-murid bertingkah seolah-olah mereka benar-benar yakin sepenuhnya bahwa Bu Kerr—seorang wanita pirang yang ceria, yang belum pernah kulihat seumur hidup sampai dia naik ke bus kami pada akhir acara karyawisata—adalah guru pra-aljabar kami sejak Natal.
Sesekali aku menyebut nama Bu Dodds kepada seseorang, kalau-kalau aku bisa menjebaknya, tetapi orang itu biasanya hanya menatapku seolah-olah aku orang gila.
Keadaannya sedemikian rupa sampai-sampai aku hampir memercayai mereka—Bu Dodds memang tak pernah ada. Hampir.
Tetapi, Grover tak bisa mengelabuiku. Kalau aku menyinggung nama Dodds kepadanya, dia tampak ragu, lalu menyatakan guru itu tak pernah ada. Namun, aku tahu dia berbohong.
Ada yang aneh. Di museum memang pernah terjadi sesuatu.
Aku tak punya banyak waktu memikirkannya pada siang hari. Namun, pada malam hari, bayangan Bu Dodds yang bercakar dan bersayap kulit sering membuatku terbangun dengan keringat dingin.
Cuaca aneh itu berlanjut, sama sekali tak meringankan suasana hatiku. Suatu malam, badai guntur menghempaskan jendela-jendela kamar asrama hingga terbuka. Beberapa hari kemudian, angin puting beliung terbesar yang pernah terlihat di Lembah Hudson turun di suatu tempat yang hanya berjarak delapan puluh kilometer dari Akademi Yancy. Salah satu peristiwa aktual yang kami pelajari di kelas ilmu sosial adalah betapa banyaknya pesawat kecil yang jatuh tahun itu akibat hujan badai mendadak di Samudra Atlantik.
Aku mulai kesal dan gampang marah hampir sepanjang waktu. Nilai pelajaranku melorot dari D menjadi F. Aku semakin sering berkelahi dengan Nancy Bobofit dan teman-temannya. Aku disetrap berdiri di luar kelas hampir pada setiap jam pelajaran.
Akhirnya, ketika guru bahasa Inggris kami, Pak Nicoll, bertanya kepadaku kesejuta kalinya, mengapa aku terlalu malas belajar untuk ulangan mengeja, aku meledak. Kusebut dia pemabuk tua bangka. Aku bahkan tak tahu apa arti kata-kata itu, tapi kedengarannya bagus.
Kepala sekolah mengirim surat kepada ibuku pekan berikutnya, meresmikan dugaanku: aku tak akan diundang kembali tahun depan ke Akademi Yancy.
Biarin, kataku pada diri sendiri. Biar saja.
Aku rindu rumahku. Aku ingin bersama-sama ibuku di apartemen kecil kami di Upper East Side, sekalipun aku harus belajar di Sekolah negeri dan menghadapi ayah tiriku yang menyebalkan dan sering berpesta poker yang menyebalkan.
Namun ... ada beberapa hal yang pasti kurindukan dari Yancy. Pemandangan hutan dari jendela asramaku, Sungai Hudson di kejauhan, aroma pohon pinus. Aku pasti merindukan Grover, teman yang baik selama ini, meskipun dia agak aneh. Aku cemas bagaimana dia mampu menempuh tahun depan tanpaku.
Aku juga akan merindukan pelajaran bahasa Latin— hari-hari turnamen gila Pak Brunner, dan keyakinannya bahwa aku bisa berprestasi.
Sementara pekan ujian semakin dekat, bahasa Latin adalah satu-satunya ujian yang membuatku belajar. Aku belum lupa perkataan Pak Brunner, bahwa mata pelajaran ini adalah masalah hidup-mati bagiku. Aku tak yakin kenapa, tetapi aku sudah mulai percaya kepadanya.
Malam sebelum ujian akhir, aku merasa begitu frustrasi, sampai-sampai kulemparkan buku Panduan Cambridge tentang Mitologi Yunani ke seberang kamar asrama. Kata mulai berenang-renang keluar halaman, berputar-putar mengelilingi kepala, hurufnya berjungkir balik seolah-olah sedang meluncur di atas skateboard. Tak mungkin aku bisa ingat perbedaan antara Chiron dan Charon, atau Polydictes dan Polydeuces. Dan menghafal konjugasi kata-kata kerja Latin? Lupakan saja.
Aku mondar-mandir di kamar. Rasanya seperti ada semut merayap-rayap di dalam bajuku.
Aku ingat wajah serius Pak Brunner, matanya yang berusia seribu tahun. Aku hanya menerima yang terbaik darimu, Percy Jackson.
Aku menghela napas dalam-dalam. Buku mitologi itu kuambil.
Aku belum pernah meminta tolong guru. Mungkin kalau aku berbicara kepada Pak Brunner, dia mau memberiku beberapa petunjuk. Setidaknya aku bisa meminta maaf untuk nilai F yang akan kuperoleh untuk ujiannya ini. Aku tak ingin meninggalkan Akademi Yancy sementara dia beranggapan bahwa aku tidak berusaha.
Aku menuruni tangga ke deretan kantor guru. Sebagian besar kosong dan gelap, tetapi pintu Pak Brunner terbuka, cahaya dari jendelanya memanjang melintasi lantai lorong.
Aku berada tiga langkah dari gagang pintu ketika terdengar suara di dalam kantor. Pak Brunner mengajukan pertanyaan. Suara yang sudah pasti suara Grover berkata ".... cemas soal Percy, Pak."
Aku membeku.
Biasanya aku tak suka menguping, tapi bagaimana bisa aku berusaha tidak menguping saat mendengar sahabatku membicarakan tentangku dengan seorang dewasa.
Aku beringsut-ingsut mendekat.
"... sendirian musim panas ini," Grover berkata. "Maksudku, ada satu Makhluk Baik di sekolah ini. Karena sekarang kita sudah tahu pasti, dan mereka juga tahu—"
"Kita hanya akan memperburuk masalah kalau mendesak anak itu," kata Pak Brunner. "Kita perlu membiarkan anak itu lebih dewasa."
"Tapi dia mungkin tak punya waktu. Tenggat titik balik matahari musim panas—"
"Harus ditanggulangi tanpa dia, Grover. Biarkan dia menikmati ketaktahuannya selagi dia masih bisa."
"Pak, dia melihat makhluk itu.”
"Khayalannya saja," Pak Brunner bersikeras. "Pasti Kabut atas para siswa dan staf itu sudah cukup untuk meyakinkannya soal itu."
"Pak, saya ... saya tak bisa gagal dalam tugas lagi." Suara Grover tersekat oleh emosi. "Bapak tahu apa artinya itu."
"Kau tidak pernah gagal, Grover," kata Pak Brunner penuh simpati. "Semestinya saya menyadari apa sebenarnya Bu Dodds itu. Sekarang, kita berkonsentrasi saja soal menjaga Percy tetap hidup hingga musim gugur depan—"
Buku mitologi itu terlepas dari tanganku dan jatuh bergedebuk ke lantai.
Pak Brunner terdiam.
Jantungku berdebar-debar. Kupungut buku itu dan mundur sepanjang lorong.
Sebuah bayangan bergerak melintasi kaca bercahaya pada pintu kantor Brunner, bayangan sesuatu yang jauh lebih tinggi daripada guruku yang berkursi roda, sosok yang memegang sesuatu yang mirip sekali dengan busur pemanah.
Aku membuka pintu terdekat dan menyelinap masuk.
Beberapa detik kemudian terdengar bunyi ketiplak perlahan, seperti balok kayu yang teredam, lalu bunyi seperti hewan berdengus tepat di luar pintuku. Suatu sosok gelap yang besar berhenti di depan kaca, lalu terus berjalan.
Sebutir keringat menuruni leherku.
Di suatu tempat di lorong Pak Brunner berkata, "Tak ada apa-apa," gumamnya. "Aku sering gugup sejak titik balik matahari musim dingin."
"Saya juga," kata Grover. "Tapi saya berani sumpah...”
"Kembalilah ke asrama," kata Pak Brunner. "Besok kau ada ujian sepanjang hari."
"Itu sih tak perlu diingatkan."
Lampu di kantor Pak Brunner padam.
Aku menunggu dalam gelap, rasanya lama sekali.
Akhirnya, aku menyelinap ke lorong dan berjalan kembali ke asrama.
Grover sedang berbaring di tempat tidur, mempelajari catatan ujian bahasa Latin seolah-olah dia memang di situ sepanjang malam.
"Hei," katanya dengan mata nanar. "Kau sudah siap buat ujian ini?"
Aku tak menjawab.
"Tampangmu kacau." Dia mengernyitkan kening. "Ada masalah?"
"Cuma ... capek."
Aku berbalik supaya dia tak bisa membaca mukaku, lalu mulai bersiap-siap tidur.
Aku tak mengerti apa yang kudengar di lantai bawah. Aku ingin percaya bahwa semua itu hanya khayalanku saja.
Tapi, satu hal yang pasti: Grover dan Pak Brunner membicarakanku diam-diam. Mereka berpendapat bahwa aku terancam suatu bahaya.
Keesokan sorenya, saat aku hendak keluar dari ruang ujian bahasa Latin, dengan mata terbayang-bayang semua nama Yunani dan Romawi yang salah kueja, Pak Brunner memanggilku masuk lagi.
Aku sempat khawatir bahwa dia tahu aku menguping tadi malam, tetapi sepertinya masalahnya bukan itu.
"Percy," katanya. "Jangan berkecil hati soal meninggalkan Yancy. Ini ... ini jalan keluar terbaik."
Nadanya ramah, tetapi kata-kata itu tetap membuatku jengah. Meskipun dia berbicara lirih, anak-anak lain yang sedang menyelesaikan ujian bisa mendengar. Nancy Bobofit tersenyum mengejek dan membuat gerakan mengecup-ngecup sarkastis.
Aku menggumam. "Oke, Pak."
"Maksudku ..." Pak Brunner menggulirkan kursi roda maju-mundur, seolah-olah tidak yakin harus berkata apa. "Tempat ini tidak cocok untukmu. Sebenarnya ini tinggal tunggu waktu."
Mataku pedih.
Guru favoritku memberitahuku di depan kelas, bahwa aku tak mampu menangani semua ini. Setelah sepanjang tahun dia berkata dia yakin akan kemampuanku, sekarang dia bilang aku memang ditakdirkan dikeluarkan dari sekolah.
"Benar," kataku gemetar.
"Bukan, bukan," kata Pak Brunner. "Oh, sial. Maksudku tadi... kau tidak normal, Percy. Itu bukan hal yang—"
"Ya," cetusku. "Terima kasih banyak, Pak, sudah mengingatkan saya."
"Percy—"
Namun aku sudah pergi.
Pada hari terakhir semester, kujejalkan baju-bajuku ke dalam koper.
Anak-anak lain saling bercanda, membicarakan rencana liburan. Ada yang akan mendaki gunung ke Swiss. Ada yang akan naik kapal pesiar di Karibia selama sebulan. Mereka remaja bermasalah seperti aku, tetapi mereka remaja bermasalah yang kaya. Ayah mereka eksekutif, atau duta besar, atau selebriti. Aku bukan siapa-siapa, dari keluarga yang bukan siapa-siapa.
Mereka menanyakan apa kegiatanku musim panas ini, dan aku memberitahukan bahwa aku akan pulang ke kota.
Namun aku tidak cerita bahwa aku harus mencari pekerjaan musim panas, misalnya membawa anjing di jalan-jalan atau menjual langganan majalah. Bahwa aku bukan mengisi waktu luang dengan mencemaskan ke mana aku akan bersekolah musim gugur nanti.
"Oh," kata salah satu anak. "Itu juga oke."
Mereka kembali mengobrol seolah-olah aku tak pernah ada.
Satu-satunya orang yang membuatku enggan mengucapkan selamat berpisah adalah Grover, tetapi ternyata tak perlu. Dia memesan tiket bus Greyhound ke Manhattan yang sama denganku, jadi kami pun ke kota bersama-sama lagi.
Sepanjang perjalanan bus, Grover terus-menerus melirik gugup ke lorong, mengamati penumpang lain. Aku jadi teringat bahwa dia selalu gugup dan gelisah setiap kali kami meninggalkan Yancy, seolah-olah menduga akan terjadi peristiwa buruk. Sebelumnya, aku selalu berasumsi bahwa dia cemas soal dipermainkan anak lain. Tapi di Greyhound ini tak ada orang yang menggodanya.
Akhirnya, aku tak tahan lagi. Kataku, "Mencari Makhluk Baik?"
Grover hampir terlompat dari kursinya. "Apa—apa maksudmu?"
Aku mengaku soal menguping pembicaraan antara dia dan Pak Brunner pada malam sebelum ujian.
Mata Grover berkedut. "Berapa banyak yang kaudengar?"
"Nggak banyak kok. Tenggat titik balik matahari musim panas itu apa?"
Dia meringis. "Percy, dengar ... Aku cuma khawatir mengenaimu saja. Maksudku, berhalusinasi tentang guru matematika iblis.”
"Grover—"
"Dan aku bilang pada Pak Brunner, barangkali kau terlalu stres atau apa, karena nggak ada orang yang namanya Bu Dodds, dan ..."
"Grover, kau benar-benar tak ahli berbohong."
Telinganya memerah.
Dari saku kemejanya, dia merogoh selembar kartu nama kucel. "Pokoknya ambil saja ini, oke? Kalau-kalau kau perlu aku musim panas ini."
Kartu itu bertulisan indah, yang sulit kubaca dengan mataku yang disleksia, tetapi akhirnya aku bisa membaca:
Grover Underwood Penjaga Bukit Blasteran Long Island, New York (800) 009-0009
"Apaan tuh Bukit Blas—"
"Jangan dibaca keras-kerasi" pekiknya. "Itu, eh ... alamat liburanku."
Hatiku melesak. Grover punya alamat libur. Selama ini aku tak pernah terpikir bahwa keluarganya mungkin saja kaya seperti anak-anak lain di Yancy.
"Oke," kataku muram. "Jadi, misalnya, kalau aku ingin bertamu ke istanamu."
Dia mengangguk. "Atau ... atau kalau kau perlu aku."
"Buat apa aku memerlukanmu?" Ucapan itu keluar dengan nada lebih kasar daripada yang kuniatkan.
Grover merona sampai ke jakun. "Dengar Percy, sebenarnya, aku—aku itu bertugas melindungimu."
Aku menatapnya.
Sepanjang tahun aku terlibat perkelahian gara-gara menghalau para penindas dari Grover. Aku susah tidur gara-gara memikirkan bahwa dia akan dipukuli tahun depan kalau tak ada aku. Dan sekarang dia malah bertingkah seolah-olah dia yang selama ini melindungi aku.
"Grover," kataku, "kau melindungiku dari apa persisnya?”
Terdengar bunyi menggerinda yang gaduh dari kolong bus. Asap hitam menguar dari dashboard dan seluruh bus dipenuhi bau telur busuk. Si sopir mengumpat dan menepikan Greyhound ke tepi jalan raya.
Setelah beberapa menit mengotak-atik ruang mesin, si sopir mengumumkan bahwa kami semua harus turun. Aku dan Grover berbaris keluar bersama penumpang lain.
Kami berada di jalan pedesaan—tempat yang tak pernah diperhatikan kalau orang tidak mogok di sini. Di sebelah jalan sini, tidak ada apa-apa selain pohon mapel dan sampah dari mobil-mobil yang lewat. Di tepi jalan raya sebelah sana, di seberang empat lajur aspal yang berkemendang sore, ada kios buah kuno.
Buah yang dijual tampak lezat sekali: bertumpuk-tumpuk peti apel dan ceri yang merah darah, kenari dan abrikos (buah berbentuk bulat berwarna oranye, berdaging banyak dan berbiji keras. Bahasa Inggrisnya, apricot.), berkendi-kendi sari buah dalam bak berkaki cakar yang penuh es. Tidak ada pelanggan, hanya tiga orang nenek yang duduk di kursi goyang di bawah bayangan pohon mapel, merajut sepasang kaus kaki terbesar yang pernah kulihat.
Maksudku, kaus kaki ini seukuran sweter, tetapi bentuknya jelas kaus kaki. Nenek sebelah kanan merajut sebelah. Nenek sebelah kiri merajut sebelah lagi. Nenek di tengah-tengah memegang sekeranjang raksasa berisi benang warna biru-elektrik.
Ketiga nenek itu kelihatan sudah sepuh. Wajah mereka pucat dan keriput seperti kulit buah, rambut beruban diikat ke belakang dengan bandana putih, tangan kerempeng mencuat dari gaun katun yang dikelantang.
Yang paling aneh, mereka tampaknya menatap tepat ke arahku. Aku menoleh kepada Grover, hendak mengomentari hal ini. Tapi, kulihat bahwa darah telah tersirap dari wajahnya.
Hidungnya berkedutan.
"Grover?" kataku. "Eh, sobat—"
"Katakan mereka tidak sedang menatapmu. Mereka menatapmu, ya?"
"Iya. Aneh, ya? Apa menurutmu kaus kaki itu muat untukku?"
"Nggak lucu, Percy. Nggak lucu sama sekali."
Si nenek di tengah mengeluarkan sebuah gunting besar—emas dan perak, bermata panjang, seperti gunting kebun. Kudengar Grover berdengap.
"Ayo naik ke bus," suruhnya kepadaku. "Ayo."
"Apa?" kataku. "Panasnya seribu derajat di dalam."
"Ayo!" Dia menarik pintu terbuka, dan memanjat masuk, tetapi aku tidak ikut.
Di seberang jalan, ketiga nenek itu masih mengamatiku. Nenek yang di tengah menggunting benang, dan aku berani sumpah bunyi kres-nya. dapat kudengar, dari seberang empat lajur lalu-lintas. Kedua temannya menggulung kaus kaki warna biru-elektrik itu menjadi bola, membuatku bertanya-tanya untuk siapa gerangan kaus kaki itu—Sasquatch atau Godzilla.
Di belakang bus, si sopir membetot sepotong besar logam berasap dari kompartemen mesin. Bus itu gemetar, dan mesinnya kembali menggerung nyala.
Para penumpang bersorak.
"Gitu dong!" teriak si sopir. Dia menampar bus dengan topinya. "Semuanya naik lagi!"
Setelah bus melaju, aku merasa meriang, seperti kalau sedang flu.
Grover sama parahnya. Dia menggigil dan giginya bergemeretak.
"Grover?"
"Ya?"
"Apa yang kausembunyikan dariku?" Dia menyeka kening dengan lengan baju.
"Percy, apa yang kaulihat di kios buah tadi?"
"Maksudmu, nenek-nenek itu? Mereka itu apa sih? Mereka bukan seperti... Bu Dodds, kan?"
Raut wajahnya sulit dibaca, tetapi aku mendapat firasat bahwa nenek-nenek kios buah itu sesuatu yang jauh lebih buruk daripada Bu Dodds. Dia berkata, "Ceritakan saja apa yang kaulihat."
Dia memejamkan mata dan membuat gerakan dengan jarinya, seperti membuat tanda salib, tetapi bukan. Gerakan itu hal lain, hal yang hampir—lebih tua.
Dia berkata, "Kau melihatnya menggunting benang."
"Iya. Memangnya kenapa?" Namun, saat aku mengucapkan kata-kata itu pun, aku tahu hal itu masalah besar.
"Ini nggak mungkin terjadi," Grover menggumam. Dia mulai menggigiti jempol. "Aku nggak mau kejadiannya seperti yang terakhir kali."
"Terakhir kali yang mana?"
"Selalu kelas enam. Mereka nggak pernah berhasil melewati kelas enam."
"Grover," kataku, karena dia benar-benar mulai membuatku takut. "Kau ini bicara apa sih?"
"Aku boleh menemanimu sampai ke rumah dari stasiun bus, ya. Janji."
Permintaan ini terasa aneh bagiku, tetapi aku berjanji dia boleh mengantarku.
"Apa ini semacam takhayul atau apa?" tanyaku.
Tak ada jawaban.
"Grover—pengguntingan benang itu. Apa maksudnya ada orang yang akan mati?"
Dia menatapku penuh duka, seolah-olah dia sudah memilih jenis bunga apa yang paling kusukai untuk peti matiku.
3. Grover Kehilangan Celana Secara Tak Terduga
Aku mau mengaku dosa: Grover kutinggalkan begitu kami sampai di terminal bus.
Iya, iya, aku tahu. Itu nggak sopan. Tapi Grover membuatku senewen sih, menatapku seolah-olah aku ini sudah mati, sambil menggumam "Kenapa ini selalu terjadi?" dan "Kenapa harus selalu di kelas enam?"
Setiap kali dia gundah, kandung kemihnya kumat, jadi aku tak heran bahwa begitu kami turun dari bus, dia memintaku berjanji menunggunya, lalu langsung ke kamar kecil. Alih-alih menunggu, aku mengambil koper, menyelinap ke luar, dan naik taksi pertama ke dalam kota.
"Persimpangan East 104th dan First," kataku kepada sopir.
Aku mau bercerita sedikit tentang ibuku, sebelum kau bertemu dengannya.
Namanya Sally Jackson, dan dia orang paling baik sedunia. Ini membuktikan teoriku bahwa orang yang paling baik biasanya bernasib paling jelek. Orangtuanya mati karena kecelakaan pesawat terbang sewaktu dia berumur lima tahun. Dia dibesarkan oleh seorang paman yang tidak terlalu peduli kepadanya. Dia bercita-cita menjadi novelis, jadi semasa SMA dia bekerja dan menabung gajinya, supaya bisa kuliah di tempat yang menawarkan jurusan penulisan kreatif yang bagus.
Lalu, pamannya terkena kanker. Jadi, dia harus berhenti bersekolah pada kelas tiga SMA, untuk merawat pamannya itu. Setelah pamannya meninggal, dia tak punya uang, keluarga, ataupun ijazah.
Satu-satunya nasib baik yang pernah dialaminya adalah bertemu dengan ayahku. Aku tak punya kenangan apa-apa soal ayahku, kecuali semacam pendar hangat, dan mungkin kenangan samar tentang senyumnya. Ibuku tak suka membicarakan ayahku karena itu membuatnya sedih. Dia tak punya foto ayahku.
Soalnya, mereka tak pernah menikah. Menurut cerita ibuku, ayahku kaya dan orang penting, dan hubungan mereka dirahasiakan. Lalu suatu hari, ayahku berlayar melintasi Samudra Atlantik untuk perjalanan penting, dan tak pernah pulang.
Hilang di laut, kata ibuku. Bukan mati. Hilang di laut.
Ibuku bekerja serabutan, kuliah malam untuk memperoleh ijazah SMA, dan membesarkan aku sendirian. Dia tak pernah mengeluh atau marah. Sekali pun tak pernah. Tapi, aku tahu aku bukan anak yang mudah ditangani.
Akhirnya, dia menikah dengan Gabe Ugliano. Lelaki Itu bersikap baik selama tiga puluh detik pertama kami mengenalnya, lalu menunjukkan belangnya sebagai orang berengsek tingkat dunia. Sewaktu aku masih kecil, dijuluki dia Gabe si Bau. Sori, tapi itu benar lho. Bau badannya seperti pizza bawang putih berjamur yang dibungkus celana olahraga.
Kami berdua membuat hidup ibuku cukup sulit. Perlakuan Gabe si Bau padanya, hubungan antara kami berdua ... contohnya, lihat apa yang terjadi sewaktu aku pulang.
Aku masuk ke apartemen kecil kami, berharap ibuku ludah pulang bekerja. Tahunya Gabe si Bau sedang di ruang tamu, bermain poker bersama sobat-sobatnya. Televisi riuh menayangkan saluran olahraga ESPN. Keripik dan kaleng bir berserakan di karpet.
Hampir tanpa mengangkat kepala, dia berkata di sela-sela cerutunya, "Kau pulang ya."
"Mana ibuku?"
“Kerja,”katanya. “Punya duit, nggak?”
Itu Doang. Nggak ada Selamat Datang. Senang Ketemu Lagi. Bagaimana hidupmu selama enam bulan terakhir?
Gabe tambah gembrot. Dia Mirip beruang laut tanpa gading yang memakai baju loak. Di kepalanya Cuma ada tiga helai rambut, disisir menutupi kepalanya yang botak, seolah-olah itu bikin dia ganteng atau apa.
Dia mengelola Toko Besar Elektronik di Queens, tetapi dia di rumah hampir sepanjang waktu. Aku tak tahu kenapa dia belum dipecat sejak dulu. Dia terus saja diberi gaji, menghabiskan uang itu untuk membeli cerutu yang bikin aku mual, dan tentu saja untuk membeli bir. Selalu bir. Setiap kali aku di rumah, dia mengharapkan aku menyediakan duit taruhannya. Dia menyebutnya sebagai "rahasia cowok" di antara kami. Maksudnya, kalau aku berani mengadu pada ibuku, aku akan dihajar.
"Aku nggak punya duit," kataku kepadanya. Dia mengangkat sebelah alisnya yang berminyak.
Gabe bisa mengendus uang seperti anjing pelacak, kemampuan yang mengherankan, karena bau badannya sendiri mestinya menutupi bau hal lainnya.
"Kau naik taksi dari stasiun bus," katanya. "Bayarnya mungkin pakai dua puluh dolar. Pasti ada kembalian enam atau tujuh dolar. Kalau mau tinggal di bawah atap ini, kau harus ikut menanggung biaya hidup. Benar, nggak, Eddie?"
Eddie, pengawas gedung apartemen ini, memandangku dengan sedikit simpati. "Sudahlah, Gabe," katanya. "Anak ini baru sampai."
"Benar, nggak?" ulang Gabe. Eddie merengut kepada mangkuk berisi pretzel. Kedua lelaki lainnya kentut serentak.
"Iya deh," kataku. Aku merogoh segumpal dolar dari kantongku dan melemparkan uang itu ke atas meja. "Mudah-mudahan kau kalah."
"Rapormu sudah sampai, Sok Pintar!" serunya mengikutiku. "Nggak usah sombong begitu!"
Aku membanting pintu kamarku, yang sebenarnya bukan kamarku. Pada bulan-bulan sekolah, kamar itu menjadi "ruang kerja" Gabe. Dia tidak mengerjakan apa-apa di sini, selain membaca majalah mobil tua, tetapi dia senang menjejalkan barang-barangku ke dalam lemari," kutinggalkan sepatu bot berlumpur di ambang jendela, ini berupaya keras menjadikan tempat itu berbau seperti cerutu dan bir basi dan kolonyenya yang busuk.
Kujatuhkan koper di atas tempat tidur. Rumahku Istanaku.
Bau Gabe hampir lebih buruk daripada mimpi buruk tentang Bu Dodds, atau bunyi gunting si nenek buah itu memutus benang.
Tapi, begitu aku teringat hal itu, kakiku terasa lemas. Aku ingat tampang panik Grover—bagaimana dia memaksaku berjanji bahwa aku tak akan pulang tanpa dia. Rasa dingin tiba-tiba melanda tubuhku. Aku merasa seolah-olah seseorang—atau sesuatu—sedang mencariku saat ini, mungkin tergopoh-gopoh menaiki tangga, sementara cakarnya yang panjang dan mengerikan itu tumbuh.
Lalu, terdengar suara ibuku. "Percy?"
Dia membuka pintu kamar, dan rasa takutku meleleh.
Ibuku bisa membuatku merasa enak, hanya dengan memasuki ruangan. Matanya berbinar dan berubah-ubah warna dalam cahaya. Senyumnya sehangat selimut. Ada beberapa helai uban di antara rambutnya yang cokelat panjang, tetapi aku tak pernah menganggapnya tua. Saat dia memandangku, rasanya seperti dia melihat semua hal
"Oh, Percy." Dia memelukku erat-erat. "Ibu hampir tak percaya. Kau sudah bertambah besar sejak Natal!"
Seragam Sweet on America-nya yang berwarna merah-putih-biru menguarkan bau hal-hal terbaik di dunia: cokelat, permen hitam licorice—akar manis, dan semua hal lain yang dijualnya di toko permen di Grand Central. Dia membawakanku sekantong besar "sampel gratis", seperti yang selalu dilakukannya saat aku di rumah.
Kami duduk berdua di pinggir tempat tidur. Sementara aku mengganyang permen masam rasa blueberry, dia membelai rambutku dan ingin tahu segala hal yang tidak kuceritakan dalam surat-suratku. Dia tak menyinggung-nyinggung soal aku dikeluarkan. Dia tampak tak peduli soal itu. Tapi, apakah aku baik-baik saja? Apakah anak kesayangannya tak apa-apa?
Aku bilang, dia membuatku gerah dengan perhatiannya, dan memintanya jangan dekat-dekat, tetapi dalam hati aku benar-benar senang bertemu dengannya.
Dari kamar sebelah, Gabe berteriak, "Hei, Sally— bikinkan saus kacang!"
Aku mengenakkan gigi.
Ibuku perempuan paling baik di dunia. Semestinya dia menikah dengan miliarder, bukan orang berengsek seperti Gabe. Demi dia, aku berusaha bersikap ceria tentang hari-hari terakhirku di Akademi Yancy. Kubilang aku tak terlalu kecewa soal dikeluarkan. Kali ini aku berhasil bertahan hampir sepanjang tahun. Aku mendapat beberapa teman baru. Nilaiku cukup bagus dalam bahasa Latin. Dan sejujurnya, perkelahian-perkelahian itu tidak seburuk yang diceritakan kepala sekolah. Aku suka Akademi Yancy. Sungguh. Aku menggambarkan tahun ajaran itu begitu menyenangkan, aku sendiri hampir percaya. Tenggorokanku terasa tersumbat, saat aku memikirkan Grover dan Pak Brunner. Bahkan Nancy Bobofit tiba-tiba terasa tidak terlalu menyebalkan.
Hingga perjalanan ke museum itu ....
"Apa?" tanya ibuku. Matanya menyentak-nyentakkan nuraniku, berusaha mengorek semua rahasia. "Ada yang membuatmu takut?"
"Nggak, Bu." Aku merasa tak enak berbohong. Aku ingin bercerita kepada ibuku soal Bu Dodds dan tiga nenek dengan benang, tetapi kupikir cerita itu akan terdengar konyol.
Dia mengerucutkan bibirnya. Dia tahu aku belum menceritakan semua, tetapi dia tidak mendesak.
"Ibu punya kejutan untukmu," katanya. "Kita akan ke pantai."
Mataku melebar. "Montauk?"
"Tiga malam—pondok yang sama."
"Kapan?" Dia tersenyum. "Begitu Ibu salin pakaian."
Aku tak percaya. Aku dan ibuku sudah dua musim panas tidak ke Montauk, karena kata Gabe, uangnya tidak cukup.
Gabe muncul di pintu dan menggeram, "Saus kacang, Sally. Kau nggak dengar, ya?"
Aku ingin menonjoknya, tetapi aku bertemu mata dengan ibuku dan aku mengerti bahwa dia menawariku perjanjian: bersikaplah baik kepada Gabe sebentar saja. cuma sampai ibuku siap berangkat ke Montauk.
Setelah Itu, kami bisa pergi dari sini. "Sebentar lagi kubuatkan, Sayang," katanya kepada Gabe. "Kami cuma membicarakan perjalanan itu."
Mata Gabe menyipit. "Perjalanan itu? Maksudmu, kau serius soal itu?"
"Sudah kuduga," gerutuku. "Dia tak memperbolehkan kita pergi."
"Tentu saja boleh," kata ibuku tenang. "Ayah tirimu hanya khawatir soal uang. Itu saja. Lagi pula," tambahnya, "Gabriel nggak akan cuma punya saus kacang. Ibu akan membuatkannya saus tujuh lapis cukup banyak untuk persediaan akhir pekan. Lalu, guacamole. Krim masam. Semuanya."
Gabe melunak sedikit. "Jadi, uang untuk perjalananmu ini ... diambil dari anggaran pakaianmu kan?"
"Iya, Sayang," kata ibuku.
"Dan kau tak akan membawa mobilku ke mana-mana, selain ke sana lalu pulang lagi."
"Kami akan sangat berhati-hati."
Gabe menggaruk dagunya yang berlipat. "Barangkali kalau kau bisa cepat membuat saus tujuh lapis itu .... Dan kalau anak itu minta maaf karena mengganggu permainan pokerku."
Mungkin kalau kau kutendang di tempat lemahmu, pikirku. Akan membuatmu bernyanyi sopran selama seminggu. Tapi mata ibuku memperingatkanku agar tak membuat Gabe marah.
Kenapa ibuku bertahan dengan lelaki ini? Aku ingin menjerit. Mengapa ibuku peduli apa pendapatnya?
"Maaf," gumamku. "Aku benar-benar menyesal, mengganggu permainan pokermu yang sangat penting. Silakan kembali bermain."
Mata Gabe menipis. Otaknya yang mungil barangkali berusaha mendeteksi sarkasme dalam pernyataanku.
"Yah, terserah deh," katanya memutuskan. Dia kembali ke permainannya.
"Terima kasih, Percy," kata ibuku. "Begitu sampai di Montauk, kita bisa mengobrol lebih banyak soal ... apa pun yang lupa kauceritakan, oke?"
Sesaat kupikir kulihat kecemasan dalam matanya— rasa takut seperti yang kulihat dalam Grover pada perjalanan bus—seolah-olah ibuku juga merasakan udara dingin yang aneh.
Tetapi lalu dia tersenyum kembali, dan kusimpulkan aku pasti keliru. Dia mengacak rambutku dan keluar untuk membuatkan saus tujuh lapis untuk Gabe.
Sejam kemudian, kami siap berangkat.
Gabe berhenti bermain poker sebentar, cukup lama untuk melihatku menyeret tas-tas ibuku ke dalam mobil. Dia terus berkeluh-kesah soal kehilangan masakan ibuku—dan lebih penting lagi, Camaro 78-nya—selama atau akhir pekan penuh.
"Jangan sampai tergores sedikit pun, anak genius," dia mengingatkanku saat aku menaikkan tas terakhir. "Satu gores pun."
Padahal kan bukan aku yang bakal menyetir. Umurku kan baru dua belas tahun. Tapi itu tak ada bedanya buat Gabe. Andai seekor burung camar buang air di atas cat mobilnya, dia pasti bisa mencari cara untuk menyalahkan ku.
Saat melihatnya tersaruk-saruk kembali ke arah gedung apartemen, aku merasa sangat marah, sehingga melakukan sesuatu yang tak bisa kujelaskan. Saat Gabe sampai ke pintu, aku meniru gerakan tangan yang kulihat dibuat Grover di atas bus. Gerakan itu semacam gerakan menolak bala. Tangan membentuk cakar di atas jantung, lalu bergerak mendorong ke arah Gabe. Pintu kawat terbanting tertutup begitu keras, sehingga memukul pantatnya dan membuatnya terpelanting ke atas tangga, seolah-olah dia ditembakkan dari meriam. Mungkin sebenarnya itu cuma angin, atau kecelakaan aneh akibat engsel, tapi aku tidak tinggal cukup lama untuk mengetahuinya.
Aku masuk ke Camaro dan menyuruh ibuku menginjak gas.
Pondok sewaan kami terletak di pesisir selatan, jauh di ujung Long Island. Pondok itu berbentuk kotak kecil warna pastel yang bertirai luntur, setengah melesak di bukit pasir. Selalu ada pasir di dalam seprai dan laba-laba di dalam lemari. Hampir sepanjang waktu, lautnya terlalu dingin untuk direnangi.
Aku mencintai tempat itu.
Kami selalu ke sana sejak aku masih bayi. Ibuku sudah sering ke sana sebelum itu. Dia tak pernah benar-benar mengatakannya, tapi aku tahu kenapa pantai itu istimewa baginya. Di sanalah dia bertemu dengan ayahku.
Semakin dekat kami ke Montauk, dia seolah-olah semakin muda, tahun-tahun penuh kecemasan dan kerja keras pupus dari wajahnya. Matanya berubah menjadi warna laut.
Kami sampai saat matahari terbenam, lalu membuka semua jendela pondok, dan membersihkan pondok itu, sesuatu yang rutin kami kerjakan. Kami berjalan-jalan di pantai, memberi makan keripik jagung warna biru kepada burung camar, dan mengunyah permen jelly bean warna biru, gula-gula saltwater taffy warna biru, dan semua sampel gratis lain yang dibawa ibuku dari tempat kerja.
Mungkin sebaiknya kujelaskan soal makanan biru itu.
Jadi, begini. Gabe pernah berkata kepada ibuku, bahwa makanan berwarna biru itu tak ada. Mereka bertengkar, yang waktu itu sepertinya cuma cekcok kecil. Namun, sejak saat itu, ibuku sengaja makan makanan biru. Dia membuat kue ulang tahun warna biru. Dia mencampur minuman smoothie dengan blueberry. Dia membeli keripik tortilla jagung warna biru dan membawa pulang permen warna biru dari toko. Ini—termasuk mempertahankan nama gadisnya, Jackson, dan tidak menyebut dirinya Ny. Ugliano—adalah bukti bahwa dia tidak sepenuhnya memperdaya Gabe. Dia memiliki sikap pemberontak, seperti aku.
Saat hari sudah gelap, kami membuat api unggun. Kami memanggang sosis dan marshmallow. Ibuku bercerita tentang masa kecilnya, sebelum orangtuanya meninggal dalam kecelakaan pesawat. Dia bercerita tentang buku-buku yang ingin ditulisnya suatu hari nanti, setelah dia punya cukup uang untuk berhenti bekerja di toko permen.
Akhirnya, aku memberanikan diri menanyakan sesuatu yang selalu kupikirkan setiap kali kami datang ke Montauk— ayahku. Mata Ibu langsung berkaca-kaca. Kupikir, dia akan menceritakan hal-hal yang sama seperti biasa, tetapi aku tak pernah bosan mendengarnya.
"Dia baik hati, Percy," katanya. "Jangkung, tampan, dan berkuasa. Tapi juga lembut. Kau mewarisi rambut Imamnya, dan mata hijaunya."
Ibu merogoh permen jelly biru dari kantong permennya. "Andai saja dia bisa melihatmu, Percy. Dia tentu sangat bangga." Aku bertanya-tanya bagaimana dia bisa berkata seperti itu. Apa hebatnya aku? Anak yang hiperaktif, mengidap disleksia, mendapat rapor D+, dikeluarkan dari sekolah keenam kalinya dalam enam tahun.
"Berapa umurku waktu itu?" tanyaku. "Maksudku ... waktu dia pergi?"
Ibuku menatap lidah-lidah api. "Dia hanya bersama Ibu selama satu musim panas, Percy. Tepat di pantai ini. Pondok ini."
"Tapi ... dia kenal aku sewaktu aku bayi."
"Tidak, Sayang. Dia tahu Ibu hamil, tapi dia tak pernah melihatmu. Dia harus pergi sebelum kau lahir."
Aku berusaha mencocokkan itu dengan kenyataan bahwa aku rasanya ingat ... sesuatu tentang ayahku. Pendar hangat. Senyum.
Selama ini aku berasumsi bahwa dia kenal aku sewaktu aku bayi. Ibuku memang tak pernah berkata begitu, tetapi tetap saja aku merasa itu pasti benar. Sekarang, diberi tahu bahwa dia bahkan tak pernah melihatku.
Aku marah pada ayahku. Mungkin itu bodoh, tapi aku sebal padanya karena berlayar ke samudra, karena dia tak punya nyali untuk menikahi ibuku. Dia meninggalkan kami, dan sekarang kami terpaksa menerima Gabe si Bau.
"Apa Ibu akan menyuruhku pergi lagi?" tanyaku kepadanya. "Ke sekolah asrama lain?"
Dia menarik sebutir marshmallow dari api.
"Entahlah, Sayang." Suaranya berat. "Ibu rasa ... Ibu rasa kita harus melakukan sesuatu."
"Karena Ibu nggak ingin aku di dekat Ibu?"
Aku menyesali kata-kata itu begitu terucap. Mata ibuku berlinang air mata. Dia meraih tanganku, meremasnya erat-erat. "Oh, Percy, bukan. Ibu—Ibu terpaksa, Sayang. Demi kebaikanmu sendiri. Ibu harus menyuruhmu pergi."
Kata-katanya mengingatkan aku pada perkataan Pak Brunner—bahwa pilihan terbaik bagiku adalah meninggalkan Yancy.
"Karena aku nggak normal," kataku.
"Kau menyebutkan hal itu seolah-olah itu hal yang buruk, Percy. Tapi kau tak sadar, betapa penting dirimu, Ibu menyangka Akademi Yancy itu cukup jauh. Ibu menyangka kau akhirnya aman."
"Aman dari apa?"
Dia memandang mataku, dan ingatan masa lalu pun membanjir. Semua keanehan menakutkan yang pernah terjadi padaku, yang sebagian telah kucoba kulupakan.
Sewaktu aku kelas tiga, seorang lelaki berjas hujan hitam menguntitku di taman bermain. Ketika para guru mengancam akan memanggil polisi, dia pergi sambil menggeram, tetapi tak ada yang percaya saat aku berkata bahwa di bawah topinya yang lebar, lelaki itu hanya bermata satu, pas di tengah-tengah kepalanya.
Sebelum itu—ingatan yang sangat awal. Aku masih di prasekolah, dan seorang guru tak sengaja membaringkan ku untuk tidur siang di sebuah ranjang yang telah dimasuki seekor ular. Ibuku menjerit ketika dia datang menjemput dan menemukanku bermain dengan "tali" bersisik yang lemas. Entah bagaimana, ular itu telah kucekik hingga mati dengan tangan mungilku yang gempal.
Di setiap sekolah selalu terjadi sesuatu yang menyeramkan, sesuatu yang tak aman, dan aku terpaksa pindah.
Aku tahu aku semestinya bercerita kepada ibuku tentang ketiga nenek di kios buah, dan Bu Dodds di museum seni, tentang halusinasi anehku bahwa aku menebas guru matematikaku menjadi debu dengan pedang. Tapi, aku tak sanggup memberitahunya. Aku punya firasat aneh bahwa berita itu akan mengakhiri liburan kami di Montauk, dan aku tak ingin itu terjadi.
"Ibu berusaha agar kau sedekat mungkin dengan Ibu," katanya. "Mereka bilang itu tindakan yang keliru. Tapi hanya ada satu pilihan lain, Percy—ayahmu ingin mengirimmu ke satu tempat lain. Dan Ibu ... pokoknya Ibu tak sanggup melakukannya."
"Ayahku ingin aku ke sekolah khusus?"
"Bukan sekolah," katanya lirih. "Perkemahan musim panas."
Kepalaku berputar. Mengapa ayahku—yang bahkan tidak tinggal cukup untuk melihatku dilahirkan— membicarakan perkemahan musim panas dengan ibuku? Dan jika itu sangat penting, mengapa ibuku tak pernah menyebut-nyebutnya sebelum ini?
"Maaf, Percy," katanya ketika melihat tatapan mataku. "Tapi Ibu tak bisa membicarakan itu. Ibu—Ibu tak bisa mengirimmu ke tempat itu. Itu bisa berarti berpisah denganmu selamanya."
"Selamanya? Tapi kalau tempat itu cuma perkemahan musim panas ...."
Dia berpaling ke api, dan aku tahu dari raut wajahnya bahwa jika aku bertanya lagi, dia akan mulai menangis.
Malam itu aku bermimpi jelas sekali.
Badai melandai pantai. Dua ekor hewan yang cantik, seekor kuda putih dan seekor elang emas, sedang berusaha saling membunuh di tepi ombak. Si elang menukik dan menyabet moncong kuda itu dengan cakarnya yang besar. Si kuda mengangkat kaki dan menendang sayap si elang.
Sementara mereka bertempur, tanah menggemuruh. Ada suara monster terkekeh di suatu tempat di bawah permukaan tanah, mendorong agar kedua hewan itu berkelahi lebih sengit.
Aku berlari ke arah mereka. Aku tahu bahwa aku harus mencegah mereka saling membunuh, tetapi gerakanku lambat. Aku tahu aku akan terlambat. Kulihat elang itu menukik, paruhnya ditujukan ke mata kuda yang membelalak, dan aku menjerit, Jangan!
Aku tersentak bangun.
Di luar pondok, badai memang melanda, jenis badai yang menumbangkan pohon dan meruntuhkan rumah. Di lantai tak ada kuda atau elang, hanya kilat yang menerangi sesaat, dan ombak setinggi enam meter yang berdebur di bukit-bukit pasir seperti artileri.
Pada guntur berikutnya, ibuku terbangun. Dia duduk dengan matanya terbelalak, dan berkata, "Topan."
Aku tahu itu gila. Long Island tak pernah mengalami topan seawal ini dalam musim panas. Tetapi, samudra tampaknya telah lupa. Mengatasi gemuruh angin, terdengar seruan di kejauhan, bunyi marah penuh derita yang membuat bulu kudukku berdiri.
Lalu, bunyi yang jauh lebih dekat, seperti palu pada pasir. Suara putus asa—seseorang berteriak, menggedor-gedor pintu pondok kami.
Ibuku melompat turun dari tempat tidur, hanya berdaster, dan membuka kunci pintu.
Grover berdiri berbingkai pintu, dengan latar hujan deras. Tetapi dia bukan ... dia bukan benar-benar Grover.
"Kucari semalaman," dengapnya. "Apa sih maumu?"
Ibuku memandangku ngeri—bukan takut pada Grover, tetapi pada alasan kedatangannya.
"Percy," katanya sambil berteriak, agar terdengar mengatasi hujan. "Apa yang terjadi di sekolah? Apa yang tidak kauceritakan kepada Ibu?"
Aku membeku, memandang Grover. Aku tak mengerti apa yang kulihat.
"O Zeu kai alloi theoil" serunya. "Dia tak jauh di belakangku! Kau tidak cerita ke ibumu?"
Aku terlalu kaget sehingga tak menyadari bahwa dia baru saja mengumpat dalam bahasa Yunani Kuno, dan aku memahaminya dengan sempurna. Aku terlalu kaget sehingga tak mempertanyakan bagaimana Grover bisa sampai ke sini sendirian, tengah malam. Karena Grover tidak bercelana—dan di tempat yang semestinya ada kakinya ... di tempat yang semestinya ada kakinya ....
Ibuku menatapku tegas dan berbicara dengan nada yang belum pernah digunakannya: "Percy. Ceritakan pada Ibu sekarang!."
Aku terbata-bata bercerita tentang nenek-nenek di kios buah, dan Bu Dodds. Ibuku menatapku, wajahnya pucat pasi dalam sambaran kilat.
Dia menyambar tasnya, melemparkan jas hujan kepadaku, dan berkata, "Masuk ke mobil. Kalian berdua. Ayo!"
Grover berlari ke Camaro—tetapi dia bukan berlari kebetulan. Dia berderap, menggoyang kaki belakangnya yang berbulu, dan tiba-tiba cerita Grover tentang gangguan otot di Kakinya menjadi masuk akal bagiku. Aku mengerti bagaimana dia bisa berlari begitu cepat dan tetap pincang saat berjalan. Karena di tempat yang semestinya ada kaki, tak ada kaki. Yang ada adalah kaki hewan yang berkuku belah.

4. Ibuku Mengajariku Bertarung dengan Banteng
Kami melaju menembus malam di sepanjang jalan pedesaan yang gelap. Angin berulang kali mengguncang Camaro. Hujan melecut kaca depan. Entah bagaimana ibuku bisa melihat jalan, tetapi dia tetap menjejakkan kaki pada pedal gas.
Setiap kali ada sambaran petir, kulirik Grover yang duduk di sebelahku di bangku belakang dan bertanya-tanya apakah aku sudah gila, atau dia mengenakan semacam celana karpet berbulu. Tapi, tidak, baunya mirip bau yang kuingat dari karyawisata TK ke kebun binatang—lanolin, seperti dari wol. Bau hewan ternak yang basah.
Aku hanya terpikir untuk berkata, "Jadi, kau dan ibuku ... sudah kenal?"
Mata Grover melirik ke kaca spion tengah, meskipun di belakang kami tak ada mobil. "Nggak juga sih," katanya. “Maksudku, kami belum pernah bertemu langsung. Tapi dia tahu aku mengawasimu."
"Mengawasiku?"
"Menjagamu. Memastikan kau tak apa-apa. Tapi aku tak cuma berpura-pura menjadi temanmu lho," tambahnya buru-buru. "Aku benar-benar temanmu."
"Em ... kau ini sebenarnya apa sih?"
"Itu nggak penting sekarang."
"Nggak penting? Dari pinggang ke bawah, sahabatku ternyata keledai—"
Grover tahu-tahu bersuara "Mbeeek!" yang tajam dan serak.
Aku pernah mendengar dia berbunyi begitu, tetapi dulu aku selalu menganggap itu cuma tawa gugup. Sekarang aku menyadari bahwa bunyi itu lebih berupa embik kesal.
"Kambing!" serunya.
"Apa?"
"Aku ini kambing dari pinggang ke bawah."
"Tadi katamu, itu nggak penting."
"Mbeeek! Banyak satir yang akan menginjak-injakmu kalau dihina seperti itu, tahu!"
"Eh. Tunggu, Satir. Maksudmu seperti ... mitos Pak Brunner?"
"Apa nenek-nenek di kios buah itu mitos, Percy? Apa Bu Dodds itu mitos?"
"Jadi, kau mengaku Bu Dodds itu pernah ada!"
"Tentu saja."
"Jadi kenapa—"
"Semakin sedikit yang kautahu, semakin sedikit juga monster yang tertarik padamu," kata Grover, seolah-olah itu semestinya sudah gamblang. "Kami menyampirkan Kabut pada mata manusia. Tadinya kami berharap bahwa kau menganggap Makhluk Baik itu cuma halusinasi. Tapi sia-sia. Kau mulai menyadari siapa dirimu."
"Siapa diri—tunggu, apa maksudmu?"
Suara seruan aneh itu terdengar lagi dari suatu tempat di belakang kami, lebih dekat daripada sebelumnya. Apa pun yang mengejar kami masih terus menguntit.
"Percy," kata ibuku, "terlalu banyak yang harus dijelaskan dan waktunya tidak cukup. Kita harus membawamu ke tempat yang aman."
"Aman dari apa? Siapa yang mengejarku?"
"Bukan orang penting kok," kata Grover, jelas masih sebal soal komentar keledai itu. "Cuma Penguasa Maut dan beberapa kaki tangannya yang paling haus darah."
"Grover!"
"Maaf, Bu Jackson. Bisa lebih cepat, nggak?"
Aku berusaha memahami apa yang sedang terjadi, tetapi tak mampu. Aku tahu ini bukan mimpi. Aku tuh tak punya imajinasi. Aku tak mungkin bisa mengkhayalkan kejadian seaneh ini.
Ibuku membelok tajam ke kiri. Kami menikung ke jalan yang lebih sempit, melaju melewati rumah-rumah peternakan yang gelap dan bukit-bukit berhutan dan plang PETIK SENDIRI STROBERI pada pagar-pagar putih.
"Kita mau ke mana?" tanyaku.
"Perkemahan musim panas yang Ibu ceritakan tadi." Suara ibuku tegang; dia berusaha agar tidak takut, demi aku. "Ayahmu ingin kau ke sana."
"Tapi Ibu nggak ingin aku ke sana."
"Tolong, Sayang," ibuku memohon. "Ini sudah cukup dulu. Cobalah mengerti. Kau sedang terancam bahaya."
"Karena ada nenek-nenek yang menggunting benang."
"Itu bukan nenek-nenek," kata Grover. "Itu ketiga Moirae. Kau tahu apa artinya—bahwa mereka muncul di depanmu? Mereka hanya melakukan itu kalau kau akan kalau seseorang akan mati."
"Wah. Kau bilang 'kau'."
"Nggak. Aku bilang 'seseorang'."
"Maksudmu 'kau'. Tepatnya, aku."
"Maksudku 'seseorang'. Bukan kau."
"Anak-anak!" kata ibuku.
Dia memutar kemudi tajam ke kanan, dan sekilas kulihat sosok yang dihindarinya dengan membelok—sosok gelap mengepak-ngepak yang kini hilang dalam badai di belakang kami.
"Apa itu tadi?" tanyaku.
"Kita sudah hampir sampai," kata ibuku, tak menggubris pertanyaanku. "Satu setengah kilometer lagi. Semoga. Semoga. Semoga."
Aku tak tahu kami sudah hampir sampai ke mana, tetapi aku memajukan tubuh di mobil, menunggu, ingin cepat-cepat tiba.
Di luar tak ada apa-apa selain hujan dan gelap—jenis daerah pedesaan kosong yang ada di ujung Long Island.
Aku memikirkan Bu Dodds dan ketika dia berubah menjadi makhluk bergigi tajam dan bersayap kulit. Tangan dan kakiku langsung lemas, akibat rasa ngeri yang terlambat datang. Dia memang bukan manusia. Waktu itu dia memang ingin membunuhku.
Lalu, aku teringat Pak Brunner ... dan pedang yang dilemparnya kepadaku. Sebelum aku sempat menanyakan hal itu kepada Grover, bulu kudukku berdiri. Ada kilas cahaya menyilaukan, dor! yang mengguncang rahang, dan mobil kami meledak.
Aku ingat diriku terasa tak berbobot, seolah-olah aku diremukkan, digoreng, dan disemprot sekaligus.
Aku mengangkat kening yang menempel pada bagian belakang kursi pengemudi dan berkata, "Aduh."
"Percy!" jerit ibuku. "Aku nggak apa-apa.”
Aku berusaha mengusir rasa pusing. Aku belum mati. Mobil tidak benar-benar meledak. Kami ternyata selip ke selokan. Kedua pintu di sisi pengemudi bersandar pada lumpur. Atap terbelah pecah seperti cangkang telur, dan hujan mengalir masuk.
Petir. Itu satu-satunya penjelasan. Kami tersambar petir, sehingga keluar dari jalan. Di sebelahku di bangku belakang, ada onggokan besar yang tak bergerak. "Grover!"
Dia melorot di kursi, darah menetes dari sudut bibirnya. Aku mengguncang panggulnya yang berbulu, berpikir. Tidak! Meskipun kau hewan ternak, kau sahabatku dan aku tak ingin kau mati! Lalu dia mengerang
"Makanan," dan aku pun tahu bahwa masih ada harapan.
"Percy," kata ibuku, "kita harus ..." Suaranya menghilang.
Aku menoleh ke belakang. Dalam sambaran kilat, melalui kaca belakang yang terciprat lumpur, kulihat sebuah sosok yang terseok-seok ke arah kami di bahu iklan. Melihatnya membuat kulitku merinding. Siluet seseorang yang bertubuh besar, seperti pemain football. Sepertinya dia memegangi selimut di atas kepala. Bagian atas tubuhnya gembung dan kabur. Karena tangannya terangkat, dia kelihatan seolah-olah punya tanduk.
Aku menelan ludah keras-keras. "Siapa—"
"Percy," kata ibuku, benar-benar serius. "Keluar dari mobil"
Ibuku membantingkan tubuhnya pada pintu pengemudi. Pintu itu tertutup karena tertahan lumpur. Aku mencoba pintuku. Terjepit juga. Aku menatap lubang di atap dengan putus asa. Lubang itu bisa saja menjadi jalan keluar, tetapi tepinya mendesis dan berasap.
"Keluar dari sisi penumpang!" perintah ibuku. "Percy—kau harus lari. Lihat pohon besar itu?"
"Apa?"
Sambaran kilat lagi, dan melalui lubang berasap di atap, kulihat pohon yang dimaksudnya: pohon pinus raksasa ala pohon Natal Gedung Putih di puncak bukit terdekat.
"Itu garis batas wilayah perkemahan," kata ibuku. "Lewati bukit itu, nanti terlihat rumah pertanian besar di lembah. Lari dan jangan menengok ke belakang. Teriak minta tolong. Jangan berhenti sampai tiba di pintu."
"Ibu harus ikut."
Wajahnya pucat, matanya sesedih saat dia memandang samudra.
"Nggak!" teriakku. "Ibu harus ikut aku. Bantu aku menggotong Grover."
"Makanan!" erang Grover, sedikit lebih lantang.
Lelaki yang kepalanya berselimut itu semakin mendekati kami, bersuara-suara mendengus dan menggeram. Sementara dia mendekat, kusadari dia tak mungkin sedang memegangi selimut di atas kepala karena tangannya—yang gemuk dan besar—berayun di samping tubuhnya. Itu bukan selimut. Itu berarti, benda besar berbulu yang terlalu besar untuk menjadi kepalanya itu ... memang kepalanya. Dan ujung yang mirip tanduk itu ...
"Dia tak mengincar kami," kata ibuku. "Dia mengincarmu. Lagi pula, Ibu tidak bisa melintasi batas wilayah itu."
"Tapi ...."
"Kita nggak ada waktu, Percy. Pergilah. Ibu mohon."
Lalu, aku marah—marah pada ibuku, marah pada Grover si kambing, pada makhluk bertanduk yang terseok-seok ke arah kami perlahan-lahan dan lambat-lambat seperti ... seperti seekor banteng.
Aku memanjat melewati Grover dan mendorong pintu keluar, ke arah hujan.
"Kita ke sana bareng-bareng. Ayo, Bu."
"Sudah Ibu bilang—"
"Bu! Aku nggak mau meninggalkan Ibu. Bantu aku mengangkut Grover."
Aku tak menunggu jawaban. Aku memanjat keluar, sambil menyeret Grover dari mobil. Ternyata dia sangat ringan, tetapi aku tak mungkin bisa menggotongnya terlalu jauh jika ibuku tidak membantuku.
Bersama-sama kami menyampirkan lengan Grover pada bahu dan mulai tertatih-tatih mendaki bukit, melalui rumput basah setinggi pinggang.
Saat menoleh ke belakang, aku pertama kalinya melihat monster itu dengan jelas. Tinggi tubuhnya paling sedikit dua meter, lengan dan kakinya seolah-olah berasal dari sampul majalah Muscle Man—tonjolan biseps dan trisep dan seps-seps lainnya, semuanya dijejalkan seperti bola bisbol di bawah kulit yang dililit urat darah. Dia tak mengenakan pakaian kecuali baju dalam—tepatnya, celana dalam putih cerah—yang mungkin sebenarnya menggelikan, tetapi bagian atas tubuhnya demikian menakutkan. Bulu kasar warna cokelat dimulai sekitar pusar dan semakin lebat saat mencapai bahu.
Lehernya merupakan kumpulan otot dan bulu yang menopang kepala raksasa. Di kepalanya ada moncong sepanjang lenganku, lubang hidung beringus yang dihiasi cincin kuningan berkilau, mata hitam yang kejam, dan tanduk hitam-putih raksasa. Ujung tanduk itu sangat tajam; peruncing pensil listrik saja tak mungkin bisa meruncingkan setajam itu.
Jelas aku kenal monster itu. Dia ada di dalam salah satu cerita pertama yang dikisahkan Mr. Brunner kepada kami. Tapi dia tak mungkin benar-benar ada.
“Itu—"
"Anak Pasiphae," kata ibuku. "Andai Ibu tahu, betapa mereka ingin membunuhmu."
"Tapi dia si Min—"
"Jangan ucapkan namanya," ibuku memperingatkan. “Nama memiliki kekuatan."
Pohon pinus masih terlalu jauh—paling sedikit seratus meter menaiki bukit.
Aku menoleh lagi ke belakang.
Manusia-banteng itu membungkuk di atas mobil kami, melihat ke dalam jendela—atau persisnya bukan melihat. Lebih seperti mengendus, menyeruduk. Aku tak tahu kenapa dia repot-repot melakukannya, karena kami hanya berjarak lima belas meter darinya.
"Makanan?" erang Grover.
"Ssst," kataku kepadanya. "Bu, dia sedang apa? Apa dia nggak lihat kita?"
"Pandangan dan pendengarannya buruk," kata ibuku. “Dia mengandalkan bau. Tapi sebentar lagi dia akan tahu di mana kita berada."
Seolah-olah diberi aba-aba, si manusia-banteng berteriak murka. Dia mencengkeram atap Camaro milik Gabe yang sudah robek itu, kerangkanya berderak dan mengering. Dia mengangkat mobil itu ke atas kepala dan membantingnya ke jalan. Mobil itu terbanting ke atas aspal basah dan meluncur dalam hujan bunga api sekitar delapan puluh meter sebelum berhenti. Tangki gasnya meledak.
Tidak segores pun, kuingat Gabe berkata. Ups.
"Percy," kata ibuku. "Saat dia melihat kita, dia akan menyeruduk. Tunggu sampai detik terakhir, lalu lompat menghindar—tepat ke samping. Dia tak terlalu mampu mengubah arah begitu dia menyeruduk. Kau mengerti?"
"Dari mana Ibu tahu semua ini?"
"Ibu sudah lama mencemaskan terjadinya serangan seperti ini. Semestinya Ibu sudah menduga ini. Ibu egois, mempertahankanmu dekat-dekat Ibu."
"Mempertahankanku dekat-dekat? Tapi—"
Terdengar lagi teriakan amarah, dan manusia-banteng itu mulai berlari menaiki bukit.
Dia telah mengendus kami.
Pohon pinus itu tinggal beberapa meter lagi, tetapi bukit itu semakin terjal dan licin, dan Grover tetap saja berat.
Manusia-banteng itu semakin dekat. Beberapa detik lagi dia akan mencapai kami.
Ibuku pasti sudah lelah, tetapi dia mengangkut Grover.
"Ayo, Percy! Berpencar! Ingat kata Ibu."
Aku tak ingin berpisah, tetapi aku mendapat firasat dia benar—ini satu-satunya kesempatan kami. Aku berlari cepat ke kiri, berbalik, dan melihat makhluk itu berlari ke arahku. Mata hitamnya berbinar benci. Baunya seperti daging busuk.
Dia menundukkan kepala dan menyeruduk. Tanduk setajam silet itu diarahkan tepat ke dadaku.
Rasa takut di perutku membuatku ingin kabur, tetapi itu tidak ada gunanya. Aku tak akan bisa berlari lebih cepat daripada makhluk ini. Jadi aku bertahan, dan pada saat terakhir, aku melompat ke samping.
Manusia-banteng itu melesat lewat seperti kereta api beruang, lalu berteriak frustrasi dan berbalik, tetapi kali ini tidak ke arahku, tetapi ke arah ibuku, yang sedang Meletakkan Grover di rumput.
Kami telah mencapai puncak bukit. Di sisi seberang kulihat sebuah lembah, persis seperti yang dikatakan Ibuku. Lampu-lampu rumah pertanian bersinar kuning menembus hujan. Tapi itu masih delapan ratus meter lagi. Kami tak mungkin bisa mencapainya.
Si manusia-banteng mendengus, mengais-ngais tanah. Dia terus memandang ibuku, yang sekarang mundur perlahan-lahan menuruni bukit, kembali ke arah jalan, berusaha memancing monster itu menjauhi Grover.
"Lari, Percy!" perintahnya. "Ibu tak bisa masuk lebih jauh. Lari!"
Tapi aku hanya berdiri di situ, membeku ketakutan, sementara monster itu menyeruduknya. Ibuku berusaha menyamping, seperti yang diperintahkannya kepadaku, tetapi si monster sudah memetik pelajaran. Tangannya terjulur dan menyambar leher ibuku saat ibuku berusaha menyingkir. Si manusia-banteng mengangkatnya sementara ibuku meronta, menendang-nendang dan memukul-mukul udara.
"Ibu!"
Dia menatap mataku, berusaha mengeluarkan satu kata terakhir: "Lari!"
Lalu, dengan geram murka, monster itu mempererat cengkeramannya pada leher ibuku, dan ibuku melarut di depan mataku, meleleh ke dalam cahaya, sebuah bentuk keemasan yang berpendar, seolah-olah dia proyeksi hologram. Denyar menyilaukan, dan dia tahu-tahu saja ... lenyap.
"Tidak!"
Amarah menggantikan rasa takutku. Kekuatan baru pun membakar kaki dan tanganku—gejolak energi yang sama dengan yang kuperoleh saat Bu Dodds menumbuhkan cakar.
Dengan gaya mengancam si manusia-banteng menghampiri Grover, yang tergeletak tak berdaya di rumput. Monster itu membungkuk, mengendus-endus sahabatku, seolah-olah dia akan mengangkat Grover dan membuatnya melarut juga.
Aku tak mungkin membiarkan itu.
Aku menanggalkan jas hujanku yang berwarna merah.
"Hei!" teriakku sambil melambai-lambaikan jaket itu, sambil berlari ke samping monster itu. "Hei, Bego! Daging cincang!"
"Raaaarrrrr!" Monster itu berputar ke arahku, mengayun-ayunkan kepalannya yang gemuk.
Aku mendapat ide—ide tolol, tetapi lebih baik daripada tak ada ide sama sekali. Aku memunggungi pohon pinus besar itu dan melambaikan jaket merahku di depan si manusia-banteng, berniat melompat menyingkir pada detik terakhir. Tetapi kejadiannya tidak seperti itu.
Si manusia-banteng menyeruduk terlalu cepat, tangannya terulur untuk menyambarku, ke mana pun aku mencoba mengelak.
Waktu melambat.
Kakiku menegang. Aku tak bisa melompat ke samping, jadi aku meloncat ke atas, menolakkan tubuh dengan menendang kepala makhluk itu, memanfaatkannya sebagai papan loncat, berputar di tengah udara, dan mendarat di lehernya.
Bagaimana aku bisa melakukan itu? Aku tak sempat memikirkannya. Satu milidetik kemudian, kepala monster itu menabrak pohon dan benturannya nyaris membuat gigiku tanggal.
Si manusia-banteng terhuyung-huyung, berusaha membuatku jatuh. Aku mengunci tanganku di sekeliling tanduknya, berusaha agar tidak terlempar. Guntur dan kilat masih menyambar-nyambar. Hujan masuk ke mata. Bau daging busuk menyengat lubang hidung.
Monster itu berguncang-guncang dan melompat-lompat seperti banteng rodeo. Semestinya dia mundur saja ke pohon dan menjepitku hingga gepeng, tetapi aku mulai menyadari bahwa makhluk ini hanya punya satu gigi persneling: maju.
Sementara itu, Grover mulai mengerang di antara rumput. Aku ingin membentaknya agar tutup mulut, tetapi dalam keadaan terlontar-lontar begini, jika aku membuka mulut, lidahku pasti tergigit. "Makanan!" erang Grover.
Si manusia-banteng berputar ke arahnya, mengais-ngais tanah lagi, dan bersiap-siap menyeruduk. Aku teringat bagaimana dia mencekik habis nyawa dari tubuh ibuku, membuatnya menghilang dalam denyar cahaya. Murka pun mengisi diriku seperti bahan bakar beroktan tinggi. Aku menggenggam satu tanduk dengan kedua tangan, lalu menarik ke belakang dengan segenap tenaga. Monster itu menegang, mendengus kaget, lalu—tas!
Si manusia-banteng berteriak dan melontarkanku ke udara. Aku terjengkang di rumput. Kepalaku terbentur batu. Ketika aku duduk, pandanganku kabur. Tetapi di tanganku ada tanduk, senjata tulang bergerigi seukuran pisau.
Monster itu menyeruduk.
Tanpa berpikir, aku berguling ke samping dan bangkit berlutut. Sementara monster itu lewat, aku menghunjamkan tanduk patah itu tepat di sisi tubuhnya, di bawah tulang rusuknya yang berbulu.
Manusia-banteng itu menggeram kesakitan. Dia mengayun-ayunkan tangan, mencakar-cakar dadanya, dan mulai hancur—tidak seperti ibuku, dalam denyar cahaya keemasan, tetapi seperti pasir yang buyar, tertiup segumpal-segumpal oleh angin, sama seperti cara Bu Dodds terbuyarkan.
Monster itu hilang.
Hujan sudah berhenti. Badai masih bergemuruh, tetapi hanya di kejauhan. Badanku bau seperti ternak dan lututku gemetar. Kepalaku terasa seperti akan pecah. Aku lemas dan takut dan gemetar akibat duka. Aku baru saja melihat ibuku menghilang. Aku ingin berbaring dan menangis, tetapi masih ada Grover yang perlu bantuanku. Aku berhasil menariknya berdiri dan terhuyung-huyung turun ke lembah, ke arah lampu rumah peternakan. Aku menangis, memanggil-manggil ibuku, tetapi aku tetap memegangi Grover—aku tak akan melepaskannya.
Hal terakhir yang kuingat adalah roboh di beranda kayu, menatap kipas angin di langit-langit yang berputar-putar di atasku, ngengat yang beterbangan mengelilingi cahaya kuning, dan wajah tegas seorang pria berjenggot yang tampak tak asing dan seorang gadis cantik, rambutnya pirang ikal seperti rambut putri raja. Mereka berdua memandangku dari atas, dan si gadis itu berkata, “Dialah orangnya. Pasti dia."
"Diam, Annabeth," kata lelaki itu. "Dia masih sadar. Bawa dia masuk."
5. Aku Bermain pinochle dengan Seekor Kuda
Aku bermimpi aneh-aneh, penuh hewan ternak. Sebagian besar ingin membunuhku. Sisanya ingin makanan.
Sepertinya aku terbangun beberapa kali, tetapi apa yang kudengar dan kulihat tidak masuk akal, jadi aku pingsan lagi saja. Aku ingat berbaring di kasur yang empuk, disuapi makanan yang rasanya seperti berondong jagung bermentega, tetapi bentuknya puding. Si gadis berambut pirang ikal itu menunggu di dekatku, menyeringai sambil membersihkan tetesan dari daguku dengan sendok.
Ketika dilihatnya mataku terbuka, dia bertanya, "Apa yang akan terjadi pada titik balik matahari musim panas?"
Aku berhasil menguak, "Apa?"
Dia memandang ke sekeliling, seolah-olah takut ada yang menguping. "Apa yang terjadi? Apa yang dicuri? Kita cuma punya waktu beberapa minggu!"
"Maaf," gumamku, "aku nggak ...."
Pintu diketuk, dan gadis itu cepat-cepat mengisi mulutku dengan puding.
Ketika aku terbangun lagi, gadis itu sudah tak ada.
Seorang pemuda kekar berambut pirang, seperti peselancar, berdiri di sudut kamar, menjagaku. Dia punya mata biru—paling sedikit selusin—di pipinya, keningnya, punggung tangannya.
Ketika akhirnya aku benar-benar siuman, tak ada yang aneh soal rumah yang kutempati, selain bahwa tempat itu lebih bagus daripada tempat yang biasa kudiami. Aku duduk di kursi santai di beranda yang besar, memandang ke arah padang rumput di perbukitan hijau di kejauhan. Anginnya beraroma stroberi. Ada selimut yang menutupi kakiku, dan bantal mengganjal kepala. Semua itu nyaman, tetapi mulutku terasa seolah-olah telah dibuat sarang oleh seekor kalajengking. Lidahku kering dan tak enak dan setiap gigiku terasa sakit.
Di meja di sebelahku ada minuman dalam gelas tinggi. Minuman itu seperti es sari apel, ditambah sedotan hijau dan payung kertas yang ditusukkan pada manisan ceri maraschino.
Tanganku begitu lemah sehingga gelas itu hampir saja terjatuh saat kupegang.
"Hati-hati," terdengar suara yang akrab.
Grover sedang bersandar di langkan beranda, penampilannya seperti dia sudah seminggu tidak tidur. Dia mengepit sebuah kotak sepatu. Dia mengenakan celana jins biru, sepatu Converse, dan kaus Jingga cerah yang bertulisan PERKEMAHAN BLASTERAN. Hanya Grover yang biasa. Bukan bocah-kambing itu.
Jadi, mungkin aku cuma mimpi buruk. Mungkin ibuku baik-baik saja. Kami masih berlibur, dan kami singgah di rumah besar ini entah kenapa. Dan ...
"Kau menyelamatkan nyawaku," kata Grover. "Aku ... yah, paling sedikit aku semestinya .... Aku kembali ke bukit. Barangkali kau mau ini."
Dengan penuh hormat, dia meletakkan kotak sepatu itu di pangkuanku.
Di dalamnya ada sebuah tanduk banteng berwarna hitam-putih, pangkalnya bergerigi karena patah, ujungnya terciprat darah kering. Ternyata bukan mimpi buruk.
"Minotaurus," kataku.
"Err, Percy, sebaiknya-—"
"Itu sebutan buat makhluk itu dalam mitos Yunani kan?" tanyaku. "Minotaurus. Setengah manusia, setengah banteng."
Grover beringsut kikuk. "Kau pingsan dua hari. Seberapa banyak yang kau ingat?"
Ibuku. Apakah dia benar-benar.
Grover menunduk. Aku menatap padang rumput. Ada beberapa kumpulan pohon, sungai berkelok, beberapa hektare stroberi yang terhampar di bawah langit biru. Lembah itu dikelilingi bukit beralun, dan bukit yang tertinggi, tepat di hadapan kami, adalah bukit yang puncaknya ditumbuhi pohon pinus raksasa itu. Bahkan itu pun tampak indah disinari mentari. Ibuku sudah tiada. Semestinya seluruh dunia ini hitam dan dingin. Semestinya tak ada yang tampak indah.
"Maaf," isak Grover. "Aku gagal. Aku—aku satir terburuk di dunia."
Dia mengerang, membanting kakinya begitu keras sampai-sampai terlepas. Maksudku, sepatu Conversenya terlepas. Bagian dalamnya dipenuhi gabus, kecuali sebuah lubang berbentuk kuku hewan.
"Oh, Styx!" gerutunya.
Guntur menggelegar di langit cerah.
Sementara Grover bergulat memasukkan kaki kambingnya kembali ke dalam kaki palsu itu, kupikir, Nah, sudah ada buktinya.
Grover seorang satir. Aku berani bertaruh bahwa jika rambutnya yang hitam ikal itu kucukur, aku akan menemukan tanduk kecil di kepalanya. Tapi, aku terlalu merana untuk peduli bahwa satir ternyata benar-benar ada, atau bahkan minotaurus. Itu semua berarti bahwa ibuku benar-benar telah diremas hingga tiada, larut dalam cahaya kuning.
Aku sendirian. Yatim-piatu. Aku harus tinggal bersama ... Gabe si Bau? Tidak. Itu tak akan pernah terjadi. Mendingan aku tinggal di jalanan. Aku akan berpura-pura sudah berusia tujuh belas tahun dan masuk tentara. Aku akan melakukan sesuatu.
Grover masih terisak-isak. Anak malang itu—kambing malang, satir, apalah—bertingkah seolah-olah dia menyangka akan dipukul.
Kataku, "Itu bukan salahmu."
"Itu salahku. Semestinya aku melindungimu."
"Apakah ibuku yang memintamu melindungiku?"
"Bukan. Tapi itu tugasku. Aku ini penjaga. Setidaknya ... dulu aku penjaga."
"Tapi kenapa ..." Tiba-tiba aku merasa pusing, penglihatanku bergoyang.
"Jangan memaksakan diri," kata Grover. "Ini." Dia membantuku memegang gelas dan meletakkan sedotan di bibirku.
Aku berjengit akibat rasa minuman itu, karena aku menyangka akan mencicip sari apel. Minuman itu sama sekali bukan sari apel. Minuman itu kue serpih cokelat. Kue cair. Dan bukan cuma kue—kue serpih cokelat warna biru buatan ibuku, bermentega dan panas, serpih cokelatnya masih meleleh. Saat meminumnya, seluruh tubuhku terasa hangat dan baik, penuh energi. Dukaku tidak sirna, tetapi aku merasa seolah-olah ibuku baru saja membelai pipiku, memberiku kue seperti yang selalu dilakukannya sewaktu aku masih kecil, dan memberitahuku bahwa segalanya akan baik-baik saja.
Tahu-tahu saja aku sudah menghabiskan seluruh gelas itu. Aku menatapnya, yakin bahwa aku baru saja minum minuman panas, tetapi es batu di dalam gelas itu bahkan belum meleleh.
"Enak?" tanya Grover. Aku mengangguk.
"Rasanya seperti apa?" Dia terdengar begitu penuh damba, aku jadi merasa bersalah.
"Maaf," kataku. "Semestinya aku menawarimu mencicipi."
Matanya melebar. "Bukan! Bukan itu maksudku. Aku cuma ... ingin tahu."
"Kue serpih cokelat," kataku. "Buatan ibuku. Buatan sendiri."
Dia menghela napas. "Dan bagaimana perasaanmu?"
"Cukup kuat untuk melempar Nancy Bobofit sejauh seratus meter."
"Itu bagus," katanya. "Bagus. Kurasa kau aman-aman saja kalau minum itu lagi."
"Apa maksudmu?"
Dia mengambil gelas kosong itu dariku dengan hati-hati, seolah-olah itu dinamit, dan meletakkannya lagi di atas meja. "Ayo. Chiron dan Pak D menunggu."
Seluruh rumah peternakan itu dikelilingi beranda.
Kakiku terasa goyah, berusaha berjalan sejauh itu. Grover menawarkan membawakan tanduk Minotaurus itu, tetapi aku tetap memegangnya. Aku membayar cendera mata itu dengan sangat mahal. Aku tak mau melepaskannya.
Saat kami memutar ke seberang rumah, napasku tersendat.
Agaknya kami berada di pantai utara Long Island, karena pada sisi rumah ini, lembahnya membentang hingga ke air, yang tampak berkilauan sekitar satu setengah kilometer di kejauhan. Antara tempat ini dan tempat itu, aku tak mampu memproses segala sesuatu yang kulihat. Berbagai gedung yang mirip dengan arsitektur Yunani kuno—paviliun terbuka, amfiteater, arena bundar—bertebaran di bentangan tanah itu, tetapi semuanya tampak baru, tiang-tiang marmer putihnya berkilauan di dalam sinar matahari. Di lapangan pasir di dekat sini, selusin satir dan anak usia SMA sedang bermain voli. Kano meluncur di atas sebuah danau kecil. Anak-anak berkaus Jingga cerah seperti kaus Grover sedang berkejaran di sekitar sekumpulan pondok yang tersembunyi di hutan. Beberapa anak menembak target di arena panah. Beberapa anak menunggang kuda menuruni jalan berhutan, dan, kecuali aku sedang berhalusinasi, beberapa kuda itu memiliki sayap.
Di ujung beranda, dua orang lelaki duduk berhadapan di meja kartu. Si gadis pirang yang waktu itu menyuapiku puding rasa berondong jagung sedang bersandar pada langkan beranda di sebelah mereka.
Lelaki yang menghadap ke arahku bertubuh kecil, tetapi gempal. Hidungnya merah, matanya besar dan berair, dan rambut ikalnya begitu hitam sampai-sampai hampir ungu. Dia mirip lukisan malaikat bayi—apa namanya, kerubut? Bukan, kerubin. Tepat. Dia mirip kerubin yang menua di rumah kumuh. Pakaiannya kemeja Hawaii bercorak harimau. Dia pasti cocok kalau ikut pesta poker Gabe, tetapi aku mendapat firasat orang ini dapat mengalahkan ayah tiriku sekalipun soal berjudi.
"Itu Pak D," gumam Grover kepadaku. "Dia direktur perkemahan. Yang sopan, ya. Gadis itu, itu Annabeth Chase. Dia cuma pekemah, tetapi dia sudah berada di sini lebih lama daripada siapa pun. Dan kau sudah kenal Chiron
Dia menunjuk lelaki yang memunggungiku.
Pertama-tama, kusadari dia duduk di kursi roda. Lalu aku mengenali jaket wolnya, rambut cokelat yang menipis, jenggot yang kusut.
"Pak Brunner!" seruku.
Guru bahasa Latin itu menoleh dan tersenyum kepadaku. Matanya berbinar jail, seperti yang kadang terlihat di kelas saat dia mengeluarkan kuis mendadak dan membuat semua jawaban soal pilihan gandanya B.
"Ah, bagus, Percy," katanya. "Sekarang ada empat orang untuk main pinochle."



Tidak ada komentar:

Posting Komentar